MINECRAFTER Vol. 1 - Seleksi Alam
Bab 0: Seleksi Alam
Kiat berjuang pasti ada berkah atau imbalan
nantinya bakal diunduh. Beberapa mungkin sudah mengenal namaku, atau mungkin
baru mendengarnya pertama kali. Ya, aku terlalu berharap berimajinasi kalau aku
terkenal.
Iruma Nafian, Iruma, Irfan, Ilma, Kalian boleh memanggilku apapun
tetapi setidaknya panggilan yang bagus tidak ada unsur ataupun arti menghina
menjatuhkan. Pada jenjang SMA aku biasa dipanggil Irma ataupun Iruma atau Ilma.
Tetapi karena ejaan huruf ‘r’ nampaknya sedikit susah di mata kalangan
temen-temen, mereka memilih memanggilku Ilma. Aku menerima panggilan itu dengan
sepenuh hati.
Beberapa hari setelah ujian akhir nasional.
Semua anak kelas 12 memulai perjuangannya masing-masing. Menentukan takdir diri
dimulai dari sini, menuju jenjang perkuliahan mendaftar mengikuti seleksi,
ujian, karantina, dan sebagainya. Aku selalu berharap nantinya aku mendapat
takdir yang baik sekalipun aku diharuskan berjuang.
“Ir belakang ada Ir! Belakang ada! Cover!”
Sistem daring, aku biasa berkomunikasi secara
daring/online hampir dalam segala hal. Bahkan sebagian besar pengalamanku malah
bergantung pada daring ini. Internet, ya kamu bisa menyimpulkannya internet.
Pada usia kelas 6 SD kiranya, aku mengenal
internet dan rasa penasaranku olehnya sangat tinggi. Bahkan aku tidak tahu
mengapa, barulah setelah aku duduk di bangku SMA aku seolah tersadar. Untuk apa
aku merasa penasaran dengan sesuatu yang tidak ada batas, maksudku sangat luas?
Ya kalian tahu pasti bagaimana internet bukan? luasnya bukan main, bahkan kalau
kalian tahu istilah bukit es yang mengapung di laut? Internet ibarat seperti
itu, terlihat kecil tetapi sebenarnya bukit es kecil ini adalah sesuatu yang
besar dimana kala itu dahulu sampai dapat menenggelamkan kapal super besar
titanic. Kalian pasti mengetahui ceritanya.
“oke oke!” ujarku menyeru, bukan pada seorang
yang berada di depan atau di sekitar. Melainkan aku menyeru berujar pada
seorang yang berjarak sekitar 8 kilometer dari rumahku.
“Ir koe pake m4 kan? Ada scope-nya nggak?”
“ada ada, scope kali… dua”
Kami berkomunikasi, berjuang kompak untuk
meraih posisi nomor satu. Permainan battleground menuntut semua pemain atau tim
untuk bertahan hidup atau mengeliminasi semua tim agar menjadi nomor satu.
Kali ini yang memerintah & menjadi komando
adalah kawan seperjuangan. Ia bernama Terra, ya kamu bisa memanggilnya Ter,
Terra, Termus, Mus, atau kang Mus. Banyak panggilannya, ia cenderung humble
dan terserang orang lain memanggilnya apa.
“Terr, satu down. Masih ada dua kayaknya.” Aku
berujar kompak bersamaan dengan kedua jari. Menekan empat tombol keyboard
sakral dan mengetuk klik berkali-kali tetikus berturut-turut.
“sini ada yang knock, tapi ada temennya
pasti bakal di revive”
“pokoknya kali ini harus win sampai
akhir. Dah lama bet ndak win nomor satu.” Ia berujar, notifikasi muncul di
pojok layar monitor mengisyaratkan bahwa Terra telah memberikan cukup damage
pada lawan sehingga ia tidak bisa di-revive atau kalau dengan bahasa
yang lebih vulgar, Terra membunuh player/pemain lawan dengan senjata berjenis
serbu berkaliber 5.56, nama singkatnya Aug.
Permainan ini menuntut pemain atau tim agar
selalu sedia dalam kondisi apapun, tidak mungkin kami kabur atau melakukan log
out di kala match dimulai. Bila dipaksakan, nama karakter kami akan
mendapat peringatan atau bahkan kemungkinan besar akan ter-banned karena
terlalu banyak melakukan afk (away from keyboard, berdiam diri tidak
melakukan apapun ketika peperangan dimulai)
“Ir sudah ikut seleksi mana aja kamu?”
Percakapan kami seketika hening, mungkin karena
membahas tentang masa depan kali ya?
“udah banyak ikut, tinggal nunggu pengumuman.”
Aku menjawab seraya menggerakkan karakterku bersembunyi di salah satu semak
belukar.
“lah kamu?” aku bertanya balik.
“masih bingung mau masuk jurusan apa ini. Tapi
nanti kalau misalnya belum nemu, mau asal join aja..”
“sebentar, asal join? Dikira battleground kali
ya, bisa random match.” Aku mengakhiri dialog dengan tertawa lepas.
Begitu juga Terra, ia merespon suara tertawa.
Hal ini sudah menjadi kode untuk kami berdua bahwa yang kami bicarakan adalah
sesuatu yang bercanda.
“tapi mungkin aku mau ke Univ yang dulu aku
pernah cerita ke kamu.”
“hah, univ yang mana?”
“ajeg, cah iki mesti lali.”
“… oalah, yang univ kae? Yang teknologinya maju
itukan?” ujarku setelah berpikir hampir 5 detik terdiam.
Jujur, aku seolah sulit dalam hal mengingat.
Mungkin otak ingatanku belum terinstal ssd, sehingga diperlukannya delay
untuk mendapatkan informasi yang lawas.
“yap betul sekali. Tapi ini masih rencana.”
Iya, masih rencana. Seharusnya memang begitu.
***
Al hasil, semua tidak sesuai ekspektasi. Semua
seleksi yang aku lakukan, tidak satu pun berbuah manis dengan tulisan tiga
kalimat sakral multak menyenangkan “Selamat Anda Diterima”. Beberapa memberikan
permintaan maaf atau bahkan ada yang tidak memberikan feedback sama
sekali.
Ah, aku rasa ada sesuatu yang salah.
“Gimana hasil pengumumannya Le?”
Ibuku berujar, bertanya setelah sepuluh menit
aku membuka laman daring hasil seleksi massal masuk perguruan tinggi negeri.
“belum. Mungkin aku kurang belajar waktu itu.”
Beliau hanya bersahut dengan senyuman, berapa
kalipun aku sering dibuat beliau gagal paham. Nyaris aku tidak paham dengan
arti seringai, tidak, maksudku senyumannya. Entah itu adalah kekecewaan atau
semacam menyiratkan kata “ah sudahlah”
“apa masih ada univ yang membuka jalur mandiri
le?”
“masih, kayaknya. Tapi kayaknya ada beberapa
ini.”
“bagaimana kalau univ swasta? mau coba?”
“ya kalau sudah kondisi begini, harganya
terlalu worth.”
Kebanyakan memang begitu, kalau kamu pernah
mengalami sulitnya lolos seleksi masuk perguruan tinggi apalagi kalau sudah
tanggal-tanggal akhiran biasanya universitas akan memberikan ongkos untuk tes
seleksi dengan ongkos yang cukup mahal.
“coba wae, coba aja dulu. Kali aja bisa.”
Akhirnya berkat dorongan kedua orang tua. Aku
memberikan data diri untuk mengikuti tes masuk perguruan tinggi, salah satu
universitas swasta yang masih membuka pendaftaran jalur mandiri. Tentu saja
dengan harga yang cukup worthy, itu hanya ongkos mendaftar tes, belum
ongkos ketika diterima, uang gedung, dan sebagainya.
“Apapun itu, jurusannya, bila memang aku
ditakdirkan untuk kuliah disini. Ok, let’s do this”
Tidak ada komentar: