MINECRAFTER VOL. 3 - BAB 11: Menundukkan Besi

 

Bab 11: Menundukkan Besi

 

Tempat fasilitas uji coba. Newgen.

Hari ketiga uji coba untuk para penguji.

Hari pertama uji coba untuk para pengawas & direktur.

Waktu terlintas berbeda bagi dunia mereka. Dunia nyata, waktu sangat realistis dan tidak diterapkan sama dengan dunia maya, khususnya mereka yang masih terlelap tidur namun kesadaran masih mengambang berpetualang teratur.

Semuanya berlangsung lancar. Beberapa kendala terjadi, tetapi dapat diatasi.

“menyingkir, kami pihak kepolisian.”

“tunggu, apa?”

Harusnya begitu.

 

“hari ketiga dalam minecraft. Server uptime?”

“masih aktif stabil. Tuan Putri!”

“kondisi chunks?”

“masih stabil.”

“semangat kalian ya! bila ada yang merasa kurang sehat atau lelah. Cepat kabari!”

“siapp tuan putri!!”

Ia terus menyemangati.

Panggilan tuan Putri bukanlah sekedar nama alternatif atau formal. Ia punya nama, tidak banyak orang yang tahu. Identitasnya bahkan tenggelam tidak dikenal oleh netizen, padahal ia berpotensi menjadi rennaisance perubahan yang dapat mengubah dan menuntun era baru menuju ke-modernisasi.

“tuan Putri. Ada orang maksa untuk masuk fasilitas.”

“masuk? Siapa?”

“katanya ia dari kepolisian.”

“heh? kan kita udah izin resmi dan sertifikat aman. Apa yang dimasalahkan?”

“nggak tau tuan Putri.”

 

“angkat tangan kalian! Kami dari kepolisian, menyergap beberapa kecurigaan!” Ujar seorang masuk dari pintu ganda tanpa salam, ia datang seraya mengacungkan senapan.

Serentah semua karyawan terkejut dan mulai ambyar berhamburan.

“temen-temen, jangan tinggalkan posisi. Tetep fokus…” Ujar tuan Putri.

“ini.. ada apa ini? Kami sudah mendapatkan izin secara resmi dan sertifikat aman akan alat yang kami pakai.” Ujar lagi tuan Putri.

“Kami melihat data sistem operasi kamu. Ada sesuatu yang kalian sembunyikan..”

Ia terdiam. Tatapannya tetap fokus & tenang.

“konsep dunia baru dan salin tempel.”

Dua istilah dalam bahasa Indonesia, tidak asing. Tetapi penjelasannya tidak semua orang tahu. Hanya orang tertentu, semua yang di sini pun belum tentu mengetahui apa aslinya dua istilah tadi.

Beberapa operator yang saling tatap muka. Mereka berperilaku seolah tidak tahu-menahu.

“maksudnya? Kita di sini hanya untuk mencoba game berbasis vr. Newgen sudah mendapatkan izin & sertifikat aman untuk itu.” Tuan Putri membalas.

“sudah cukup. Konsep dunia baru. Aku yakin berkas itu ada di sini.” Ujarnya menyalak.

“kami di sini murni untuk menguji game sandbox. Apa maksudmu?” tuan Putri membalas.

Ia merasa kalau si tuan Putri berlagak tidak tahu-menahu. Ia yakin kalau sesuatu yang diinginkannya ada di tempat ini, ia lantas menghampirinya. Tatapannya terlihat licik mengancam tajam.

“Kau bilang-bilang gitu, apa kau direktur di sini hah?”

Suaranya menggelegar, beberapa ada yang ingin melawan tetapi sebelahnya bersikeras menahan.

“maaf, aku di sini hanya supporter yang menyemangati temen-temen untuk tetap fokus.”

“dimana dia? si Nia itu? Aku mau bertemu dengannya empat mata!”

Belum sampai menjawab, salah seorang operator menghalang “sebelum itu, tolong bicarakan ini dengan baik-baik. Kami tidak dapat fokus karena kedatangan kalian yang mendadak dan kasar. Saat ini kami sedang memantau kondisi para beta tester.”

Ia nampaknya tidak menerima, tetapi melihat beberapa tampilan kamera di tiap kamar terdapat ranjang. Ruang para beta tester terlelap tetapi kesadaran bertualang bebas kalap, ia segera menyetujui.

 

Sejenak setelah seorang yang mengaku-ngaku polisi tersebut pergi ke ruangan lain bersama dengan anak buah mereka, semua operator seolah dapat bernapa lega.

“kamu harus pergi sekarang! Kami tidak ingin konsep itu terkuak!” Ujar salah seorang operator.

“Kami tidak tahu konsep itu. Tapi apapun itu, berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah! Jadi, kakak harus segera memindahkan berkas tersebut—“

“aku sudah menyimpannya dengan baik.”

“dimana?”

“di sini. Tapi di mana ia sekarang?”

“ia di lantai bawah, lobi. Aku ragu kalau ia hanya bawa anak buah segitu, pasti ada banyak lagi. Tapi, siapa mereka?”

“aku nggak tahu. Dilihat dari logatnya, kayaknya ia bukan polisi. Aku ingat banget, aku sudah izin & alat simulatornya aman… dan konsep itu, masih terenkripsi. Jadi, nggak mungkin penguji versi alfa tentang konsep itu.”

“apapun itu, ia pasti memanggil pasukan dan menyerbu fasilitas ini. Jadi, apa yang akan kamu lakukan Nia?”

“aku nggak mau ada nyawa melayang lagi. Kali ini aku yang akan maju.”

“tapi Nia. Kamu itu asset! Apa kamu mau menyerahkan—“

“Ata, aku sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Semenjak aku merumuskan teknologi ini, akan datang hari… perintahkan operator untuk memulai rencana ‘draw delete’.”

“Draw delete? yakin?”

“Untuk kemanan game. Biasa, game masih beta. Nanti malah kebanyakan spoiler.”

“kan sebelumnya ndak ada persetujuan ini juga. Beta tester gimana nantinya?”

“makanya itu, aku mau maju kali ini.”

“maksudmu Nia?”

Ia, laki-laki yang dipaggil Ata merasa khawatir. Kalau ini bukan ranah yang berhubungan dengan konsep, ia mungkin membiarkan wanita yang kini sedang menggerai rambut panjangnya setelah diikat seharian.

“tapi ngomong-ngomong. Aku kalo diikat rambutku ternyata orang-orang langsung nggak tahu aku kali ya?”

 

 

Hari ketiga?

Tidak terasa aku akhirnya terlelap. Baru merebahkan diri, begitu tulang punggung rileks diluruskan, rasa kantuk tiba melelapkan.

“ini… oiya, ini uji beta.” Gumanku begitu lihat langit-langit yang dibuat oleh arsitek pertama kalinya.

Noleh kanan, ia bangun setelah aku. Yuki, si Warrior cewek. Tolong jangan berpikir aku akan merancang bed/ranjang yang berdekatan berdempetan dengannya.

Bangun, lihat statistik singkat, tidak ada yang berubah. Kemudian lihat jendela, melihat kondisi luar shelter. Tidak ada zombi atau mob yang berkerumun. Artinya proses skip malam kami berhasil. Aku lebih memilih untuk tidur setiap malam tiba dibandingkan mengangkat pedang & tameng untuk bertarung sekaligus farming.

“tunggu, tameng… di minecraft ada tameng. Aku masih punya beberapa besi batangan. Harusnya aku bisa meng-crafting­ tameng!” Ujarku serentak ketika tiba-tiba terlintas kata ‘tameng’ atau Shield.

 Pengalaman melebur & crafting tidak mencukupi!

Harusnya aku menyadarinya lebih awal. Kalau minecraft ini sangat realistis.

 

Rencana hari ini adalah berkelana mencari perkampungan villager. Karena sumber daya disekitar sini hanya itu-itu aja, maksudku hanya sebatas kayu, bebatuan, barang tambang pun aku belum re-stok semenjak tragedi amblas kemarin-kemarin yang berujung aku satu party sama ini warrior.

“Yuki. Kamu nggak mau makan sekarang kan? Makannya nanti wae. Aku lihat statistik vitalmu masih oke kok.” Ujarku ketika melihat Yuki membuka dan melihat-lihat kotak/chest yang biasa aku men-stok makanan.

“enggak, aku… oke oke. Aku mengerti.” Ujarnya.

 

“Irma, aku bukannya melarang kamu mau bertualang mencari villager. Tapi gini, ini minecraft. Kemungkinan akan kamu nggak bisa balik lagi alias tersesat untuk mencari rumah ini pas kembali.. kamu yakin?”

Aku melihat shelterku. Base pertamaku dengan segala ke-epic-an arsitektur yang aku rancang, kubuat pertama kali, “Hm.. ini akan jadi nostalgia kalau aku ketemu lagi setelah nge-bunuh Enderdragon.”

“Kamu nggak bakal bisa habisin Enderdragon sendiri di minecraft ini. Apalagi dengan segala fitur khas rpg yang dimasukkan di sini.” Yuki meledek.

“hum.. entah, nanti kapan-kapan boleh dicoba.” Jawabku seraya memulai langkah berangkat.

“heh? ini mesti beneran ini? Ini uji beta loh!” Seru Yuki sembari mengikuti langkah.

“Ya.. siapa tahu aja, ada kesempatan untuk fast-run.”

Aku tertawa, rasanya tidak mungkin kalau sampai melawan naga Ender. Lihat lawan zombi, skeleton saja sudah nyaris kewalahan. Apalagi ini berbasis vr & realistis.

 

Berkelana dimulai. Inventoriku nyaris penuh akan makanan yang tadinya aku stok dalam kotak/chest, kini aku pindah semua dalam inventori. Rencana awal hanya ambil beberapa secukupnya, karena aku mengira tidak cukup kalau aku masukkan semua. Ternyata semua stok makanan di kotak dalam dimasukkan dalam inventori, lantas mengapa tidak?

“Yuki!”

“Siap!!”

Si warrior cewek, pengguna pedang ganda bertugas utama menyerang. Namun aku tetap siaga dagger bila ada penjarah atau sesuatu yang menyerang. Bisa jadi pemain yang memilih menjadi kriminal di dunia maya ini.

Kali ini ia membabat satu sapi, dengan dua bilah pedangnya. Satu serangan, mati sudah.

“dapat 1 kulit/leather sama 1 sapi mentah!” Seru Yuki.

“simpan dulu. Nanti aku masak.”

 

Biasanya berkelana seperti ini terasa membosankan. Aku masih ingat ketika bermain minecraft di komputer. Kala itu aku bermain sendiri, karena untuk join mabar(main bareng) harus menggunakan software minecraft yang legit/resmi/legal alias beli di beberapa provider legal atau langsung dari situs resminya.

Harganya lumayan besar untuk anak kelas sekolah menengah pertama/smp. Bahkan sampai jenjang perkuliahan pun, harganya lumayan eman untuk dibeli hanya sekelas game. Maksudku masih banyak kepentingan lainnya yang dibutuhkan seperti keperluan perkuliahan dan lain-lainnya.

Akhirnya mau nggak mau aku bermain seorang diri. Solo player. Bermain cukup lama, ketika si Termus menelpon atau mengirim pesan untuk mengajak main bareng (bukan minecraft), aku menutup aplikasinya dan membuka aplikasi lain sesuai ajakan temen mabar sekaligus seperjuangan.

“Terra. Gimana kabarnya? Apa ia tahu kalau aku ikut seperti ini?” Gumanku pelan.

“Ada apa Irma?” Sahut Yuki menoleh.

“ah tidak, aku tiba-tiba ingat temenku. Aku nggak ngabari kalau aku ikut join beginian.” Pendengarannya tajam banget. Apa itu efek dari talenta yang dimilikinya?

“aku juga nggak bilang temen. Apalagi keluarga. Ya ingin join, join aja.”

“tunggu nggak bilang keluarga?? Kendel banget kamu.”

-Note: kendel memiliki arti yang sama dengan berani-

“ya… aku asal ikut aja. Cari hiburan gitu.” Ujarnya santai.

“oalah oke oke. Kalau gitu, main rileks aja to. Ndak usah ngoyo gitu.”

“kalau nggak ngoyo, ntar mati. Gimana coba?”

-Note: ngoyo punya arti yang sama dengan maksa/memaksa-

“ya… mati ya udah. Lagian ini kan beta tester.. nanti juga bakal rilis versi finalnya kok yang bisa dimainin banyak orang.”

“justru itu karena ini beta tester, kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku yakin kalau pemain mati di sini, ndak respawn di bed/ranjang seperti di minecraft biasanya. Maka dari itu, aku ingin membuat pengalaman ini lebih mengena.. Kapan lagi bisa join beta tester.”

 Mendengar Yuki mengatakan ‘pengalaman’, aku teringat akan tujuan awal aku ikut join uji beta ini.

“ya.. makanya itu. Aku juga sama, kalau nggak karena… maksudku ini pengalaman langka.”

“karena?”

“karena ini pengalaman langka. Tadi kamu juga bilang, kapan lagi bisa join beta tester.”

Si Yuki menggumam, “HM…..”

“kamu ini.” Ucapku seraya kembali fokus melihat, barang kali ada perumahan perkomplekan yang memungkinkan ada villager di situ.

 

Terhitung, kami berkelana sampai beralih bioma dua kali. Artinya dari bioma dataran, kemudian bioma pepohonan rindang, sampai bioma bunga.

“bioma yang banyak bunga gini biasanya ada banyak lebahnya. Jangan diganggu, atau kamu ntar diwajag tawon aku nggak mau nolong.”

“ya, siapa juga yang mau nebas lebah. Dibunuh ngga dapet daging.” Ujarnya menyarungkan dua pedangnya, melepas posisi siaga.

Tempat yang rindang, tidak begitu banyak pepohonan yang sampai menutupi langit yang cerah. Sehingga sinar cahaya yang aku sebut matahari ini dapat menyinari rerumputan perbukitan ini. Karena itu, bermacam-macam bunga tumbuh dengan sinar cahaya yang baik.

[100%] Yukina, Warrior Lv. 42

---[100%] Stamina

---[68%] Poin Wareg

“kita singgah sebentar di sini.” Ujarku setelah melihat statistik vital miliknya.

Yuki menyetujui, ia menyimpan pedangnya kembali di inventorinya. Aku membuka menu, mengambil beberapa potong daging lembu yang aku masak kemarin.

“daging ayam?”

“nggak. Ini daging domba yang kamu babat kemarin”

Duduk di hamparan rerumputan. Yuki & Aku makan beberapa daging domba potong yang aku masak kemarin. Kali ini Yuki tidak bercerita banyak, ia hanya menanyakan daging apa, kemudian melahapnya. Seketika setelah selesai mengisi poin wareg, kami kembali berangkat melanjutkan bertualang.

 

“kita bermalam di sini.”

“malam di sini? Artinya nanti malam farming berarti..”

Berkelana ternyata menghabiskan waktu sampai petang, kemudian menjelang malam. Kami berhenti sejenak di salah satu pepohonan rindang.

“aku akan buat rumah instan. Mungkin memakan waktu sebentar, setidaknya untuk tempat berlindung.. ya, aku bisa-bisa saja me-rebuild ranjang yang aku bongkar dan kumasukkan inventori. Tapi rumah shelter lebih penting.. jadi..”

“Ok ok mengerti. Aku akan meng-cover.” Yuki mempersiapkan pedangnya.

Yuki meng-cover selagi aku membangun. Untuk membuat rumah mesipun sekedar dinding yang mengelilingi bed/ranjang, membutuhkan waktu nyaris lama.

“Irma. Skeleton! Skeleton!” Seru Yuki.

“malam baru tiba lho. Sudah muncul? Tahan sebentar!”

“tahan gimana? Dia kan mob yang bisa nyerang jarak jauh! Gimana ini?”

*vwung!

“Irma! Panahnya ngarah ke kamu!”

*tak!

Batang anak panah melesat menancap dinding kayu yang masih proses pembangunan.

“hampir aja. Bisa langsung mati aku kalau tadi kena kepala.” Ujarku.

“sementara alihke perhatiannya. Proses buat dindingnya mau selesai.. tolong tahan sebentar.”

Yuki mengambil pedang keduanya. “ini tak ajak jalan-jalan, selesaikan shelternya!” Ia kemudian lari, mencoba mengalihkan perhatian skeleton yang tadinya mengincar seorang yang bersusah payah membangun shelter apa adanya.

Si tulang belulang merespon ada objek yang maju mendekat. Lantas otomatis ia mengalihkan aimingnya kepada objek terdekat. Ialah Yukina, warrior cewek.

“Berhasil!” Seru Yuki begitu melihat beberapa skeleton teralihkan incarannya tertuju pada cewek pedang ganda ini.

“Skeleton punya waktu interval tembak berkisar tiga detik. Kamu pasti sudah tahu tentang itu, jadi tolong tahan sebentar oke!” Ujarku mengurus beberapak kayu yang disulap menjadi potongan-potongan kayu berbentuk papan untuk kemudian menjadi purwarupa shelter.

“siap kapten! Kalau masalah nge-dodge ini mah easy..” Seru Yuki.

Harusnya Yuki, si warrior cewek dapat mengatasinya. Talenta warrior punya agility yang cukup untuk sekedar menghindar serangan anak panah yang dilontarkan oleh Skeleton. Tapi ia terkadang terlalu ceroboh ketika bersemangat. Aku harus segera menyelesaikan ini.

*vwung *vwung!

Skeleton. Mob jenis hostile dengan wujud manusia tanpa daging, kalau kamu pernah menonton film bergenre bajak laut, harusnya kamu tidak asing dengan wujud manusia tengkorak tulang belulang seperti ini.

“gak kena. Aim yang bener dong!” Ujar Yuki seraya tertawa.

Dalam jarak dekat, Skeleton bisa cukup berbahaya kalau terkena serangan dari anak panah olehnya. Kecuali kalau pemain memiliki tameng/shield. Poin pengalaman crafting & meleburku kurang, alhasil aku perlu bahan untuk terus mempraktekkan smelting/melebur sesuatu. Terakhir kali aku melebur adalah menambal pedang si Yuki yang patah.

Proses membangun… (83%)

“Ayolah, cepet selesai..” Keluhku melihat persenan statistik proses pembangunan.

Aku yang khawatir, si Yuki malah kesenengan hindar-hindar ibarat main petak umpet.

*vomp! *vwomp!

“heh? jangan bilang ada Endermen di sini.”

Pengalaman membangun meningkat!

 

Membangun base selesai. Tolong jangan bandingkan dengan shelter sebelumnya. Ini bahkan aku lebih menyebutnya semacam gledek/gasebo seadanya.

“Yuki, terus perhatiannya. Kali ini aku yang menyerang.” Seru aku berlari mengejar skeleton yang terpancing oleh warrior cewek itu.

“hum. Oke oke!”

*syat *krak!

Tebasan tajam. Tulang patah. Dagger juga patah.

“oke. Satu hancur, santai aku masih punya dua puluh..” Ujarku melihat serpihan dagger mencuat setelah aku gunakan skill Slice Edge.

Skeleton yang aku serang belum sepenuhnya mati, ia tersadar kalau diserang, objek yang menyerang lebih dekat dibanding yang ia incar sebelumnya yakni si Yuki. Otomatis ia menarik busur,

“Yuki!”

“ay ay!!”

*slash!

Dua Irisan horizontal. Dua cahaya iris tipis melintas mengekor pedang yang dipegang Yuki, silang membentuk huruf X.

*krak! *krak!

Mob hostile jenis archer ini hancur lebur. Terpecah belah tulang belulangnya.

“Irma, belakang!”

Menu, Shortcut, Dagger..

Realize!

*tang!!

Panah dilepas, aku memperhitungkan arah panah tersebut dilontar. Mempertaruhkan perkiraan. Alhasil aku berhasil menepisnya dengan dagger seadanya.

“weh.. hebat. Aku nggak nyangka kalau kamu bisa nepis itu panah.” Ujar si Yuki mendengar anak panah berdentang pantul jatuh.

“nanti aku jelaskan. Cepet bunuh, sebelum ia narik busur lagi!” Seru aku seraya bersiap kalau tiba-tiba mob jenis archer ini melepas anak panah lagi.

Yuki meluruskan pedangnya lagi, melesat maju. “Oke.. sekalian ini mau tes skill baru..”

Ia pengguna pedang ganda. Biasanya skill yang dimilikinya bermacam-macam. Aku pernah bermain game jenis rpg, job/class yang menggunakan pedang ganda punya banyak variasi serangannya. Apalagi di minecraft vr ini, pastinya banyak variasi serangannya.

Melesat maju, mendekati skeleton. “gawat, 2.5 detik terlewat. Yuki bisa kena panah.”

Yuki melepas skill serangannya. Pedang bersinar seperti biasanya, ia memutar tubuh secara akrobatik, menebas horizontal bersamaan berurutan. Bagaimana caraku menjelaskan? Intinya Yuki menebas skeleton pakai dua pedangnya dengan diagonal/miring. Jadi seperti membentuk simbol = tapi miring.

“booya baby, tato miring tak kasih” Seru Yuki.

Keren pastinya. Apalagi sesosok cewek, memegang dua pedang.

Skeleton terlempar mundur dan mendapat irisan = mencoret tulang belulangnya. Ia melihat Yuki yang masih mempertahankan pose.

“heh? ia masih hidup anjer!” Seru aku seraya melakukan dash, menusuk ujung dagger menancap pada dada tulang mob skeleton.

*vung *prak!

Serangan ini harusnya tidak begitu ber-damage. Namun karena nyawanya mungkin sudah sekarat, ia mati dalam sekali serang.

Tubuh dua skeleton tadi terpecah menjadi partikel seperti biasanya. Menyisakan drop item berupa tulang.

“kok masih hidup, harusnya kan..” Yuki heran karena serangan dua pedang harusnya memberikan damage cukup banyak.

“seranganmu tadi kayaknya kejauhan. Harusnya lebih deket sedikit.. agar irisannya mantep.” Ujarku menjumput beberapa tulang.

“ini tulang bisa jadi pisau nggak ya?” Ujarku pelan.

Seperti biasa, Yuki yang punya pendengaran tajam ia menyahuti “apa-apa? jadi pedang?”.

“kau ini.. jangan nguping lah…” Jawabku pelan.

“ya.. maaf. Kamu mau bikin pedang dari tulang?”

“ya.. mungkin aja bisa. Karena, aku nggak bisa bikin pedang. Tapi bisa bikin dagger, daggerkan di minecraft nggak ada..”

“kayaknya bisa deh. Di mc di sini berbeda.. kamu ingat.”

*vwomp

“Ir.. denger kamu?”

“iya aku denger.”

Itu adalah ambience suara dari Endermen. Semua pemain minecraft tahu pastinya. Endermen, manusia hitam, tingginya bukan main, matanya bisa bikin kematian bagi yang meliriknya. Kalau ada pemain melihat endermen, ibaratnya malaikat maut sudah ada didekatnya dan tinggal dicabut.

“Ranjang bed sudah jadi, kamu nunduk. Jangan sampai ngelirik matanya.” Bisikku pelan.

“Hu-um. Paham aku.” Yuki menunduk dan mulai perlahan melangkah menuju base/shelter.

“Ini bioma tidak begitu banyak pepohonan yang kecil. Kalau ketangkep Endermen, bisa disiksa sampai mati ini.” Gumanku seraya merunduk.

Ada aturan kuat dalam minecraft. Ialah ketika kamu bertemu Endermen, maka cara mengatasinya adalah jangan melirik matanya. Ya sangat mudah, easy/ez. Tinggal arahkan kursor kebawah, maka otomatis perspektifnya akan merunduk menatap tanah  rerumputan. Lalu melangkah pelan-pelan, menuju tempat perlindungan.

Tetapi, kalau wayah gini. Mungkin bisa sulit, karena perspektif utama yang mengontrol adalah pandangan pemain sendiri. Jadi, mungkin aku memang merunduk tapi terkadang reflek mata mengintip. Nah ini bisa gawat kalau tidak sengaja melirik mata ungu dari Endermen.

*vwomp!

“hawa-hawanya ia deket kita. Gimana ini Ir.. aku nggak bisa nge-bunuh Endemen lho!” Ujar Yuki pelan.

“kamu aja nggak bisa. Apalagi aku. Ya sudah, masuk aja ke shelter..nanti tinggal nunggu timing yang pas untuk tidur men-skip malam.”

“Endermen nggak mati kalau pagi woi.. ia bisa semaleman di sekitar sini…” Ujar Yuki seraya terus mengendap perlahan melangkah merunduk menuju shelter.

“Ya, jangan kamu serang atau kamu provoke to… Endermen kan mob yang modelnya dia nggak akan menyerang kecuali ia diserang atau di-provoke duluan.”

Jarak hanya 5 meter. Tapi karena merunduk dan melangkah pelan-pelan, rasanya jauh banget. Padahal cuma berapa meter saja.

Yuki & Aku sudah sampai shelter “Oke. Terus gimana lagi?”.

“shelter ini nggak punya jendela. Kalau aku tambahin model jendela, akan lama prosesnya. Ini aja aku buat sesingkat mungkin. Kan ini hanya sementara, nanti tak bongkar lagi.”

Begitu kami masuk ke dalam shelter. Aku sontak menutup shelter dengan papan. Harusnya aku membuat pintu untuk memudahkan, tapi tidak ada waktu untuk itu. Seketika begitu shelter ditutup, tidak ada cahaya masuk. Gelap pun menggerayang.

“tidur gelap-gelap an ea…” Ejek Yuki.

Membuka menu, mengambil obor. Cahaya obor menerangi shelter super-sempit ini. “Sabar mbak e…”

“ini kalau di dunia nyata, kita mati kebakar & kehabisan oksigen ini…” Tawa Yuki.

Ya.. karena ini shelter tidak ada ventilasi, aku seolah membuat kotak besar yang hanya muat dua ranjang. Kemudian tanpa pintu. Lebar luasnya pun sebatas agar cukup & nge-pas oleh bed/ranjang. Ditambah lagi aku menyulut obor. Kalau ini dunia nyata, sudah mati kita karena kehabisan oksigen.

“minecraft logic… di sini masih diterapkan.” Ujarku seraya menancapkan obor ini di salah satu sisi dinding shelter.

 

“jadi.. ngapain.. langsung skip malam ini?” Ujar Yuki seraya berbaring di atas Bed/ranjang.

“iya lah. Kamu mau stan-by nebas-nebas mob yang katamu nge-farming? Kalau aku skip, moh aku.”

“hihi, ya kali aja…”

“nggak, aku nggak mau mbak e. Talentaku nggak support.” Ujarku memberi alasan bakat/talenta yang tidak dikhususkan untuk petarung.

“hehe oke oke. Jangan panggil mbak lah, nggak enak ini jadinya.”

“Aku kebiasaan memangil cewek dengan panggilan mbak. Mungkin apa itu membuatmu lebih tua?” Ujarku menggasak.

“nah itu tau. Makanya, jangan panggil itu.” Tawa Yuki.

Kami saling ngobrol. Biasanya ngobrol tetapi topik tidak nyambung terus. Mungkin karena ranjang kami berdekatan. Sehingga si cewek warrior itu berbaring menghadap kiri, aku sebaliknya. Kami saling tatap mengobrol.

 

“Tapi Irma. Tadi itu itu keren banget loh. Kamu bisa nepis anak panah.” Ujarnya.

“nggak, itu nggak sengaja. Coba nanti kapan-kapan praktek lagi. Ntar ketujes.”

Yuki menggerai rambutnya meluruskan agar tidak menutupi wajahnya, “ya.. tapi reflek mu cepet.. apa itu skill?”

“ya.. menurutmu aku tadi pake skill nggak?”

“nggak deh kayaknya. Ya kan? Ya kan..?”

Aku mengangguk pelan, “aku pake skill. Kamu ini.”

“heh masa?” Yuki terkejut.

“skill waktu lari cepat tadi.. pake dash.. kalau refleknya nggak.”

“nah kan.. bener aku.” Senyum Yuki.

“kan kelihatan. Pergerakan yang pake skill dengan yang tidak, itu kelihatan kok.”

Yuki menyeka rambut poninya, “weh ada bedanya?”

“ada… coba aja kamu perhatikan. Wong kamu pake skill terus kok, mana sempet merhatikan.” Ujarku seraya tertawa.

“ya.. itu kayak reflek… awalnya mau nggak pake, tiba-tiba pergerakanku kayak dituntun gitu.”

“hm.. itu mungkin pergerakanmu memicu sistem untuk pake skill…”

Ia menyunggingkan senyum seraya menutup kedua matanya.

“jangan menggantungkan skill. Pakai skill kreasi sendiri ae..” Ujarku.

“hum.. dibilang reflek ko. Mau ndak pake, pake model style sendiri. Tapi tiba-tiba kayak dituntun untuk makai skill..”

“ya.. itu sebenarnya bukan hal yang penting. Ini hanya game. E Z, relax..”

“hu-um. Harusnya gitu, nggak spaneng.”

Hening kemudian. Yuki tidak melanjutkan obrolan. Tiba-tiba teringat akan tujuan awal aku ikut ini, yakni untuk mencari bahan sebagai tugas akhir. Sekaligus mencoba mengingat kembali, merekap akan aktivitas apa saja yang aku lakukan di sini.

“Iruma.” Yuki memanggil setelah hening.

“hm..?”

“Aku tidur dulu. Kalau ada Endermen, ngadepin sendiri ya.” Ujarnya terkekeh.

“Weleh. Skip.” Jawabku seraya memalingkan pandangan menatap langit-langit setinggi badan kami.

 

Singkat cerita, kami berhasil men-skip malam dan tahu-tahu bangun bersamaan. Ini kedua kalinya aku bangun timing-nya sama dengan si Yuki. Sontak aku beranjak dan membongkar shelter untuk mendapatkan material mentahnya.

Siapa tahu nanti kami harus bermalam lagi.

Hari keempat?

“makannya nanti aja yo. Ini lanjut nyari perkampungan villager.” Ujarku setelah berhasil membongkar shelter & ranjang.  Material mentahnya masuk ke dalam inventori.

“hum hum. Oke oke. Manut aku seperti biasanya.”

Kami melanjutkan berkelana. Tanpa kendaraan, tanpa arah tujuan karena kami tidak berbekal kompas. Mau punya kompas gimana, aku ndak punya redstone untuk buat. Akhirnya hanya mengandalkan insting kami dari bakat/talenta yang kami equip.

 

Tengah perjalanan, kami mendapati sungai. Lantas kami memutuskan untuk rehat sejenak. Aku sempat mencoba mengambil ikan di sungai. Tetapi hasilnya nihil. Aku kurang cekatan saat menangkap ikan di air. Yuki mencoba, ia juga gagal. Padahal ia sendiri punya poin agility yang cukup tinggi menurutku.

“Irma. Coba ikutin arah arus sungai ini. Mungkin aja ini bisa jadi petunjuk untuk menemukan villager.” Ujar Yuki.

“Hm. Oke oke. Masuk akal.” Aku menyetujui.

Yuki memimpin, ia yang duluan menemukan arah arus sungai ini kemana. Ditambah lagi ia ingat ketika ia berada di perkampungan villager, sumber air yang digunakan adalah berasal dari sungai. Maka tidak menutup kemungkinan kalau sungai ini bisa jadi petunjuk untuk menemukan kampung Villager.

 

Arus sungai ini berbelok dari arah tujuan kami tadi. Awalnya kami lurus terus, lalu menemukan sungai di tengah perjalanan. Sungai tidak begitu dalam, kami dapat menerjangnya tapi apakah mungkin sungai ini bisa jadi petunjuk untuk menemukan villager? Siapa tahu bisa.

Aku juga tidak mau log in di sini lama-lama.

“Irma, aku lihat ada jembatan! Wah ini artinya ada seorang yang membangun jembatan itu!” Seru Yuki sembari menunjuk jembatan setengah lingkaran untuk menyebrang sungai yang perlahan ternyata melebar dan tidak mungkin dapat diterjang kalau tidak pakai jembatan atau sampan/kapal kecil.

Aku mengangguk semangat, Yuki mempercepat laju langkahnya begitu pula denganku.

 

Usaha tidak mengkhianati hasil. Pelajaran hari ini, kami menemukan perkampungan villager setelah satu hari satu malam berkelana. Ini terbilang sedikit kalau di minecraft aslinya. Tapi berjalan sehari satu malam itu melelahkan, apalagi kontrol utamanya adalah seluruh tubuh.

Perumahan berjejer rapi, dengan motif yang nyaris sama semua. Suasana pedesaan khas terasa walaupun masih berjarak kurang lebih 10 meter.

Aku bertanya Yuki, “kamu pernah ke perkampungan villagerkan? Apa yang biasanya mereka lakukan?”

“villager seperti villager biasanya. Ada yang menempa sesuatu, memasak, bertani, beternak, dan lain-lain.”

“jadi kayak Villager seperti biasanya?”

“iyap. Nanti ada juga yang bisa ngasih quest. Kamu pernah main game rpg kan?”

“ye. Pernah aku. Ok ok, paham.”

 

Kami tiba di areal perkampungan villager, setelah satu hari satu malam berkelana. Kemudian menemukan sungai, mengikuti arusnya atas saran Yuki, lalu beruntung di tengah-tengah menguntit arus sungai menemukan perkampungan villager yang cukup ramai.

“Aku tidak ingin kamu nge-loot seperti yang dilakukan di minecraft biasanya.” Ujar Yuki. Ia menatapku, seperti mengancam.

“nggak. Aku menyadari ini villager berbeda. Sudah aku tanamkan dalam hati.”

Seorang yang pernah main minecraft, mesti pernah yang namanya nge-loot ketika ia menemukan perkampungan villager. Nge-loot bisa diartikan mencuri, menjarah. Ya.. lebih spesifik dengan menjarah. Karena mengambil sesuatu yang ada di dalam kotak/chest di tiap-tiap rumah villager.

Hal ini tidak masalah sebenarnya, karena Villager adalah mob dengan tipikal passive. Yakni ia tidak akan menyerang pemain atau mob lain. Mau dipukul, ditenggelamkan, diserang berkali-kali oleh pedang.. palingan villager bakal lari sana-sini mencoba melindungi diri dengan kabur.

Namun, minecraft vr berbeda. Mulai dari sistem user-interfacenya saja sudah mencerminkan kalau game ini benar-benar realistis. Ndak bisa bikin pedang karena kurang poin pengalaman, adanya skill, beberapa bakat yang hanya bisa dibuka dengan memperbanyak latihan sampai jago, dan masih banyak lagi.

Hal ini sudah pasti kalau villager di sini mutlak berbeda dengan villager yang ada di minecraft biasanya. Aku sudah dapat membayangkan kalau villager adalah sesosok seperti npc dalam game rpg, mungkin lebih dari itu. Ia pasti memiliki kecerdasan buatan yang cukup pintar untuk dapat berinteraksi seperti orang ngobrol biasa.

Dan ia mungkin juga memiliki, perasaan.

“Irma.”

“hm?”

“ayo masuk..” Ujar Yuki

“ah iya iya.”

 

Begitu masuk, feeling pedesaan rasanya terasa. Villager yang sedang berinteraksi dengan villager lain, ada anak villager yang berlarian dan bermain petak umpet(kayaknya), dan suasana khas yang hanya ditemukan di pedesaan.

“ada villager perempuan juga ternyata.” Ujarku sedikit terkejut ketika melihat penjual villager cewek.

Villager diibaratkan seperti orang biasa. Memiliki mata, hidung, telinga, rambut style yang berbeda-beda. Hanya saja mereka villager, yakni mob. Apa yang mereka perbuat, katakan, lakukan sudah terprogram rapi seperti biasanya.

“iyap. Mereka cantik-cantik kan?” Ejek Yuki.

“hm… iya sih. Sayang, mereka semua hanya mob.” Gumanku pelan.

Mereka semua hanyalah mob. Semua yang dilakukannya, seperti yang aku katakan tadi. Sudah terprogram oleh algoritma yang rapi. Sehingga mungkin sulit membedakan antara ini orang asli dengan mob villager.

 

“apa ini kampung villager yang kamu ceritakan itu?”

“bukan. Aku rasa bukan. Tempat villager yang aku mendapatkan pedang kinasih ini berada di dataran tinggi. Apa kamu mau mencoba ambil quest?” tanya Yuki.

“rencana awal aku mau mencari villager yang berpengalaman di beberapa bidang. Untuk melatih beberapa pengalaman yang masih kurang.”

“pengalaman?”

“sebentar..” Aku membuka menu, melihat kembali beberapa statistik yang hilang.

“pengalaman crafting, dan smelting.. aku rasa itu yang paling susah kalau dilakukan sendiri”

“berarti cari villager yang berkerja sebagai pandai besi.” Yuki memutuskan.

 

Palu diketok, semburat bunga api mencuat keluar. Seorang laki-laki bertubuh kekar, khususnya kedua lengannya yang nyaris tidak beristirahat sejenak tiap kali ia menghantamkan palu besi pada sesuatu berwarna merah menyala.

Si Pandai besi.

Ia menguncir rambutnya dengan gaya ekor kuda. Tangan kanannya berkali-kali diayun sekuat tenaga menghantam sesuatu merah menyala.

Aku melakukan ini baru satu kali, ketika menambal pedang si Yuki yang patah. Itu pun aku tidak memakai palu dan bersusah payah memukuli pedang yang yang masih berwarna merah menyala, baru keluar dari tungku perapian.

“Hai orang asing. Apa yang kamu lihat? Melihatku memercik bunga api?”

Belum memulai obrolan, ia mendahului dengan kata-kata yang ketus.

Yuki sempat ngeri sejenak, aku tetap tenang. Seorang pandai besi sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Di mana ia setiap harinya berusaha keras untuk menundukkan besi agar dapat dibentuk sesuai yang diminta dimaunya. Maka dari itu,

“pandai besi. Apa yang kamu buat?”

Ia berhenti tiba-tiba ketika hendak menghantamkan palunya pada sesuatu yang merah menyala ini.

“ini? Aku sedang membuat pisau.” Kemudian ia melanjutkan hantaman palunya memercik bunga api yang mencuat keluar.

“pisau? Apa Dagger?”

Ia cepat merespon, “Dagger? Dagger berbeda dengan pisau. Pisau lebih cenderung rapi & statis. Ketajamannya hanya diperlukan untuk mengiris daging atau sesuatu yang kecil.” Jawab si pandai besi.

“begitu, aku malah baru tahu kalau ada bedanya.”

“beberapa ada yang tidak begitu memperhatikan bentuknya. Yang penting bisa buat mengiris daging & dapat digunakan kala situasi terhimpit. Maka dari itu dagger dan pisau nyaris tidak ada bedanya.”

Aku mengangguk. Ia berkata lagi, “dagger biasanya dibuat untuk kenyamanan & ketajaman. Karena seseorang bisa saja menggunakan dagger dalam jangka waktu yang lama. Berbeda dengan pisau biasa, sedikit orang yang menggunakan pisau setiap harinya. Kebanyakan hanya digunakan ketika memasak, mengiris daging, memotong sesuatu yang kecil.”

Ia berkata sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Aku rasa.

“kalau begitu. Menurutmu ini dagger apa pisau, pandai besi?” Aku berujar seraya mengeluarkan dagger yang aku buat biasanya.

“mahahahahahaa!” Ia tertawa lepas begitu melirik kontur bilah tajam pada dagger. Aku sudah menebak responnya.

“menyedihkan sekali. Bawa sini, dagger atau pisau apalah yang kamu pegang. Akan aku perbaiki..”

Aku mengiyakan, memberikan dagger yang terbuat dari batu kepada si pandai besi. Ia kemudian berdiri dan mulai mengurus dagger batu yang aku buat.

“kayaknya kamu sudah humble sama si pandai besi. Aku lihat-lihat sekitar dulu ya Ir.” Ujar Yuki.

“ya. jangan jauh-jauh!”

“siap.”

 

Beberapa saat kemudian si pandai besi datang seraya menjepit dagger batu milikku yang kini berwarna merah menyala.

“perhatikan aku memperbaiki dagger milikmu.” Ujar si pandai besi.

Aku merespon dengan anggukan.

*tang! *tang!!

Dentang suara metal bertabrakan. Si pandai besi mulai merekonstruksi dagger batu milikku.

“kamu membuat dagger ini dari batu. Maka dari itu, aku menambahkan beberapa material metal agar menjaga dagger ini tidak pecah hancur ketika aku tempa. Tidak masalah bukan?”

“tidak, sama sekali tidak. Aku yang harusnya berterima kasih malah.” Ujarku. Kalau pun pecah hancur, toh aku masih punya sekitar dua puluhan dagger batu di inventori.

Proses menempa tidak berlangsung lama. Padahal ini tidak hanya merekonstruksi ulang, melainkan juga menempa untuk memasukkan beberapa material metalik pada dagger tersebut. Hal ini hanya berlangsung selama satu jam kurang.

“sekarang dagger milikmu sudah jadi. Aku mau menyebut ini dagger, karena sesuai dengan bentuk fisiknya..” Ujar si Pandai besi seraya mengangkat dagger merah menyala ini dengan penjepit. Kemudian ia memasukkannya ke dalam bak air.

Uap panas bertemu dingin meluap mengepul keluar.

 

[Refined Metalik Stone Dagger]

“aku memasukkan material metalik, jadi aku menamainya Refined Metalik karena di dalamnya terdapat komponen yang diperbaiki & penambahan material khusus.”

Dagger batu yang biasa aku pakai untuk mengiris daging, menyayat zombi dengan damage seadanya kini seolah disulap menjadi pedang pendek yang memesona.

Grip atau batang pegangan dari dagger ini benar-benar nyaman dipegang. Tidak bikin meleset, menggunakannya sangat mudah dan enteng. Tidak sebelumnya, yang terkadang pergerakan dagger-ku sering meleset ketika hendak menyayat musuh.

“tapi kalau misalnya kamu tidak begitu suka dengan nama baru itu. Bilang saja padaku, aku akan menggantinya sesuai dengan nama yang kamu minta.”

Aku menggeleng cepat, menolak “tidak, tidak. Ini sudah keren banget dah.”

“ketahanannya aku tingkatkan dengan material khusus yang tidak mudah retak. Ketajaman meingkat, dan pula mobilitas dagger ini bertambah nyaman tentunya.” Si pandai besi berujar seraya menunjuk dagger yang dimodifikasi olehnya.

Memegang dengan bilah tajam berada di bawah jari kelingking. Biasanya aku menggunakan dagger dengan style seperti karena lebih mudah ketika memadukannya dengan skill dash.

“kamu sudah tahu cara memegang dagger ternyata. Seperti itu, bilah tajamnya berada di kelingking. Tidak di jari jempol.” Pandai besi berujar lagi.

“ah aku biasa memakai dagger seperti ini. Karena bisa aku padukan dengan skill dash.”

“hm… dash. Apa bakatmu bocah?”

“bakat, talenta-ku penambang..”

Ia berguman, mengelus dagu sejenak kemudian menjawab “kamu harus belajar pedang. Agar pergerakan daggermu dapat terangkat oleh talenta pendekar pedang.”

“maksudmu swordman?”

“ya betul. Apa lagi kalau kamu dapat membuka empat slot talenta. Memadukan antara talenta ore seeker dengan warrior sangat efektif ketika melakukan pertarungan solo.”

“ore sekeer? Oh saat ini aku baru membuka slot kedua, dan aku isi dengan bakat penambang. Talenta kombinasinya menjadi Ore seeker!”

Ia mengangguk paham “Ore Seeker adalah evolusi kedua dari miner/penambang. Bakat ini meningkatkan beberapa poin ketahanan, tetapi cukup lemah dalam hal damage.. kamu pasti merasakannya bukan?”

“ya.. aku merasakannya. Ketika menghadapi musuh dalam jumlah besar/banyak. Aku sering kewalahan ketika bertarung solo..”

Ore Seeker/pencari bijih, evolusi kedua dari miner. Meningkatkan beberapa statistik kemampuan, khususnya dalam hal tambang-menambang. Ditambah lagi insting untuk tetap bertahan hidup, hal ini memberikan efek akan ide positif yang selalu muncul ketika terhimpit.

Namun, mengandalkan kapak tambang nampaknya tidak recommended ketika terjadinya pertarungan dalam jumlah banyak.

“kamu tidak sendiri kan? Wanita dengan dua pedang di pinggangnya, itu temanmu bukan?”

“iya. Ia satu party denganku. Ia seorang warrior, aku—“

Sontak si Pandai besi menarik baju default dan mendekapku, “kalau begitu, kamu beruntung..” Bisiknya pelan.

“heh, kenapa memangnya?”

“sejauh ini, aku belum menemukan petarung/warrior cewek. Rata-rata semuanya laki-laki. Kamu harus beruntung sehingga kamu tidak perlu bersusah payah berlatih pedang, hanya fokus dengan bakat nambangmu itu!” Seru si Pandai Besi.

“heh apa? tapi—“

“pokoknya kamu harus merasa beruntung kamu punya party seorang warrior cewek.”

“lah memangnya kenapa?”

Ia memperkencang dekapannya, aku seolah nyaris tercekik karenanya, “biasanya warrior merasa dia adalah orang paling OP dengan senjatanya dapat dengan mudah membunuh mob atau memberikan damage yang besar.. tapi ketika aku melihatnya, ia pasti tipikal warrior yang penurut. Iya bukan?”

Yang dikatakan oleh si Pandai besi ini ada benarnya. Aku sebelumnya pernah bermain game rpg, bukan minecraft. Game sejenis rpg, berbasis mmorpg (massive multiplayer online role playing game). Pemain yang memiliki kelas/job (kalau di sini namanya talenta) warrior atau apapun yang memiliki daya serang tinggi, kebanyakan pada sombong dan merendahkan pemain tipe support atau ber-damage lemah.

Sedangkan ini, walaupun aku baru kenal Ia tipikal pemain yang penurut, tidak begitu banyak berkomentar. Kalau pun ia punya pendapat lain, ia tetap mengikuti pendapat yang paling unggul. Hal ini terasa ketika pada situasi yang gawat. Si Yuki tetap manut dengan komando perintah olehku.

“hm… bener juga sih..” Ujarku mengakui.

“makanya itu…” Balas si Pandai besi seraya melemaskan dekapannya. Aku seolah dapat bernapas lega kembali.

“tapi, aku tidak mungkin bergantung terus. Ia mungkin suatu saat akan pindah party atau semacamnya.. jadi aku tetap berencana untuk mengembangkan kemampuan yang masih kurang.”

Si Pandai besi menyunggingkan senyum, “Hm.. aku suka prinsipmu. Kalau begitu, aku punya kawan. Ia pandai menggunakan pedang. Aku rasa kamu bisa belajar darinya..”

“benarkah? Apa aku bisa ketemu sama kawanmu?” Aku merespon semangat.

“iyap.. ikuti aku.” Ujar si Pandai besi sembari bangkit berdiri.

Ini yang aku tunggu-tunggu, berinteraksi dengan npc(non-playable/player-character) sampai akhirnya ngobrol seru, mendapatkan wejangan, hingga akhirnya ia mau mengenalkan kawannya yang ahli dalam hal pedang.

 

“kak lakukan itu lagi!”

Si cewek warrior, pemakai pedang ganda, si Yuki. Nampaknya ia kini sedang disegani oleh anak-anak villager. Ia melakukan tindakan akrobatik, yakni melempar lingkaran pizza penuh kemudian dibagi diirisnya sesuai dengan jumlah anak-anak yang hendak makan pizza.

Kamu tahu scene dari salah satu animasi kartun yang diadaptasi menjadi film? Kura-kura ninja? Si Leonardo pengguna pedang? Nah itu, si Yuki menunjukkan kebolehannya menggunakan pedang untuk mengiris pizza selagi dilempar di udara.

Begitu pizza yang terpotong rapi jatuh ke piring masing-masing anak. Mereka mengucapkan “Terimakasih kak!” berbarengan.

Si Yuki menyunggingkan senyum sembari berujar “sama-sama!” kemudian kembali menyarungkan pedangnya.

Ia sebelumnya mendapat tawaran untuk membagi pizza oleh salah satu villager penjual makanan. Ia mengiyakan, lantas membagi pizza tersebut kemudian si penjual makanan berbalik mengucapkan “terima kasih, sudah membantu.. apa yang bisa aku lakukan untuk membayar?”

“nggak, itu tidak perlu. Aku tadi hanya membantu mengiris pizza. Harusnya tidak perlu dibayar hanya karena aku melakukan itu..” Ujar Yuki menolak.

Si Villager penjual makanan tidak menggubris, ia mengambil kotak persegi ceper. Membuka menu, memecahnya menjadi partikel kemudian didorong partikel tersebut ke arah tubuh si Yuki.

Kamu memperoleh pizza box (1x)

Sontak Yuki kaget mendapati ia di-gift satu box pizza hanya dengan membantu mengiris pizza doang.

“terima kasih! Terima kasih! Ibu!” Ujar Yuki seraya merunduk malu.

 

*klang! *Klang!

Pedang beradu. Bertarung berduel, tapi bukan untuk membunuh satu sama lain.

“pergerakanmu! Perhatikan arah tebas pedangnya!”

Pergerakanku yang kacau, sang instruktor menyeru karenanya.

*vungggg *syat *prakk!

Batang kayu mencuat, percikan partikel menyembur kecil. Pertanda benda bertabrakan dengan keras sampai mengurangi durabilitas benda.

“kamu menebasnya menggunakan skill. Usahakan untuk tidak menggunakan skill. Karena suatu saat kamu akan mengalami situasi terhimpit, dimana harus menghemat staminamu.” Ujarnya.

Aku melihat pedang yang aku genggam, patah. “reflek, tiba-tiba langsung melakukan gerakan yang memicu skill.”

Yang aku gunakan bukanlah pedang seperti biasanya. Dapat menebas, mengiris dan tajam biasanya. Pedang ini hanya replika, terbuat dari kayu dan durabilitasnya pun terbatas. Aku mengayunkan pedang ini menggunakan skill, tiga kali hancur. Bukan pedang musuh yang hancur, melainkan milikku.

slice edge memang memiliki damage yang besar, tetapi dibayar dengan kerusakan durabilitas yang tinggi. Kalau situasi terpaksa, jangan gunakan pedang utama untuk melakukan slice edge. Karena durabilitasnya akan berkurang sia-sia.”

“baik. Biasanya aku memakai dagger, menggunakan irisan tepi/slice edge ketika situasi terhimpir terpaksa. Karena itu aku mempersiapkan puluhan dagger dalam inventori.” Jawabku.

“tapi reflekmu sudah baik. Kemampuan pedangmu sudah cukup untuk kelas pemain biasa.” Instruktur menyarungkan pedang kayunya kemudian duduk di salah bangku.

 

Kini aku berlatih pedang, dengan villager. Bisa kamu bayangkan? Berguru dengan villager, yang biasanya para minecrafter bunuh untuk menjarah rumah mereka. Tetapi di sini, villager seolah memiliki kecerdaan yang tinggi dan dapat berinteraksi dengan mudahnya.

“siapa namamu? Aku belum berkenalan denganmu.” Ujar si Instruktur.

“Iruma, Bapak..”

Ia terkekeh, “jangan memanggilku bapak. Kamu seolah membuatku menua.”

 

Sekitar dua jam, adu pedang sekaligus mendapat wejangan oleh bapak Instruktur, notifikasi ‘pengalaman pedang meningkat’ berkali-kali muncul. Mungkin malam ini aku dapat membuka talenta swordman untuk memadukan antara talenta miner dengan swordman. Apa jadinya?

“cukup latihannya hari ini. Jaga staminamu, jangan sampai semangatmu menyepelekan statistik vital yang selalu menyertai avatarmu.” Ia mengakhiri.

Ia benar, berlatih pedang walaupun hanya sekedar saling bertarung, kemudian mendapat nasehat dan saran. Hanya begitu tetapi rasanya cukup melelahkan.

Notifikasi: Yukina mengirim pesan!

Pesan: Di mana kamu?

“um. Instruktur kamu benar. Aku pamit, mungkin besok aku mampir ke sini lagi.”

Si instruktur menyarungkan pedang kayunya, “Silahkan. Rumahku terbuka selalu.”

 

Malam mulai petang. Biasanya kami langsung menyiapkan persenjataan untuk bersiap melawan beberapa mob hostile yang datang menyerang. Tetapi melihat penduduk desa yang punya bakat talenta masing-masing, apa perlu pemain asli turut melindungi dari beberapa mob yang menyerang ketika malam hari?

Villager biasanya sangat rentan dengan mob hostile, khususnya mob zombi yang dapat membuat penduduk terinfeksi sehingga berubah menjadi zombi village. Perbedaan yang mencolok adalah zombi dengan pakaian khas villager. Itu dalam minecraft aslinya, apa di sini sama?

“kau pernah bermain minecraft kan sebelumnya?”

“iyap.” Yuki menjawab seketika.

“villager…. Dan zombi village. Pernah?”

Ia mengangguk, “hum. Aku bahkan pernah mencari tempat untuk dapat bed, ketemu kampung villager tapi penduduk di sana sudah jadi zombi semua.”

Kami saat ini duduk di salah satu bangku di pinggir alun-alun (sebut saja alun-alun. Karena kami duduk di bangku taman yang ada di tengah-tengah desa ini.). Melihat para villager yang nyaris menyerupai manusia akan sikapnya, mereka berinteraksi mengobrol, bermain bagi yang anak-anak, melakukan barter, dan lainnya.

“hah? Apa?”

“apa?”

“zombi village katamu?” Yuki sontak kaget.

Ia menari jari, mencoret garis maya horizontal. Baris menu pun terbuka akan gestur coretannya.

Cepat menekan tombol maya, menyeret beberapa ikon. Sepertinya ia hendak memunculkan sesuatu dari perlengkapan/inventorinya.

Partikel muncul, berkumpul, membentuk semacam objek memanjang. Pedang muncul tepat di samping kiri pinggangnya, ia menyeru “zombi village. Village ini bisa bahaya!”

“yap. Aku juga berpikir begitu.” Jawabku bangkit seraya membuka menu, mengambil bilah pendek namun tajam yang telah diasah oleh si pandai besi. Refined Metalik Stone Dagger.

Niat bercampur, antara menyelamatkan dengan farming poin pengalaman. Ah sudahlah, dua-duanya adalah tujuan niat aku dan si warrior mengangkat bilah tajam.

 

Pos penembak jitu,

Menarik busur, membidik, melepas cengkraman tiga batang yang sedari tadi dijepit sela-sela jari.

*vwung *splat! *stab *splat!

Ia menghela napas, mengatur ketenangan. Meskipun ia sendiri berada dalam bahaya. Tangan jarinya tetap tenang menarik bilah batang tipis silinder, pucuk tajam yang memungkinkan dapat menembus kulit dan sulit untuk dicabut bila telah menancap.

bidik.” Gumannya pelan, menarik busur. Memanfaatkan gaya pegas untuk melancarkan serangan.

Niat ganda, antara melindungi dengan melatih kemampuan incar sejak dini.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.