MINECRAFTER VOL. 3 - BAB 11: Menundukkan Besi
Bab 11: Menundukkan Besi
Tempat
fasilitas uji coba. Newgen.
Hari ketiga
uji coba untuk para penguji.
Hari
pertama uji coba untuk para pengawas & direktur.
Waktu
terlintas berbeda bagi dunia mereka. Dunia nyata, waktu sangat realistis dan
tidak diterapkan sama dengan dunia maya, khususnya mereka yang masih terlelap
tidur namun kesadaran masih mengambang berpetualang teratur.
Semuanya
berlangsung lancar. Beberapa kendala terjadi, tetapi dapat diatasi.
“menyingkir,
kami pihak kepolisian.”
“tunggu,
apa?”
Harusnya
begitu.
“hari
ketiga dalam minecraft. Server uptime?”
“masih
aktif stabil. Tuan Putri!”
“kondisi
chunks?”
“masih
stabil.”
“semangat
kalian ya! bila ada yang merasa kurang sehat atau lelah. Cepat kabari!”
“siapp tuan
putri!!”
Ia terus
menyemangati.
Panggilan
tuan Putri bukanlah sekedar nama alternatif atau formal. Ia punya nama, tidak
banyak orang yang tahu. Identitasnya bahkan tenggelam tidak dikenal oleh
netizen, padahal ia berpotensi menjadi rennaisance perubahan yang dapat
mengubah dan menuntun era baru menuju ke-modernisasi.
“tuan
Putri. Ada orang maksa untuk masuk fasilitas.”
“masuk?
Siapa?”
“katanya ia
dari kepolisian.”
“heh? kan
kita udah izin resmi dan sertifikat aman. Apa yang dimasalahkan?”
“nggak tau
tuan Putri.”
“angkat tangan
kalian! Kami dari kepolisian, menyergap beberapa kecurigaan!” Ujar seorang
masuk dari pintu ganda tanpa salam, ia datang seraya mengacungkan senapan.
Serentah
semua karyawan terkejut dan mulai ambyar berhamburan.
“temen-temen,
jangan tinggalkan posisi. Tetep fokus…” Ujar tuan Putri.
“ini.. ada
apa ini? Kami sudah mendapatkan izin secara resmi dan sertifikat aman akan alat
yang kami pakai.” Ujar lagi tuan Putri.
“Kami
melihat data sistem operasi kamu. Ada sesuatu yang kalian sembunyikan..”
Ia terdiam.
Tatapannya tetap fokus & tenang.
“konsep
dunia baru dan salin tempel.”
Dua istilah
dalam bahasa Indonesia, tidak asing. Tetapi penjelasannya tidak semua orang
tahu. Hanya orang tertentu, semua yang di sini pun belum tentu mengetahui apa
aslinya dua istilah tadi.
Beberapa
operator yang saling tatap muka. Mereka berperilaku seolah tidak tahu-menahu.
“maksudnya?
Kita di sini hanya untuk mencoba game berbasis vr. Newgen sudah mendapatkan
izin & sertifikat aman untuk itu.” Tuan Putri membalas.
“sudah
cukup. Konsep dunia baru. Aku yakin berkas itu ada di sini.” Ujarnya menyalak.
“kami di
sini murni untuk menguji game sandbox. Apa maksudmu?” tuan Putri membalas.
Ia merasa
kalau si tuan Putri berlagak tidak tahu-menahu. Ia yakin kalau sesuatu yang
diinginkannya ada di tempat ini, ia lantas menghampirinya. Tatapannya terlihat
licik mengancam tajam.
“Kau
bilang-bilang gitu, apa kau direktur di sini hah?”
Suaranya
menggelegar, beberapa ada yang ingin melawan tetapi sebelahnya bersikeras
menahan.
“maaf, aku
di sini hanya supporter yang menyemangati temen-temen untuk tetap fokus.”
“dimana
dia? si Nia itu? Aku mau bertemu dengannya empat mata!”
Belum
sampai menjawab, salah seorang operator menghalang “sebelum itu, tolong
bicarakan ini dengan baik-baik. Kami tidak dapat fokus karena kedatangan kalian
yang mendadak dan kasar. Saat ini kami sedang memantau kondisi para beta
tester.”
Ia
nampaknya tidak menerima, tetapi melihat beberapa tampilan kamera di tiap kamar
terdapat ranjang. Ruang para beta tester terlelap tetapi kesadaran bertualang
bebas kalap, ia segera menyetujui.
Sejenak
setelah seorang yang mengaku-ngaku polisi tersebut pergi ke ruangan lain
bersama dengan anak buah mereka, semua operator seolah dapat bernapa lega.
“kamu harus
pergi sekarang! Kami tidak ingin konsep itu terkuak!” Ujar salah seorang
operator.
“Kami tidak
tahu konsep itu. Tapi apapun itu, berbahaya jika jatuh ke tangan yang salah!
Jadi, kakak harus segera memindahkan berkas tersebut—“
“aku sudah
menyimpannya dengan baik.”
“dimana?”
“di sini.
Tapi di mana ia sekarang?”
“ia di
lantai bawah, lobi. Aku ragu kalau ia hanya bawa anak buah segitu, pasti ada
banyak lagi. Tapi, siapa mereka?”
“aku nggak
tahu. Dilihat dari logatnya, kayaknya ia bukan polisi. Aku ingat banget, aku
sudah izin & alat simulatornya aman… dan konsep itu, masih terenkripsi.
Jadi, nggak mungkin penguji versi alfa tentang konsep itu.”
“apapun
itu, ia pasti memanggil pasukan dan menyerbu fasilitas ini. Jadi, apa yang akan
kamu lakukan Nia?”
“aku nggak
mau ada nyawa melayang lagi. Kali ini aku yang akan maju.”
“tapi Nia.
Kamu itu asset! Apa kamu mau menyerahkan—“
“Ata, aku
sudah merencanakan ini jauh-jauh hari. Semenjak aku merumuskan teknologi ini,
akan datang hari… perintahkan operator untuk memulai rencana ‘draw delete’.”
“Draw
delete? yakin?”
“Untuk
kemanan game. Biasa, game masih beta. Nanti malah kebanyakan spoiler.”
“kan
sebelumnya ndak ada persetujuan ini juga. Beta tester gimana nantinya?”
“makanya
itu, aku mau maju kali ini.”
“maksudmu
Nia?”
Ia,
laki-laki yang dipaggil Ata merasa khawatir. Kalau ini bukan ranah yang
berhubungan dengan konsep, ia mungkin membiarkan wanita yang kini sedang
menggerai rambut panjangnya setelah diikat seharian.
“tapi
ngomong-ngomong. Aku kalo diikat rambutku ternyata orang-orang langsung nggak
tahu aku kali ya?”
Hari
ketiga?
Tidak
terasa aku akhirnya terlelap. Baru merebahkan diri, begitu tulang punggung
rileks diluruskan, rasa kantuk tiba melelapkan.
“ini… oiya,
ini uji beta.” Gumanku begitu lihat langit-langit yang dibuat oleh arsitek
pertama kalinya.
Noleh
kanan, ia bangun setelah aku. Yuki, si Warrior cewek. Tolong jangan berpikir
aku akan merancang bed/ranjang yang berdekatan berdempetan dengannya.
Bangun,
lihat statistik singkat, tidak ada yang berubah. Kemudian lihat jendela,
melihat kondisi luar shelter. Tidak ada zombi atau mob yang berkerumun. Artinya
proses skip malam kami berhasil. Aku lebih memilih untuk tidur setiap malam
tiba dibandingkan mengangkat pedang & tameng untuk bertarung sekaligus
farming.
“tunggu,
tameng… di minecraft ada tameng. Aku masih punya beberapa besi batangan.
Harusnya aku bisa meng-crafting tameng!” Ujarku serentak ketika
tiba-tiba terlintas kata ‘tameng’ atau Shield.
Pengalaman melebur & crafting tidak
mencukupi!
Harusnya
aku menyadarinya lebih awal. Kalau minecraft ini sangat realistis.
Rencana
hari ini adalah berkelana mencari perkampungan villager. Karena sumber daya
disekitar sini hanya itu-itu aja, maksudku hanya sebatas kayu, bebatuan, barang
tambang pun aku belum re-stok semenjak tragedi amblas kemarin-kemarin yang
berujung aku satu party sama ini warrior.
“Yuki. Kamu
nggak mau makan sekarang kan? Makannya nanti wae. Aku lihat statistik vitalmu
masih oke kok.” Ujarku ketika melihat Yuki membuka dan melihat-lihat
kotak/chest yang biasa aku men-stok makanan.
“enggak,
aku… oke oke. Aku mengerti.” Ujarnya.
“Irma, aku
bukannya melarang kamu mau bertualang mencari villager. Tapi gini, ini
minecraft. Kemungkinan akan kamu nggak bisa balik lagi alias tersesat untuk
mencari rumah ini pas kembali.. kamu yakin?”
Aku melihat
shelterku. Base pertamaku dengan segala ke-epic-an arsitektur yang aku rancang,
kubuat pertama kali, “Hm.. ini akan jadi nostalgia kalau aku ketemu lagi
setelah nge-bunuh Enderdragon.”
“Kamu nggak
bakal bisa habisin Enderdragon sendiri di minecraft ini. Apalagi dengan segala
fitur khas rpg yang dimasukkan di sini.” Yuki meledek.
“hum..
entah, nanti kapan-kapan boleh dicoba.” Jawabku seraya memulai langkah
berangkat.
“heh? ini
mesti beneran ini? Ini uji beta loh!” Seru Yuki sembari mengikuti langkah.
“Ya.. siapa
tahu aja, ada kesempatan untuk fast-run.”
Aku
tertawa, rasanya tidak mungkin kalau sampai melawan naga Ender. Lihat lawan
zombi, skeleton saja sudah nyaris kewalahan. Apalagi ini berbasis vr &
realistis.
Berkelana
dimulai. Inventoriku nyaris penuh akan makanan yang tadinya aku stok dalam
kotak/chest, kini aku pindah semua dalam inventori. Rencana awal hanya ambil
beberapa secukupnya, karena aku mengira tidak cukup kalau aku masukkan semua.
Ternyata semua stok makanan di kotak dalam dimasukkan dalam inventori, lantas
mengapa tidak?
“Yuki!”
“Siap!!”
Si warrior
cewek, pengguna pedang ganda bertugas utama menyerang. Namun aku tetap siaga
dagger bila ada penjarah atau sesuatu yang menyerang. Bisa jadi pemain yang
memilih menjadi kriminal di dunia maya ini.
Kali ini ia
membabat satu sapi, dengan dua bilah pedangnya. Satu serangan, mati sudah.
“dapat 1
kulit/leather sama 1 sapi mentah!” Seru Yuki.
“simpan
dulu. Nanti aku masak.”
Biasanya
berkelana seperti ini terasa membosankan. Aku masih ingat ketika bermain
minecraft di komputer. Kala itu aku bermain sendiri, karena untuk join
mabar(main bareng) harus menggunakan software minecraft yang legit/resmi/legal
alias beli di beberapa provider legal atau langsung dari situs resminya.
Harganya
lumayan besar untuk anak kelas sekolah menengah pertama/smp. Bahkan sampai
jenjang perkuliahan pun, harganya lumayan eman untuk dibeli hanya sekelas game.
Maksudku masih banyak kepentingan lainnya yang dibutuhkan seperti keperluan
perkuliahan dan lain-lainnya.
Akhirnya mau
nggak mau aku bermain seorang diri. Solo player. Bermain cukup lama, ketika si
Termus menelpon atau mengirim pesan untuk mengajak main bareng (bukan
minecraft), aku menutup aplikasinya dan membuka aplikasi lain sesuai ajakan
temen mabar sekaligus seperjuangan.
“Terra.
Gimana kabarnya? Apa ia tahu kalau aku ikut seperti ini?” Gumanku pelan.
“Ada apa
Irma?” Sahut Yuki menoleh.
“ah tidak,
aku tiba-tiba ingat temenku. Aku nggak ngabari kalau aku ikut join beginian.”
Pendengarannya tajam banget. Apa itu efek dari talenta yang dimilikinya?
“aku juga
nggak bilang temen. Apalagi keluarga. Ya ingin join, join aja.”
“tunggu
nggak bilang keluarga?? Kendel banget kamu.”
-Note:
kendel memiliki arti yang sama dengan berani-
“ya… aku
asal ikut aja. Cari hiburan gitu.” Ujarnya santai.
“oalah oke
oke. Kalau gitu, main rileks aja to. Ndak usah ngoyo gitu.”
“kalau
nggak ngoyo, ntar mati. Gimana coba?”
-Note:
ngoyo punya arti yang sama dengan maksa/memaksa-
“ya… mati
ya udah. Lagian ini kan beta tester.. nanti juga bakal rilis versi finalnya kok
yang bisa dimainin banyak orang.”
“justru itu
karena ini beta tester, kesempatan tidak akan datang dua kali. Aku yakin kalau
pemain mati di sini, ndak respawn di bed/ranjang seperti di minecraft biasanya.
Maka dari itu, aku ingin membuat pengalaman ini lebih mengena.. Kapan lagi bisa
join beta tester.”
Mendengar Yuki mengatakan ‘pengalaman’, aku
teringat akan tujuan awal aku ikut join uji beta ini.
“ya..
makanya itu. Aku juga sama, kalau nggak karena… maksudku ini pengalaman
langka.”
“karena?”
“karena ini
pengalaman langka. Tadi kamu juga bilang, kapan lagi bisa join beta tester.”
Si Yuki
menggumam, “HM…..”
“kamu ini.”
Ucapku seraya kembali fokus melihat, barang kali ada perumahan perkomplekan
yang memungkinkan ada villager di situ.
Terhitung,
kami berkelana sampai beralih bioma dua kali. Artinya dari bioma dataran,
kemudian bioma pepohonan rindang, sampai bioma bunga.
“bioma yang
banyak bunga gini biasanya ada banyak lebahnya. Jangan diganggu, atau kamu ntar
diwajag tawon aku nggak mau nolong.”
“ya, siapa
juga yang mau nebas lebah. Dibunuh ngga dapet daging.” Ujarnya menyarungkan dua
pedangnya, melepas posisi siaga.
Tempat yang
rindang, tidak begitu banyak pepohonan yang sampai menutupi langit yang cerah.
Sehingga sinar cahaya yang aku sebut matahari ini dapat menyinari rerumputan
perbukitan ini. Karena itu, bermacam-macam bunga tumbuh dengan sinar cahaya
yang baik.
[100%] Yukina, Warrior Lv. 42
---[100%] Stamina
---[68%] Poin Wareg
“kita singgah sebentar di sini.” Ujarku setelah
melihat statistik vital miliknya.
Yuki menyetujui, ia menyimpan pedangnya kembali
di inventorinya. Aku membuka menu, mengambil beberapa potong daging lembu yang
aku masak kemarin.
“daging ayam?”
“nggak. Ini daging domba yang kamu babat
kemarin”
Duduk di hamparan rerumputan. Yuki & Aku
makan beberapa daging domba potong yang aku masak kemarin. Kali ini Yuki tidak
bercerita banyak, ia hanya menanyakan daging apa, kemudian melahapnya. Seketika
setelah selesai mengisi poin wareg, kami kembali berangkat melanjutkan bertualang.
“kita bermalam di sini.”
“malam di sini? Artinya nanti malam farming
berarti..”
Berkelana ternyata menghabiskan waktu sampai
petang, kemudian menjelang malam. Kami berhenti sejenak di salah satu pepohonan
rindang.
“aku akan buat rumah instan. Mungkin memakan
waktu sebentar, setidaknya untuk tempat berlindung.. ya, aku bisa-bisa saja
me-rebuild ranjang yang aku bongkar dan kumasukkan inventori. Tapi rumah
shelter lebih penting.. jadi..”
“Ok ok mengerti. Aku akan meng-cover.” Yuki
mempersiapkan pedangnya.
Yuki meng-cover selagi aku membangun. Untuk
membuat rumah mesipun sekedar dinding yang mengelilingi bed/ranjang,
membutuhkan waktu nyaris lama.
“Irma. Skeleton! Skeleton!” Seru Yuki.
“malam baru tiba lho. Sudah muncul? Tahan
sebentar!”
“tahan gimana? Dia kan mob yang bisa nyerang
jarak jauh! Gimana ini?”
*vwung!
“Irma! Panahnya ngarah ke kamu!”
*tak!
Batang anak panah melesat menancap dinding kayu
yang masih proses pembangunan.
“hampir aja. Bisa langsung mati aku kalau tadi
kena kepala.” Ujarku.
“sementara alihke perhatiannya. Proses buat
dindingnya mau selesai.. tolong tahan sebentar.”
Yuki mengambil pedang keduanya. “ini tak ajak
jalan-jalan, selesaikan shelternya!” Ia kemudian lari, mencoba mengalihkan
perhatian skeleton yang tadinya mengincar seorang yang bersusah payah membangun
shelter apa adanya.
Si tulang belulang merespon ada objek yang maju
mendekat. Lantas otomatis ia mengalihkan aimingnya kepada objek
terdekat. Ialah Yukina, warrior cewek.
“Berhasil!” Seru Yuki begitu melihat beberapa skeleton
teralihkan incarannya tertuju pada cewek pedang ganda ini.
“Skeleton punya waktu interval tembak berkisar
tiga detik. Kamu pasti sudah tahu tentang itu, jadi tolong tahan sebentar oke!”
Ujarku mengurus beberapak kayu yang disulap menjadi potongan-potongan kayu
berbentuk papan untuk kemudian menjadi purwarupa shelter.
“siap kapten! Kalau masalah nge-dodge ini mah
easy..” Seru Yuki.
Harusnya Yuki, si warrior cewek dapat
mengatasinya. Talenta warrior punya agility yang cukup untuk sekedar
menghindar serangan anak panah yang dilontarkan oleh Skeleton. Tapi ia
terkadang terlalu ceroboh ketika bersemangat. Aku harus segera menyelesaikan
ini.
*vwung *vwung!
Skeleton. Mob jenis hostile dengan wujud
manusia tanpa daging, kalau kamu pernah menonton film bergenre bajak laut,
harusnya kamu tidak asing dengan wujud manusia tengkorak tulang belulang
seperti ini.
“gak kena. Aim yang bener dong!” Ujar Yuki
seraya tertawa.
Dalam jarak dekat, Skeleton bisa cukup
berbahaya kalau terkena serangan dari anak panah olehnya. Kecuali kalau pemain
memiliki tameng/shield. Poin pengalaman crafting & meleburku kurang,
alhasil aku perlu bahan untuk terus mempraktekkan smelting/melebur
sesuatu. Terakhir kali aku melebur adalah menambal pedang si Yuki yang patah.
Proses membangun… (83%)
“Ayolah, cepet selesai..” Keluhku melihat
persenan statistik proses pembangunan.
Aku yang khawatir, si Yuki malah kesenengan
hindar-hindar ibarat main petak umpet.
*vomp! *vwomp!
“heh? jangan bilang ada Endermen di sini.”
Pengalaman membangun meningkat!
Membangun base selesai. Tolong jangan
bandingkan dengan shelter sebelumnya. Ini bahkan aku lebih menyebutnya semacam
gledek/gasebo seadanya.
“Yuki, terus perhatiannya. Kali ini aku yang
menyerang.” Seru aku berlari mengejar skeleton yang terpancing oleh warrior
cewek itu.
“hum. Oke oke!”
*syat *krak!
Tebasan tajam. Tulang patah. Dagger juga patah.
“oke. Satu hancur, santai aku masih punya dua
puluh..” Ujarku melihat serpihan dagger mencuat setelah aku gunakan skill Slice
Edge.
Skeleton yang aku serang belum sepenuhnya mati,
ia tersadar kalau diserang, objek yang menyerang lebih dekat dibanding yang ia
incar sebelumnya yakni si Yuki. Otomatis ia menarik busur,
“Yuki!”
“ay ay!!”
*slash!
Dua Irisan horizontal. Dua cahaya iris tipis
melintas mengekor pedang yang dipegang Yuki, silang membentuk huruf X.
*krak! *krak!
Mob hostile jenis archer ini hancur lebur.
Terpecah belah tulang belulangnya.
“Irma, belakang!”
Menu, Shortcut, Dagger..
“Realize!”
*tang!!
Panah dilepas, aku memperhitungkan arah panah
tersebut dilontar. Mempertaruhkan perkiraan. Alhasil aku berhasil menepisnya
dengan dagger seadanya.
“weh.. hebat. Aku nggak nyangka kalau kamu bisa
nepis itu panah.” Ujar si Yuki mendengar anak panah berdentang pantul jatuh.
“nanti aku jelaskan. Cepet bunuh, sebelum ia
narik busur lagi!” Seru aku seraya bersiap kalau tiba-tiba mob jenis archer ini
melepas anak panah lagi.
Yuki meluruskan pedangnya lagi, melesat maju.
“Oke.. sekalian ini mau tes skill baru..”
Ia pengguna pedang ganda. Biasanya skill yang
dimilikinya bermacam-macam. Aku pernah bermain game jenis rpg, job/class yang
menggunakan pedang ganda punya banyak variasi serangannya. Apalagi di minecraft
vr ini, pastinya banyak variasi serangannya.
Melesat maju, mendekati skeleton. “gawat, 2.5
detik terlewat. Yuki bisa kena panah.”
Yuki melepas skill serangannya. Pedang bersinar
seperti biasanya, ia memutar tubuh secara akrobatik, menebas horizontal
bersamaan berurutan. Bagaimana caraku menjelaskan? Intinya Yuki menebas
skeleton pakai dua pedangnya dengan diagonal/miring. Jadi seperti membentuk
simbol = tapi miring.
“booya baby, tato miring tak kasih” Seru Yuki.
Keren pastinya. Apalagi sesosok cewek, memegang
dua pedang.
Skeleton terlempar mundur dan mendapat irisan =
mencoret tulang belulangnya. Ia melihat Yuki yang masih mempertahankan pose.
“heh? ia masih hidup anjer!” Seru aku seraya
melakukan dash, menusuk ujung dagger menancap pada dada tulang mob
skeleton.
*vung *prak!
Serangan ini harusnya tidak begitu ber-damage.
Namun karena nyawanya mungkin sudah sekarat, ia mati dalam sekali serang.
Tubuh dua skeleton tadi terpecah menjadi
partikel seperti biasanya. Menyisakan drop item berupa tulang.
“kok masih hidup, harusnya kan..” Yuki heran
karena serangan dua pedang harusnya memberikan damage cukup banyak.
“seranganmu tadi kayaknya kejauhan. Harusnya
lebih deket sedikit.. agar irisannya mantep.” Ujarku menjumput beberapa tulang.
“ini tulang bisa jadi pisau nggak ya?” Ujarku
pelan.
Seperti biasa, Yuki yang punya pendengaran
tajam ia menyahuti “apa-apa? jadi pedang?”.
“kau ini.. jangan nguping lah…” Jawabku pelan.
“ya.. maaf. Kamu mau bikin pedang dari tulang?”
“ya.. mungkin aja bisa. Karena, aku nggak bisa
bikin pedang. Tapi bisa bikin dagger, daggerkan di minecraft nggak ada..”
“kayaknya bisa deh. Di mc di sini berbeda..
kamu ingat.”
*vwomp
“Ir.. denger kamu?”
“iya aku denger.”
Itu adalah ambience suara dari Endermen. Semua
pemain minecraft tahu pastinya. Endermen, manusia hitam, tingginya bukan main,
matanya bisa bikin kematian bagi yang meliriknya. Kalau ada pemain melihat
endermen, ibaratnya malaikat maut sudah ada didekatnya dan tinggal dicabut.
“Ranjang bed sudah jadi, kamu nunduk. Jangan
sampai ngelirik matanya.” Bisikku pelan.
“Hu-um. Paham aku.” Yuki menunduk dan mulai
perlahan melangkah menuju base/shelter.
“Ini bioma tidak begitu banyak pepohonan yang
kecil. Kalau ketangkep Endermen, bisa disiksa sampai mati ini.” Gumanku seraya
merunduk.
Ada aturan kuat dalam minecraft. Ialah ketika
kamu bertemu Endermen, maka cara mengatasinya adalah jangan melirik matanya. Ya
sangat mudah, easy/ez. Tinggal arahkan kursor kebawah, maka otomatis
perspektifnya akan merunduk menatap tanah
rerumputan. Lalu melangkah pelan-pelan, menuju tempat perlindungan.
Tetapi, kalau wayah gini. Mungkin bisa sulit,
karena perspektif utama yang mengontrol adalah pandangan pemain sendiri. Jadi,
mungkin aku memang merunduk tapi terkadang reflek mata mengintip. Nah ini bisa
gawat kalau tidak sengaja melirik mata ungu dari Endermen.
*vwomp!
“hawa-hawanya ia deket kita. Gimana ini Ir..
aku nggak bisa nge-bunuh Endemen lho!” Ujar Yuki pelan.
“kamu aja nggak bisa. Apalagi aku. Ya sudah,
masuk aja ke shelter..nanti tinggal nunggu timing yang pas untuk tidur
men-skip malam.”
“Endermen nggak mati kalau pagi woi.. ia bisa
semaleman di sekitar sini…” Ujar Yuki seraya terus mengendap perlahan melangkah
merunduk menuju shelter.
“Ya, jangan kamu serang atau kamu provoke to…
Endermen kan mob yang modelnya dia nggak akan menyerang kecuali ia diserang
atau di-provoke duluan.”
Jarak hanya 5 meter. Tapi karena merunduk dan
melangkah pelan-pelan, rasanya jauh banget. Padahal cuma berapa meter saja.
Yuki & Aku sudah sampai shelter “Oke. Terus
gimana lagi?”.
“shelter ini nggak punya jendela. Kalau aku
tambahin model jendela, akan lama prosesnya. Ini aja aku buat sesingkat
mungkin. Kan ini hanya sementara, nanti tak bongkar lagi.”
Begitu kami masuk ke dalam shelter. Aku sontak
menutup shelter dengan papan. Harusnya aku membuat pintu untuk memudahkan, tapi
tidak ada waktu untuk itu. Seketika begitu shelter ditutup, tidak ada cahaya
masuk. Gelap pun menggerayang.
“tidur gelap-gelap an ea…” Ejek Yuki.
Membuka menu, mengambil obor. Cahaya obor
menerangi shelter super-sempit ini. “Sabar mbak e…”
“ini kalau di dunia nyata, kita mati kebakar
& kehabisan oksigen ini…” Tawa Yuki.
Ya.. karena ini shelter tidak ada ventilasi,
aku seolah membuat kotak besar yang hanya muat dua ranjang. Kemudian tanpa
pintu. Lebar luasnya pun sebatas agar cukup & nge-pas oleh bed/ranjang.
Ditambah lagi aku menyulut obor. Kalau ini dunia nyata, sudah mati kita karena
kehabisan oksigen.
“minecraft logic… di sini masih diterapkan.”
Ujarku seraya menancapkan obor ini di salah satu sisi dinding shelter.
“jadi.. ngapain.. langsung skip malam ini?”
Ujar Yuki seraya berbaring di atas Bed/ranjang.
“iya lah. Kamu mau stan-by nebas-nebas mob yang
katamu nge-farming? Kalau aku skip, moh aku.”
“hihi, ya kali aja…”
“nggak, aku nggak mau mbak e. Talentaku nggak
support.” Ujarku memberi alasan bakat/talenta yang tidak dikhususkan untuk
petarung.
“hehe oke oke. Jangan panggil mbak lah, nggak
enak ini jadinya.”
“Aku kebiasaan memangil cewek dengan panggilan
mbak. Mungkin apa itu membuatmu lebih tua?” Ujarku menggasak.
“nah itu tau. Makanya, jangan panggil itu.”
Tawa Yuki.
Kami saling ngobrol. Biasanya ngobrol tetapi
topik tidak nyambung terus. Mungkin karena ranjang kami berdekatan. Sehingga si
cewek warrior itu berbaring menghadap kiri, aku sebaliknya. Kami saling tatap
mengobrol.
“Tapi Irma. Tadi itu itu keren banget loh. Kamu
bisa nepis anak panah.” Ujarnya.
“nggak, itu nggak sengaja. Coba nanti
kapan-kapan praktek lagi. Ntar ketujes.”
Yuki menggerai rambutnya meluruskan agar tidak
menutupi wajahnya, “ya.. tapi reflek mu cepet.. apa itu skill?”
“ya.. menurutmu aku tadi pake skill nggak?”
“nggak deh kayaknya. Ya kan? Ya kan..?”
Aku mengangguk pelan, “aku pake skill. Kamu
ini.”
“heh masa?” Yuki terkejut.
“skill waktu lari cepat tadi.. pake dash..
kalau refleknya nggak.”
“nah kan.. bener aku.” Senyum Yuki.
“kan kelihatan. Pergerakan yang pake skill
dengan yang tidak, itu kelihatan kok.”
Yuki menyeka rambut poninya, “weh ada bedanya?”
“ada… coba aja kamu perhatikan. Wong kamu pake
skill terus kok, mana sempet merhatikan.” Ujarku seraya tertawa.
“ya.. itu kayak reflek… awalnya mau nggak pake,
tiba-tiba pergerakanku kayak dituntun gitu.”
“hm.. itu mungkin pergerakanmu memicu sistem
untuk pake skill…”
Ia menyunggingkan senyum seraya menutup kedua
matanya.
“jangan menggantungkan skill. Pakai skill
kreasi sendiri ae..” Ujarku.
“hum.. dibilang reflek ko. Mau ndak pake, pake
model style sendiri. Tapi tiba-tiba kayak dituntun untuk makai skill..”
“ya.. itu sebenarnya bukan hal yang penting.
Ini hanya game. E Z, relax..”
“hu-um. Harusnya gitu, nggak spaneng.”
Hening kemudian. Yuki tidak melanjutkan
obrolan. Tiba-tiba teringat akan tujuan awal aku ikut ini, yakni untuk mencari
bahan sebagai tugas akhir. Sekaligus mencoba mengingat kembali, merekap akan
aktivitas apa saja yang aku lakukan di sini.
“Iruma.” Yuki memanggil setelah hening.
“hm..?”
“Aku tidur dulu. Kalau ada Endermen, ngadepin
sendiri ya.” Ujarnya terkekeh.
“Weleh. Skip.” Jawabku seraya memalingkan
pandangan menatap langit-langit setinggi badan kami.
Singkat cerita, kami berhasil men-skip malam
dan tahu-tahu bangun bersamaan. Ini kedua kalinya aku bangun timing-nya
sama dengan si Yuki. Sontak aku beranjak dan membongkar shelter untuk
mendapatkan material mentahnya.
Siapa tahu nanti kami harus bermalam lagi.
Hari keempat?
“makannya nanti aja yo. Ini lanjut nyari
perkampungan villager.” Ujarku setelah berhasil membongkar shelter &
ranjang. Material mentahnya masuk ke
dalam inventori.
“hum hum. Oke oke. Manut aku seperti biasanya.”
Kami melanjutkan berkelana. Tanpa kendaraan,
tanpa arah tujuan karena kami tidak berbekal kompas. Mau punya kompas gimana,
aku ndak punya redstone untuk buat. Akhirnya hanya mengandalkan insting kami
dari bakat/talenta yang kami equip.
Tengah perjalanan, kami mendapati sungai.
Lantas kami memutuskan untuk rehat sejenak. Aku sempat mencoba mengambil ikan
di sungai. Tetapi hasilnya nihil. Aku kurang cekatan saat menangkap ikan di
air. Yuki mencoba, ia juga gagal. Padahal ia sendiri punya poin agility yang
cukup tinggi menurutku.
“Irma. Coba ikutin arah arus sungai ini.
Mungkin aja ini bisa jadi petunjuk untuk menemukan villager.” Ujar Yuki.
“Hm. Oke oke. Masuk akal.” Aku menyetujui.
Yuki memimpin, ia yang duluan menemukan arah
arus sungai ini kemana. Ditambah lagi ia ingat ketika ia berada di perkampungan
villager, sumber air yang digunakan adalah berasal dari sungai. Maka tidak
menutup kemungkinan kalau sungai ini bisa jadi petunjuk untuk menemukan kampung
Villager.
Arus sungai ini berbelok dari arah tujuan kami
tadi. Awalnya kami lurus terus, lalu menemukan sungai di tengah perjalanan.
Sungai tidak begitu dalam, kami dapat menerjangnya tapi apakah mungkin sungai
ini bisa jadi petunjuk untuk menemukan villager? Siapa tahu bisa.
Aku juga tidak mau log in di sini lama-lama.
“Irma, aku lihat ada jembatan! Wah ini artinya
ada seorang yang membangun jembatan itu!” Seru Yuki sembari menunjuk jembatan setengah
lingkaran untuk menyebrang sungai yang perlahan ternyata melebar dan tidak
mungkin dapat diterjang kalau tidak pakai jembatan atau sampan/kapal kecil.
Aku mengangguk semangat, Yuki mempercepat laju
langkahnya begitu pula denganku.
Usaha tidak mengkhianati hasil. Pelajaran hari
ini, kami menemukan perkampungan villager setelah satu hari satu malam
berkelana. Ini terbilang sedikit kalau di minecraft aslinya. Tapi berjalan
sehari satu malam itu melelahkan, apalagi kontrol utamanya adalah seluruh tubuh.
Perumahan berjejer rapi, dengan motif yang
nyaris sama semua. Suasana pedesaan khas terasa walaupun masih berjarak kurang
lebih 10 meter.
Aku bertanya Yuki, “kamu pernah ke perkampungan
villagerkan? Apa yang biasanya mereka lakukan?”
“villager seperti villager biasanya. Ada yang
menempa sesuatu, memasak, bertani, beternak, dan lain-lain.”
“jadi kayak Villager seperti biasanya?”
“iyap. Nanti ada juga yang bisa ngasih quest.
Kamu pernah main game rpg kan?”
“ye. Pernah aku. Ok ok, paham.”
Kami tiba di areal perkampungan villager,
setelah satu hari satu malam berkelana. Kemudian menemukan sungai, mengikuti
arusnya atas saran Yuki, lalu beruntung di tengah-tengah menguntit arus sungai
menemukan perkampungan villager yang cukup ramai.
“Aku tidak ingin kamu nge-loot seperti yang
dilakukan di minecraft biasanya.” Ujar Yuki. Ia menatapku, seperti mengancam.
“nggak. Aku menyadari ini villager berbeda.
Sudah aku tanamkan dalam hati.”
Seorang yang pernah main minecraft, mesti
pernah yang namanya nge-loot ketika ia menemukan perkampungan villager.
Nge-loot bisa diartikan mencuri, menjarah. Ya.. lebih spesifik dengan menjarah.
Karena mengambil sesuatu yang ada di dalam kotak/chest di tiap-tiap rumah
villager.
Hal ini tidak masalah sebenarnya, karena
Villager adalah mob dengan tipikal passive. Yakni ia tidak akan menyerang
pemain atau mob lain. Mau dipukul, ditenggelamkan, diserang berkali-kali oleh
pedang.. palingan villager bakal lari sana-sini mencoba melindungi diri dengan
kabur.
Namun, minecraft vr berbeda. Mulai dari sistem
user-interfacenya saja sudah mencerminkan kalau game ini benar-benar realistis.
Ndak bisa bikin pedang karena kurang poin pengalaman, adanya skill, beberapa
bakat yang hanya bisa dibuka dengan memperbanyak latihan sampai jago, dan masih
banyak lagi.
Hal ini sudah pasti kalau villager di sini
mutlak berbeda dengan villager yang ada di minecraft biasanya. Aku sudah dapat
membayangkan kalau villager adalah sesosok seperti npc dalam game rpg, mungkin
lebih dari itu. Ia pasti memiliki kecerdasan buatan yang cukup pintar untuk
dapat berinteraksi seperti orang ngobrol biasa.
Dan ia mungkin juga memiliki, perasaan.
“Irma.”
“hm?”
“ayo masuk..” Ujar Yuki
“ah iya iya.”
Begitu masuk, feeling pedesaan rasanya terasa.
Villager yang sedang berinteraksi dengan villager lain, ada anak villager yang
berlarian dan bermain petak umpet(kayaknya), dan suasana khas yang hanya
ditemukan di pedesaan.
“ada villager perempuan juga ternyata.” Ujarku
sedikit terkejut ketika melihat penjual villager cewek.
Villager diibaratkan seperti orang biasa.
Memiliki mata, hidung, telinga, rambut style yang berbeda-beda. Hanya saja
mereka villager, yakni mob. Apa yang mereka perbuat, katakan, lakukan sudah
terprogram rapi seperti biasanya.
“iyap. Mereka cantik-cantik kan?” Ejek Yuki.
“hm… iya sih. Sayang, mereka semua hanya mob.”
Gumanku pelan.
Mereka semua hanyalah mob. Semua yang
dilakukannya, seperti yang aku katakan tadi. Sudah terprogram oleh algoritma
yang rapi. Sehingga mungkin sulit membedakan antara ini orang asli dengan mob villager.
“apa ini kampung villager yang kamu ceritakan
itu?”
“bukan. Aku rasa bukan. Tempat villager yang
aku mendapatkan pedang kinasih ini berada di dataran tinggi. Apa kamu mau
mencoba ambil quest?” tanya Yuki.
“rencana awal aku mau mencari villager yang
berpengalaman di beberapa bidang. Untuk melatih beberapa pengalaman yang masih
kurang.”
“pengalaman?”
“sebentar..” Aku membuka menu, melihat kembali
beberapa statistik yang hilang.
“pengalaman crafting, dan smelting.. aku rasa
itu yang paling susah kalau dilakukan sendiri”
“berarti cari villager yang berkerja sebagai
pandai besi.” Yuki memutuskan.
Palu diketok, semburat bunga api mencuat
keluar. Seorang laki-laki bertubuh kekar, khususnya kedua lengannya yang nyaris
tidak beristirahat sejenak tiap kali ia menghantamkan palu besi pada sesuatu
berwarna merah menyala.
Si Pandai besi.
Ia menguncir rambutnya dengan gaya ekor kuda.
Tangan kanannya berkali-kali diayun sekuat tenaga menghantam sesuatu merah
menyala.
Aku melakukan ini baru satu kali, ketika menambal
pedang si Yuki yang patah. Itu pun aku tidak memakai palu dan bersusah payah
memukuli pedang yang yang masih berwarna merah menyala, baru keluar dari tungku
perapian.
“Hai orang asing. Apa yang kamu lihat?
Melihatku memercik bunga api?”
Belum memulai obrolan, ia mendahului dengan
kata-kata yang ketus.
Yuki sempat ngeri sejenak, aku tetap tenang.
Seorang pandai besi sudah terbiasa dengan kerasnya kehidupan. Di mana ia setiap
harinya berusaha keras untuk menundukkan besi agar dapat dibentuk sesuai yang diminta
dimaunya. Maka dari itu,
“pandai besi. Apa yang kamu buat?”
Ia berhenti tiba-tiba ketika hendak
menghantamkan palunya pada sesuatu yang merah menyala ini.
“ini? Aku sedang membuat pisau.” Kemudian ia
melanjutkan hantaman palunya memercik bunga api yang mencuat keluar.
“pisau? Apa Dagger?”
Ia cepat merespon, “Dagger? Dagger berbeda
dengan pisau. Pisau lebih cenderung rapi & statis. Ketajamannya hanya
diperlukan untuk mengiris daging atau sesuatu yang kecil.” Jawab si pandai
besi.
“begitu, aku malah baru tahu kalau ada
bedanya.”
“beberapa ada yang tidak begitu memperhatikan
bentuknya. Yang penting bisa buat mengiris daging & dapat digunakan kala
situasi terhimpit. Maka dari itu dagger dan pisau nyaris tidak ada bedanya.”
Aku mengangguk. Ia berkata lagi, “dagger
biasanya dibuat untuk kenyamanan & ketajaman. Karena seseorang bisa saja
menggunakan dagger dalam jangka waktu yang lama. Berbeda dengan pisau biasa,
sedikit orang yang menggunakan pisau setiap harinya. Kebanyakan hanya digunakan
ketika memasak, mengiris daging, memotong sesuatu yang kecil.”
Ia berkata sesuai dengan ejaan yang
disempurnakan. Aku rasa.
“kalau begitu. Menurutmu ini dagger apa pisau,
pandai besi?” Aku berujar seraya mengeluarkan dagger yang aku buat biasanya.
“mahahahahahaa!” Ia tertawa lepas begitu
melirik kontur bilah tajam pada dagger. Aku sudah menebak responnya.
“menyedihkan sekali. Bawa sini, dagger atau
pisau apalah yang kamu pegang. Akan aku perbaiki..”
Aku mengiyakan, memberikan dagger yang terbuat
dari batu kepada si pandai besi. Ia kemudian berdiri dan mulai mengurus dagger
batu yang aku buat.
“kayaknya kamu sudah humble sama si pandai
besi. Aku lihat-lihat sekitar dulu ya Ir.” Ujar Yuki.
“ya. jangan jauh-jauh!”
“siap.”
Beberapa saat kemudian si pandai besi datang seraya
menjepit dagger batu milikku yang kini berwarna merah menyala.
“perhatikan aku memperbaiki dagger milikmu.”
Ujar si pandai besi.
Aku merespon dengan anggukan.
*tang! *tang!!
Dentang suara metal bertabrakan. Si pandai besi
mulai merekonstruksi dagger batu milikku.
“kamu membuat dagger ini dari batu. Maka dari
itu, aku menambahkan beberapa material metal agar menjaga dagger ini tidak
pecah hancur ketika aku tempa. Tidak masalah bukan?”
“tidak, sama sekali tidak. Aku yang harusnya
berterima kasih malah.” Ujarku. Kalau pun pecah hancur, toh aku masih punya
sekitar dua puluhan dagger batu di inventori.
Proses menempa tidak berlangsung lama. Padahal
ini tidak hanya merekonstruksi ulang, melainkan juga menempa untuk memasukkan
beberapa material metalik pada dagger tersebut. Hal ini hanya berlangsung
selama satu jam kurang.
“sekarang dagger milikmu sudah jadi. Aku mau
menyebut ini dagger, karena sesuai dengan bentuk fisiknya..” Ujar si Pandai
besi seraya mengangkat dagger merah menyala ini dengan penjepit. Kemudian ia
memasukkannya ke dalam bak air.
Uap panas bertemu dingin meluap mengepul
keluar.
[Refined Metalik Stone Dagger]
“aku memasukkan material metalik, jadi aku
menamainya Refined Metalik karena di dalamnya terdapat komponen yang diperbaiki
& penambahan material khusus.”
Dagger batu yang biasa aku pakai untuk mengiris
daging, menyayat zombi dengan damage seadanya kini seolah disulap menjadi
pedang pendek yang memesona.
Grip atau batang pegangan dari dagger ini
benar-benar nyaman dipegang. Tidak bikin meleset, menggunakannya sangat mudah
dan enteng. Tidak sebelumnya, yang terkadang pergerakan dagger-ku sering
meleset ketika hendak menyayat musuh.
“tapi kalau misalnya kamu tidak begitu suka
dengan nama baru itu. Bilang saja padaku, aku akan menggantinya sesuai dengan
nama yang kamu minta.”
Aku menggeleng cepat, menolak “tidak, tidak.
Ini sudah keren banget dah.”
“ketahanannya aku tingkatkan dengan material
khusus yang tidak mudah retak. Ketajaman meingkat, dan pula mobilitas dagger
ini bertambah nyaman tentunya.” Si pandai besi berujar seraya menunjuk dagger
yang dimodifikasi olehnya.
Memegang dengan bilah tajam berada di bawah
jari kelingking. Biasanya aku menggunakan dagger dengan style seperti karena
lebih mudah ketika memadukannya dengan skill dash.
“kamu sudah tahu cara memegang dagger ternyata.
Seperti itu, bilah tajamnya berada di kelingking. Tidak di jari jempol.” Pandai
besi berujar lagi.
“ah aku biasa memakai dagger seperti ini.
Karena bisa aku padukan dengan skill dash.”
“hm… dash. Apa bakatmu bocah?”
“bakat, talenta-ku penambang..”
Ia berguman, mengelus dagu sejenak kemudian
menjawab “kamu harus belajar pedang. Agar pergerakan daggermu dapat terangkat
oleh talenta pendekar pedang.”
“maksudmu swordman?”
“ya betul. Apa lagi kalau kamu dapat membuka empat
slot talenta. Memadukan antara talenta ore seeker dengan warrior sangat efektif
ketika melakukan pertarungan solo.”
“ore sekeer? Oh saat ini aku baru membuka slot
kedua, dan aku isi dengan bakat penambang. Talenta kombinasinya menjadi Ore
seeker!”
Ia mengangguk paham “Ore Seeker adalah evolusi
kedua dari miner/penambang. Bakat ini meningkatkan beberapa poin ketahanan,
tetapi cukup lemah dalam hal damage.. kamu pasti merasakannya bukan?”
“ya.. aku merasakannya. Ketika menghadapi musuh
dalam jumlah besar/banyak. Aku sering kewalahan ketika bertarung solo..”
Ore Seeker/pencari bijih, evolusi kedua dari
miner. Meningkatkan beberapa statistik kemampuan, khususnya dalam hal
tambang-menambang. Ditambah lagi insting untuk tetap bertahan hidup, hal ini
memberikan efek akan ide positif yang selalu muncul ketika terhimpit.
Namun, mengandalkan kapak tambang nampaknya
tidak recommended ketika terjadinya pertarungan dalam jumlah banyak.
“kamu tidak sendiri kan? Wanita dengan dua
pedang di pinggangnya, itu temanmu bukan?”
“iya. Ia satu party denganku. Ia seorang
warrior, aku—“
Sontak si Pandai besi menarik baju default
dan mendekapku, “kalau begitu, kamu beruntung..” Bisiknya pelan.
“heh, kenapa memangnya?”
“sejauh ini, aku belum menemukan
petarung/warrior cewek. Rata-rata semuanya laki-laki. Kamu harus beruntung
sehingga kamu tidak perlu bersusah payah berlatih pedang, hanya fokus dengan
bakat nambangmu itu!” Seru si Pandai Besi.
“heh apa? tapi—“
“pokoknya kamu harus merasa beruntung kamu
punya party seorang warrior cewek.”
“lah memangnya kenapa?”
Ia memperkencang dekapannya, aku seolah nyaris
tercekik karenanya, “biasanya warrior merasa dia adalah orang paling OP dengan
senjatanya dapat dengan mudah membunuh mob atau memberikan damage yang besar..
tapi ketika aku melihatnya, ia pasti tipikal warrior yang penurut. Iya bukan?”
Yang dikatakan oleh si Pandai besi ini ada
benarnya. Aku sebelumnya pernah bermain game rpg, bukan minecraft. Game sejenis
rpg, berbasis mmorpg (massive multiplayer online role playing game). Pemain
yang memiliki kelas/job (kalau di sini namanya talenta) warrior atau apapun
yang memiliki daya serang tinggi, kebanyakan pada sombong dan merendahkan
pemain tipe support atau ber-damage lemah.
Sedangkan ini, walaupun aku baru kenal Ia
tipikal pemain yang penurut, tidak begitu banyak berkomentar. Kalau pun ia
punya pendapat lain, ia tetap mengikuti pendapat yang paling unggul. Hal ini
terasa ketika pada situasi yang gawat. Si Yuki tetap manut dengan komando
perintah olehku.
“hm… bener juga sih..” Ujarku mengakui.
“makanya itu…” Balas si Pandai besi seraya
melemaskan dekapannya. Aku seolah dapat bernapas lega kembali.
“tapi, aku tidak mungkin bergantung terus. Ia
mungkin suatu saat akan pindah party atau semacamnya.. jadi aku tetap berencana
untuk mengembangkan kemampuan yang masih kurang.”
Si Pandai besi menyunggingkan senyum, “Hm.. aku
suka prinsipmu. Kalau begitu, aku punya kawan. Ia pandai menggunakan pedang.
Aku rasa kamu bisa belajar darinya..”
“benarkah? Apa aku bisa ketemu sama kawanmu?”
Aku merespon semangat.
“iyap.. ikuti aku.” Ujar si Pandai besi sembari
bangkit berdiri.
Ini yang aku tunggu-tunggu, berinteraksi dengan
npc(non-playable/player-character) sampai akhirnya ngobrol seru, mendapatkan
wejangan, hingga akhirnya ia mau mengenalkan kawannya yang ahli dalam hal
pedang.
“kak lakukan itu lagi!”
Si cewek warrior, pemakai pedang ganda, si
Yuki. Nampaknya ia kini sedang disegani oleh anak-anak villager. Ia melakukan
tindakan akrobatik, yakni melempar lingkaran pizza penuh kemudian dibagi diirisnya
sesuai dengan jumlah anak-anak yang hendak makan pizza.
Kamu tahu scene dari salah satu animasi kartun
yang diadaptasi menjadi film? Kura-kura ninja? Si Leonardo pengguna pedang? Nah
itu, si Yuki menunjukkan kebolehannya menggunakan pedang untuk mengiris pizza
selagi dilempar di udara.
Begitu pizza yang terpotong rapi jatuh ke
piring masing-masing anak. Mereka mengucapkan “Terimakasih kak!” berbarengan.
Si Yuki menyunggingkan senyum sembari berujar
“sama-sama!” kemudian kembali menyarungkan pedangnya.
Ia sebelumnya mendapat tawaran untuk membagi
pizza oleh salah satu villager penjual makanan. Ia mengiyakan, lantas membagi
pizza tersebut kemudian si penjual makanan berbalik mengucapkan “terima kasih,
sudah membantu.. apa yang bisa aku lakukan untuk membayar?”
“nggak, itu tidak perlu. Aku tadi hanya
membantu mengiris pizza. Harusnya tidak perlu dibayar hanya karena aku
melakukan itu..” Ujar Yuki menolak.
Si Villager penjual makanan tidak menggubris,
ia mengambil kotak persegi ceper. Membuka menu, memecahnya menjadi partikel
kemudian didorong partikel tersebut ke arah tubuh si Yuki.
Kamu memperoleh pizza box (1x)
Sontak Yuki kaget mendapati ia di-gift satu box
pizza hanya dengan membantu mengiris pizza doang.
“terima kasih! Terima kasih! Ibu!” Ujar Yuki
seraya merunduk malu.
*klang! *Klang!
Pedang beradu. Bertarung berduel, tapi bukan
untuk membunuh satu sama lain.
“pergerakanmu! Perhatikan arah tebas
pedangnya!”
Pergerakanku yang kacau, sang instruktor
menyeru karenanya.
*vungggg *syat *prakk!
Batang kayu mencuat, percikan partikel
menyembur kecil. Pertanda benda bertabrakan dengan keras sampai mengurangi
durabilitas benda.
“kamu menebasnya menggunakan skill. Usahakan
untuk tidak menggunakan skill. Karena suatu saat kamu akan mengalami situasi
terhimpit, dimana harus menghemat staminamu.” Ujarnya.
Aku melihat pedang yang aku genggam, patah.
“reflek, tiba-tiba langsung melakukan gerakan yang memicu skill.”
Yang aku gunakan bukanlah pedang seperti
biasanya. Dapat menebas, mengiris dan tajam biasanya. Pedang ini hanya replika,
terbuat dari kayu dan durabilitasnya pun terbatas. Aku mengayunkan pedang ini
menggunakan skill, tiga kali hancur. Bukan pedang musuh yang hancur, melainkan
milikku.
“slice edge memang memiliki damage yang
besar, tetapi dibayar dengan kerusakan durabilitas yang tinggi. Kalau situasi
terpaksa, jangan gunakan pedang utama untuk melakukan slice edge. Karena
durabilitasnya akan berkurang sia-sia.”
“baik. Biasanya aku memakai dagger, menggunakan
irisan tepi/slice edge ketika situasi terhimpir terpaksa. Karena itu aku
mempersiapkan puluhan dagger dalam inventori.” Jawabku.
“tapi reflekmu sudah baik. Kemampuan pedangmu
sudah cukup untuk kelas pemain biasa.” Instruktur menyarungkan pedang kayunya
kemudian duduk di salah bangku.
Kini aku berlatih pedang, dengan villager. Bisa
kamu bayangkan? Berguru dengan villager, yang biasanya para minecrafter bunuh
untuk menjarah rumah mereka. Tetapi di sini, villager seolah memiliki kecerdaan
yang tinggi dan dapat berinteraksi dengan mudahnya.
“siapa namamu? Aku belum berkenalan denganmu.”
Ujar si Instruktur.
“Iruma, Bapak..”
Ia terkekeh, “jangan memanggilku bapak. Kamu
seolah membuatku menua.”
Sekitar dua jam, adu pedang sekaligus mendapat
wejangan oleh bapak Instruktur, notifikasi ‘pengalaman pedang meningkat’
berkali-kali muncul. Mungkin malam ini aku dapat membuka talenta swordman untuk
memadukan antara talenta miner dengan swordman. Apa jadinya?
“cukup latihannya hari ini. Jaga staminamu,
jangan sampai semangatmu menyepelekan statistik vital yang selalu menyertai
avatarmu.” Ia mengakhiri.
Ia benar, berlatih pedang walaupun hanya
sekedar saling bertarung, kemudian mendapat nasehat dan saran. Hanya begitu
tetapi rasanya cukup melelahkan.
Notifikasi: Yukina mengirim pesan!
Pesan: Di mana kamu?
“um. Instruktur kamu benar. Aku pamit, mungkin
besok aku mampir ke sini lagi.”
Si instruktur menyarungkan pedang kayunya,
“Silahkan. Rumahku terbuka selalu.”
Malam mulai petang. Biasanya kami langsung
menyiapkan persenjataan untuk bersiap melawan beberapa mob hostile yang datang
menyerang. Tetapi melihat penduduk desa yang punya bakat talenta masing-masing,
apa perlu pemain asli turut melindungi dari beberapa mob yang menyerang ketika
malam hari?
Villager biasanya sangat rentan dengan mob
hostile, khususnya mob zombi yang dapat membuat penduduk terinfeksi sehingga
berubah menjadi zombi village. Perbedaan yang mencolok adalah zombi dengan
pakaian khas villager. Itu dalam minecraft aslinya, apa di sini sama?
“kau pernah bermain minecraft kan sebelumnya?”
“iyap.” Yuki menjawab seketika.
“villager…. Dan zombi village. Pernah?”
Ia mengangguk, “hum. Aku bahkan pernah mencari
tempat untuk dapat bed, ketemu kampung villager tapi penduduk di sana sudah
jadi zombi semua.”
Kami saat ini duduk di salah satu bangku di
pinggir alun-alun (sebut saja alun-alun. Karena kami duduk di bangku taman yang
ada di tengah-tengah desa ini.). Melihat para villager yang nyaris menyerupai
manusia akan sikapnya, mereka berinteraksi mengobrol, bermain bagi yang
anak-anak, melakukan barter, dan lainnya.
“hah? Apa?”
“apa?”
“zombi village katamu?” Yuki sontak kaget.
Ia menari jari, mencoret garis maya horizontal.
Baris menu pun terbuka akan gestur coretannya.
Cepat menekan tombol maya, menyeret beberapa
ikon. Sepertinya ia hendak memunculkan sesuatu dari perlengkapan/inventorinya.
Partikel muncul, berkumpul, membentuk semacam
objek memanjang. Pedang muncul tepat di samping kiri pinggangnya, ia menyeru
“zombi village. Village ini bisa bahaya!”
“yap. Aku juga berpikir begitu.” Jawabku
bangkit seraya membuka menu, mengambil bilah pendek namun tajam yang telah
diasah oleh si pandai besi. Refined Metalik Stone Dagger.
Niat bercampur, antara menyelamatkan dengan
farming poin pengalaman. Ah sudahlah, dua-duanya adalah tujuan niat aku dan si
warrior mengangkat bilah tajam.
Pos penembak jitu,
Menarik busur, membidik, melepas cengkraman
tiga batang yang sedari tadi dijepit sela-sela jari.
*vwung *splat! *stab *splat!
Ia menghela napas, mengatur ketenangan.
Meskipun ia sendiri berada dalam bahaya. Tangan jarinya tetap tenang menarik
bilah batang tipis silinder, pucuk tajam yang memungkinkan dapat menembus kulit
dan sulit untuk dicabut bila telah menancap.
“bidik.” Gumannya pelan, menarik busur.
Memanfaatkan gaya pegas untuk melancarkan serangan.
Niat ganda, antara melindungi dengan melatih
kemampuan incar sejak dini.
Tidak ada komentar: