MINECRAFTER VOL. 3 - Bab 8: Absolute Duo
Bab 8: Absolute Duo
Pertarungan
hebat. Berawal tidak saling kenal hingga akhirnya mau tidak mau membantu satu
sama lain agar tetap bertahan hidup, tidak mati karena baris nyawa yang
berangsur hilang.
Menggali
adalah perkerjaan yang berat serta melelahkan. Hal tersebut disamakan dengan
dunia ini. Menambang dalam minecraft aslinya adalah hal yang seru, meskipun
sesekali menegangkan dengan adanya creeper, meski begitu tetap menyenangkan dan
mengasyikkan.
Namun aku
menolak memberi pendapat pengalaman yang sama dengan ini. Semuanya ambyar,
memilih antara dua pilihan. Menjadi penambang menggali menuju permukaan, atau
membantu si cewek pedang membabat zombi-zombi yang berdatangan.
“ini ndak
bisa. Kita bakal mati disini!!” seru cewek pedang seraya mengayunkan bilah
pedang kepada tiap zombi yang berdatangan.
Kami
menggali dan mendapati beberapa jalan bercabang. Tanpa berbekal kompas,
akhirnya dengan insting kami memilih untuk jalan yang menanjak, berharap untuk
cepat menuju ke permukaan. Tetapi, ekspetasi berbalik ekstrem. Kami terjebak,
terkepung dan mendapati gua bercabang.
Langit-langit
gua setinggi enam kaki, menandakan ini masih jauh dari permukaan. Area sekitar
sudah tidak ada tanjakan yang bisa dipijak untuk menggali ke atas. Satu-satunya
cara adalah membuat tangga atau semacam balok sebagai pijakan untuk mencoba
menggali ke atas.
Harusnya
mudah, tapi karena kami kehabisan stok arang, beberapa spot tempat tidak dapat
kami pasang stik obor. Hal tersebut memberikan peluang untuk mob jenis
zombi/skeleton untuk spawn/muncul.
*syat!
*splat!
“empat
mokad! Tiga di sampingku, tolong cover, selagi aku bikin balok buat pijakan!”
Kali ini,
aku nyaris tidak menggunakan skill serang. Hanya berfokus pada crafting,
menggali, menggali, dan menggali. Si cewek pedang memerankan peran utama
sebagai hero/penyelamat yang membabat habis zombi yang berdatangan.
“ini
beneran farming ini…” ujarnya seraya terus mengitari sana-sini sembari
mengayunkan bilah pedangnya.
*prak!
Dentuman
keras tak terbendung, menggema seantero gua. Aku yang mendengarnya sontak
menoleh. Suara denting itu tidak asing lagi, biasanya dibarengi dengan
hilangnya salah satu alat.
Bilah pipih
yang tajam dipaksa untuk mengiris terus menerus tanpa henti, meski nyaris tidak
ada serangan yang miss, tapi durabilitas/ketahanannya berkurang perlahan
sampai ia salah mengira memperhitungkan bahwa ia terlalu dekat dengan dinding
bebatuan yang kasar.
Hal itu
membuat ia harus merelakan bilah pipih tajamnya pecah terbelah.
“a—apa?” si
cewek pedang tidak percaya, senjata yang menjadi poin karismanya terpecah hanya
sekali ayunan oleh bebatuan.
“awas!” aku
menyeru, melompat meninggalkan tempat bertapa menggali.
Lompatan
menuju tempat ia terjatuh karena skill yang digunakannya gagal karena senjata
yang dipakainya tidak dapat menerima konsekuensi ketahanan yang diterima,
akhirnya ia harus jatuh tersungkur.
Sebelumnya
aku sudah memperhatikan dan meletakan dagger untuk berjaga-jaga sampai akhirnya
waktunya pun tiba.
*syat!~
Dua zombi
terbunuh sekali tebas dengan skill irisan tepi/slice edge.
“Apa kamu
punya cadangannya?” aku menyeru sembari mengambil posisi bertahan dengan dagger
di tangan kanan dan tangan kiri mengepal.
Ia cepat
membuka menu, aku melirik. Raut mukanya berubah pucat. Ia pasti tidak punya
senjata cadangan, atau malah ia hanya punya itu senjata satu-satunya? Ini
gawat!
“aku, itu,
tinggal itu doang!” Ujarnya seraya terus mengutak-atik menu yang melayang di
depannya.
Memunculkan
tabel crafting, memulai crafting yakni membuat bilah pedang. Aku
harap poin pengalaman crafting-ku cukup untuk membuat bilah pedang.
Crafting
berhasil! Stone Sword di dapatkan!
Aku
menghela napas lega, syukurlah poin pengalaman crafting-ku mencukupi
untuk membuat pedang. Lantas aku segera mengambil pedang yang telah jadi, bahkan
aku tidak perlu memanasinya seperti pembuatan pedang sewajarnya. Ah sudahlah.
“pake ini.”
Kataku seraya memberikan bilah pedang batu dengan desain motif yang amburadul
tidak serapih milik cewek pedang tadinya.
Ia sempat
ragu, namun lolongan zombi memaksanya untuk segera mencomot pedang batu dengan
ukiran tak berestetik.
“lanjutke tugasmu. Rasanya masih beberapa
meter untuk sampai ke permukaan. Jadi, tolong.” Aku mengucapkannya seraya
kembali ke posisi bertapa. Yakni melanjutkan proses menggali, membangun anak
tangga yang terbuat dari boks kayu.
Ia kini
memegang bilah pedang baru, terbuat dari batu, estetika yang bisa dibilang
nggak lolos kalau diadu. Peforma ia mengayunkan pedang berkurang, bahkan banyak
serangan yang miss/meleset.
“Skillku
cooldown semua! Huu bakal mati kita di sini!” Ujarnya ngos-ngosan setelah
memberikan sekian banyak serangan, tetapi terlalu banyak miss/meleset. Hal
tersebut memberikan waktu cooldown lebih lama karena tidak mendapat kombo
serangan.
“ia terlalu
fokus dengan skill yang dipakainya.” Gumanku.
Aku turun
tangan, memasukkan kapak tambang ke dalam penyimpanan, memunculkan dagger.
“dua,
empat, lima… zombi kanan kiri. Skeleton, nggak ada” Ujarku dalam hati, melirik
menyapu pandangan dengan hati-hati.
“aku masih
punya lima dagger ditambah yang aku pegang. Artinya aku masih bisa melancarkan Slice
edge sebelas kali.” Lagi, dalam hati.
Menunggu
momentum, menekan tumit kaki untuk menolak ke depan. Ini adalah gestur untuk
memicu skill. Kali ini aku hendak memicu skill dash. Yakni melangkah,
melesat cepat. Biasanya dash dipadukan oleh skill serang lainnya,
seperti menyayat atau menebas, dan lainnya. Tapi kali ini, aku hanya berfokus
menikam.
*syat
Jarak
berdekat sekitar satu langkah. Kalau aku melangkah pelan, sudah pasti aku
terkena damage. Tapi ketolong sama skill dash, sehingga zombi ini
tidak sempat menyerang sudah lebih dulu terkena tusukan fatal.
Satu zombi
terbabat. Sekarang sebelahnya, sayatan fatal diluncurkan.
Satu zombi
lagi terbabat.
Aku tidak
dapat menggunakan skill dash, tiga zombi menyadari akan tindakan
agresif. Ia mengalihkan targetnya dari si cewek pedang beralih ke arahku. Itu
sudah terprogram, mudah ditebak.
Tampan dan
berani, begitulah model aku bertarung. Masalah kalah pikir nanti. Walau pun
tugas skripsi taruhannya jadi. Berlari menendang, memadukan ayunan dagger satu
tangan mengiris tubuh semi-busuk. Hal itu membuat mereka mendapatkan stun
sekilas.
Stun itulah
aku gunakan untuk menikam salah satu dari mereka dengan menyerang berfokus satu
target. Memaksanya jatuh dengan membebankan berat bobot tubuh sampai ia
tersungkur, dan dagger ini memulai tugasnya.
Satu zombi
tertikam, kurang dua lagi.
Aku
tengkurap, menghindar serangan zombi yang mengarah horizontal. Dua zombi yang
berada di dekat pun tersungkur jatuh terpaksa, karena lutut mereka terluka
cukup dalam, membuat mereka kehilangan keseimbangan, dan terjatuh.
Mereka
berdua tidak dapat menyerang sementara, bersikeras untuk bangkit dengan susah
payah. Momen inilah aku gunakan untuk menusuk mereka satu-satu dengan tenang.
Pengalaman
bertarung
meningkat!
Zombi tidak
bermunculan, mungkin mereka sedang menyusun rencana untuk penyerangan balik
karena salah satu pemain bangkit turut berjuang.
Si cewek
pedang kembali bangkit berdiri. “aku. aku, maaf tadi kebanyakan miss.”
Aku terdiam
mengangguk sekilas, “aku akan lanjut menambang lagi. Tolong covernya. Sebentar
lagi sampai ke permukaan, tinggal beberapa meter harusnya.”
Beberapa
meter menggali menaik. Menyingkirkan beberapa material ke tempat longgar
tersisa. Tempat bawah tanah ini nyaris tidak memiliki pilar yang mencolok.
Kalau di dunia nyata, mungkin ini sudah longsor kalau hujan lebat terus
menerus.
*srak
Tanah aku
urug, berlubang muncul cahaya remang-remang.
“oke..
akhirnya sampai!” seruku senang.
Si cewek
pedang antusias ia ikut menggali menyisihkan material bebatuan & tanah yang
menghalang dengan kedua tangan seadanya.
Cahaya
remang-remang tersebut bersumber dari bulan. Aku dapat melihatnya kembali
setelah berjam-jam kiranya aku terjebak terurug.
Ia menghela
napas lelah, si cewek pedang begitu keluar ia merebahkan diri “aku kira, aku
bakal mati di situ.”
Aku
menanggapinya tertawa, “yang penting udah sampai permukaan.. sekarang,”
Lolongan
serigala terdengar menggema. Area sekitar penuh pepohonan lebat. Kebetulan area
yang aku & si pendekar tempati tidak begitu banyak pepohonan yang
mengelilingi. Karena itu aku dapat melihat cahaya bulan dengan jelas.
Tapi, kalau
ini malam hari. Artinya,
“ambil,
pedangmu lagi oi! Kamu kerasa nggak kalo ada lawan di sini!? Feeling-ku ngga
enak ini!” Ujarku menyeru seraya menggenggam dagger dalam posisi siap-siaga.
“ini game
apa di-set mode hardcore atau gimana sih? Aku main minecraft nggak sampe ngoyo
gini.” Balasnya sembari mengambil posisi siaga pula.
Sejauh
mataku memandang, kegelapan diantara pepohonan tersebut jadi dinding
penghalang. Stok oborku habis, namun aku dapat membuatnya nanti. Itu bukan
masalah yang berarti.
Tapi, stok
makanan udah menipis banget. Kalau misalnya ada yang terkena serangan sampai
nyawanya sekarat. Aku ragu makananku dapat memulihkannya sempurna.
Firasat
burukku benar, mob bertipe hostile muncul. Kali ini bukan manusia undead
seperti skeleton atau zombi. Melainkan mob yang seharusnya dapat dijinakkan
tetapi kali ini ia membuas duluan.
“kamu
kelihatan kan?”
“hu-um.
Kalo merah berarti udah jadi hostile-kan?”
“Yep. Mau
kamu kasih tulang berapapun, tidak mempan. Nggak ada cara lain selain
membunuhnya.”
Terkepung,
nampaknya mereka sudah merencanakan ini. Aku salah mengira tentang logika mob
yang kadang sering & mudah ditebak. Kali ini aku rasa mind-set itu harus
aku ubah. Sistem mob disini sudah diatas rata-rata sekelas artifisial
intelegensia!
“Pendekar!”
Seru aku begitu salah satu dari mereka menampakkan diri.
Mata merah
remang menyala, pertanda ia sudah tidak bisa dijinakkan karenanya. Entah,
mungkin ada pemain yang menjadi pemicunya. Seperti memukulnya sampai iblis
dalam dirinya terbangun dan buas. Serigala nggak mungkin spawn dalam
keadaan hostile seperti ini.
“baik!”
Pendekar
cewek maju, ia nampaknya percaya diri untuk membabat serigala buas tadi seorang
diri. Serigala nggak punya nyawa sebanding dengan zombi, tapi pergerakannya
yang lincah menjadikannya sulit untuk ditebas seorang diri.
*syat!
*syat!
*kaingg!
Ok. Itu
desahan anjing, erangan serigala harusnya nggak gitu.
Dua
serigala terbabat. Bukan malah mundur, tetapi mereka seolah berani
menyumbangkan tubuh mereka datang bergerombol.
“ini gila.”
Gumanku seraya menebas mereka dengan dagger seadanya.
Si cewek
pedang nampaknya melakukannya dengan enjoy. Ia dengan mudah menebas sana sini.
Dua kali tebas, satu tumbang. Aku lihat, ia sudah nggak bergantung sama skill.
Apa karena serigala disini nyawanya nggak setebel zombi kali ya?
Pengalaman
bertarung bertambah!
Pengalaman
bertarung bertambah!
Notifikasi
tersebut beberapa kali muncul tiap kali aku berhasil menebas beberapa serigala
buas.
“Menu,
Talenta” Gumanku mengikuti irama jari membuka menu, menekan beberapa tombol
berjejer vertikal.
Slot
Talenta:
[Belum
dipakai]-[Belum dipakai]-[Terkunci]-[Terkunci]-[Terkunci]
Talenta
saat ini: [Belum dipakai]
“Talenta,
apply”
Talenta
[Miner]
Penjelasan:
Bakat muncul berawal dari kegigihan & keberanian. Menyelam dalam kegelapan
hanya berbekal stik obor dan kapak tambang. Mampu memadukan antara menyerang
dan bertahan. Dapat dengan cepat beradaptasi dan memiliki hasrat bertahan hidup
yang baik.
“cepat
beradaptasi, hasrat bertahan hidup…”
“apply.”
Penerapan
talenta [Miner] berhasil!
“eh. Eh??”
Kayak
mendapat ilmu turun dari entah berantah. Semua ide seolah berdatangan. Bukan
cuma itu, area pepohonan ini tiba-tiba aku teringat kalau aku pernah melewati
ini. Hal tersebut seketika membuatku tahu di mana base/shelterku berada.
“Cewek
pedang. Sini! Ikutin aku!” Seru aku seraya mulai mengambil langkah lari. Bukan
asalan kabur lari, tapi kali ini aku punya rasa pasti bahwa arah ini akan
menuntun kami sampai rumah buatan aku sendiri.
“eh? Oke
oke..” Ujarnya.
“mau kemana
kita? Lari sampe mana?”
“ke tempat
rumahku. Aku sempet nyimpan makanan, jadi selagi bertarung bertahan bisa masak.”
Jawabku cepat.
“aku ragu
sebenernya, tapi ah sudahlah.”
Nggak ada
waktu buat menancapkan stik obor di beberapa titik pohon. Kami berlari sembari
aku memegang stik obor di tangan kiri. Sedangkan si cewek pedang berada di
sebelah kiri, tangan kanannya siap-siaga mencengkram pedang batu yang
disembunyikannya di pinggang kirinya. Siap menebas bila ada sesuatu yang
menghalang.
Aku nggak
menyangka kalau menggunakan talenta efeknya langsung drastis begini.
Selagi
berlari, tentu saja aku dengar beberapa suara zombi yang seolah bercengkrama.
Begitu melihat kami berdua lari, mereka hendak mengejar. Tapi telat, terlalu
jauh sehingga radius penglihatannya nampaknya terlewat.
Nggak cuma
zombi aja, tapi juga skeleton yang kebetulan ketemu di beberapa titik gelap.
Meskipun malam hari, tetapi cahaya bulan menyinari membuat beberapa titik masih
tersinar cahaya meskipun remang-remang.
Aku berlari
sana sini, belok sini, belok kiri, lurus saja. Dalam benak otak seolah dipandu
dan sudah hafal di luar kepala.
“abis itu belok
sini, sini. Nah itu ada pohon yang tadi mau aku tebang, terus belok sini..
bla-bla-bla” Begitu, apa yang aku pikirkan selama berlari kabur.
“sedikit
lagi!” Ujarku meyakinkan. Cewek pedang hanya mengangguk meng-iyakan. Meskipun
dalam bathinnya nampaknya ia ragu.
Semak
belukar tebal menghalang. Karena terlalu lebat, kalau dipaksakan mungkin ini
bakal buat avatar kami tergores. Ya, itu hanya perkiraanku tapi karena sekarang
ini bukan minecraft biasanya dan realistis. Maka nggak menutup kemungkinan
kalau maksa lewat semak belukal tebal bakal kegores lecet-lecet.
“sini. Kamu
bisa hancurin itu semak tebel itu?”
Ia menarik
pedangnya, “oke. Siap.”
Begitu
semak tebal hancur dalam sekali tebas. Cahaya cukup terang menembus.
“ada yang
terang, tapi,”
“bukan cahaya
bulan. Itu cahaya obor, artinya ada seorang yang menancapkan beberapa stik obor
di sekitar situ.” Ujarku menyelesaikan perkataan si cewek pedang.
Raut
mukanya seketika berangsur semangat. Ia mungkin mengira kalau aku hanya
berkhayal belaka, tapi setelah menyibak semak-semak, menemukan secercah cahaya
yang menyinari area hutan sekitar, seketika ia langsung bersemangat.
Home sweet
home. We back on.
Masih utuh
seperti biasanya, tidak ada struktur yang berubah. Artinya tidak ada penjarah
yang masuk menyerang. Menyadari kalau ini bukan realm biasa, sekitar 700
penguji masuk ke dalam server ini kiranya. Maka nggak menutup kemungkinan kalau
salah satu dari 700 dari mereka memilih untuk menjadi thief.
“untung
nggak ada maling” Ujarku seraya menyalakan sumbu api pada pengapian untuk
persiapan memasak.
Si cewek
pedang begitu masuk ke dalam tempat ‘perlindungan’, ia memutar pandangannya
melihat sekitar. Mungkin ia bakal menilai kalau rumah ini kurang akan seni
estetika dan sebagainya.
“kamu buat
ini sendiri?”
“iyap.”
“masa?
Berapa lama?”
“aku
membuatnya sore menjelang malam, tapi kalau pas malam hari ada banyak mob yang
datang. Akhirnya aku selesain pas pagi harinya.”
“parah
hebat banget.”
Api
menyala, proses memasak daging dimulai.
“ok.
Sekarang tinggal menunggu daging ini masak. Sekarang, bawa sini pedangmu jal.”
“eh, ini?
Pedang batu ini?”
“nggak, itu
pedang biar rusak aja. Sia-sia kalau diperbaikin. Bawa sini pedang yang patah
tadi.”
“eh. Emang
bisa dibenerin?”
“aku lihat
di menu. Ada skill memperbaiki/repair. Berarti bisa memperbaiki senjata yang
rusak.” Ujarku sembari membuka menu, melihat kembali detil menu skill.
“eh.. tapi
pedangnya hancur jadi kayak dagger gitu. Jadi…”
“jadi? Kamu
buang mesti?”
“enggak..
sebentar, aku keluarin..”
Ia menarik
ujung telunjuk, mengusap horizontal seolah memberi goresan maya, muncullah
deretan jendela maya yang nyaris nggak kelihatan. Menekan beberapa ikon,
sejenak kemudian muncul partikel cahaya berkumpul membentuk sesuatu. Tidak lain
adalah pedang yang rusak tadi.
“ni, udah
kebelah jadi dua coba. Apa bisa dibenerin ini?” Ia menunjukkan pedang yang
sudah patah.
“kalo
misalnya ngga bisa dibenerin, harusnya pedang ini udah hancur hilang jadi
kepingan partikel kayak biasanya… Coba aku benerin.”
[Kinasih
Iron Sword]
“Kamu dapet
pedang ini dari mana?”
“aku.. aku
dapet itu dari villager. Kan aku udah bilang.”
Aku hanya
berguman seraya menarik beberapa menu, memulai proses perbaikan.
Material
yang dibutuhkan hanya batang besi. Poin kerusakannya hanya berfokus pada bilah
batangnya, maka yang aku lakukan hanya perlu memanaskan besi untuk kemudian aku
tambal pasang kembali.
“ini
mungkin agak lama. Pake pedang batu itu dulu ya.”
Proses
pemanasan dimulai. Melelehkan besi mungkin bakal makan waktu hampir satu jam.
Untungnya aku mempunyai banyak tungku perapian, sehingga sembari menunggu waktu
pemanasan besi, dan pula memasak daging.
“aku
kerasa, ada mob. Gimana ini?” Ia tiba-tiba berujar seraya memegang telinganya.
Tidak hanya
dia, aku juga merasakan ada hawa-hawa aneh mencekam. Mungkin ini kemampuan
pasif yang dimiliki oleh talenta miner.
“aku juga
perasaan gitu.” Ujarku seraya mengintip dari celah-celah dinding kayu.
“dengar,
mau kita bersembunyi pun zombi atau mob hostile lainnya tetep bakal menyerang.
Karena tempat ini aku nggak masang kaca di setiap lubang jendela &
konstruksi bangunan ini yang tidak kompleks seharusnya.”
“iya, bener
juga. Ini nggak ada jendela yang ditambal pake kaca. Zombi skeleton tetep bakal
bisa ngelihat kita ya kan?”
“yap betul.
Maka dari itu, malam ini kita bertahan hidup. Apa kamu ingin segera mengakhiri
masa uji cobamu?”
“ya ya ya.
Aku paham.”
Aku
mengangguk sekilas seraya mengeluarkan belati/dagger batu yang sudah aku
persiapkan dari tadi.
Keluar
perlindungan dari zona aman. Ya harusnya mau berlindung pun tetap aja nggak
zona aman. Karena dari awal zombi-zombi udah tahu posisi kami. Jadi, mau nggak
mau tetap harus kudu bertarung membabat mereka.
“zombinya
banyak bet ini kayaknya.” Ujarnya seraya menarik pedang dari genggaman pinggang
kiri.
“Aku juga
kerasa begitu.”
Percakapan
kami terpaksa terhenti & harus mulai serius setelah ada zombi menunjukkan
kedua tangannya yang tegap horizontal maju merayap.
Dagger aku
genggam, merangsek maju kedepan karena kebetulan zombi yang muncul tadi
mengarah ke aku. Kali ini aku mencoba membabatnya seorang diri.
*srat
*srat
*srat
Tiga hit,
diberikan. Zombi ini tiap kali terkena sayatan belati, ia terkena knockback
mundur satu jengkal dan mendapatkan stun selama satu detik kiranya. Pada
momen stun itulah, serangan fatal aku berikan.
Selagi aku
bersipayah membabat satu zombi, aku melirik si cewek pedang ia dengan mudah
menebas sana-sini. Memberikan irisan tajam membekas dalam. Bahkan ia sempat
mendapatkan dua zombi dalam sekali tebas.
Melihat
kondisi koordinat bulan sepertinya malam ini masih panjang. Belum sampai tengah
malam, biasanya malam berlangsung cepat. Tetapi kalo kondisi begini, malam
serasa neraka tanpa akhir.
Maju, menebas
seperlunya, zombi terkena stun, kemudian menebas lagi. Terus menerus sampai
zombinya menemui titik nol dari nyawanya dan sirna. Pola seranganku berbeda
dengan si pendekar pedang, ia merangsek maju, menebas sana-sini. Pedang yang
digunakannya memberikan jarak serang yang lebih leluasa dibanding pengguna
belati/dagger.
Ia terlihat
bersemangat, mungkin yang dipikirkannya adalah momentum inilah bisa dikatakan
farming poin pengalaman yang nantinya bakal dipakai untuk membuka beberapa
statistik yang terkunci pada avatar.
Kalo aku
mati di sini. Kemungkinan besar, aku bakal log out. Tentu saja aku akan memulai
menulis cerita ulang tentang pengalamanku di dunia maya ini untuk material
skripsi utama. Tapi, kalau ceritanya nggak terlalu panjang mungkin akan
memengaruhi nilai skripsi.
Maka dari
itu, aku harus bertahan hidup. Jangan sampai mokad.
Tidak ada komentar: