MINECRAFTER VOL. 9 - BAB 28: AIR KALEN

 

Bab 28: Air Kalen

 

Hilang hitungan, tahun keberapa sudah ini mereka menikah?

Bagaimana bisa mereka bisa menikah dengan keadaan seperti ini?

Apa yang mereka pikirkan?

Nggak, mereka tidak sejalur setuju sepemikiran. Mereka,

Dijodohkan.

 

“alasan karena kamu! Nggak mau ngurusin selagi aku kerja!”

“mana mungkin aku melepaskan pekerjaan ini? Sedangkan kamu di rumah…”

Huh… seperti biasanya lagi. Mereka ribut.

Beberapa tahun kemudian, entah. Beberapa tahun atau mungkin sepuluh tahun kemudian?

“besok, ingat ucapan Ibu! Laki-laki yang sudah memberimu rasa, kalau ia mengkhianatinya. Ia sudah tidak pantas dibaiki! Apapun itu!”

Aku nggak mudeng, apa maksudnya?

“diem diem aja malah! Ayo jawab!”

Apa maksudnya—

*slap!

“ayo jawab!”

“… ya bu.”

 

Sesampainya di sekolah, bangku meja yang biasa aku tempati berantakan. Tidak beraturan. Anehnya, yang berantakan hanya bangku yang biasa aku tempati. Lainnya tidak.

Di mejanya tertulis; anak lacur, bodoh, pelacur, beach, virus, bakteri!

Celaan apapun itu.

 

Karena aku tidak mempunyai pengetahuan bahasa yang cukup, aku tidak paham apa yang mereka maksud. Hanya saja, tiap kali aku masuk sekolah. Aku harus merapikan bangku tempat yang aku duduk.

“bitc..”

Salah satu berujar, aku tidak menghiraukannya. Karena aku tidak tahu artinya.

“hei, kamu.”

“…?” Ujarku menoleh.

“bagaimana kamu bisa masuk SMA? Padahal kamu nggak punya akta kelahiran.”

Akta kelahiran? Ah itu.

Itu retorik, aku tidak perlu menjawabnya.

Salah satu menghampiri, ikut menyahuti “ia pasti datang ke sini pakai orang dalam! celaka mereka yang ke sini pakai orang dalam, nggak pakai otak. Usaha nol!”

Bukannya Ibu mengeluarkan banyak dana, itu nggak dibilang usaha?

 

“Lenka!”

“…hah!!”

“ah maaf, ngagetin hehe..”

Siapa orang ini?

“maaf, manggil tiba-tiba sok kenal. Aku dari…”

Ia memanggil namaku. Bagaimana bisa—

“… jadi, benerkan kamu namanya Lenka? kan?”

Karena buyar melamun, aku merespon kaget, “ah ya ya. Aku.. Aku. Aku Fit— Bitc—.. Maksudku, Lenka. ya Lenka!”

“uh??”

Ekspresi wajahnya berubah! Apa ia tahu kalau aku anak—

“ooke, jadi bener Lenka kan? Sip. Ya perkenalkan…”

Ia tidak tahu, syukurlah. Padahal banyak kabar di internet tentang identitasku yang tersebar karena kebencian dari—

Ia mengacungkan jempol tiba-tiba, aku tidak memperhatikan apa yang ia ujarkan.

“maaf, tadi.. tadi, kamu bilang apa?”

“heh? oalah.. Aku, Iruma.. apa itu terlalu alay kali ya namaku. Panggil saja Irma. Irma, ya itu lebih baik hehe.”

 

Setelah bertahan menyelesaikan standar pendidikan selama 12 tahun, aku tidak bisa menyebutnya sebagai masa indah di sekolah. Mungkin lebih pantas aku sebut ketika perkuliahan. Itu pun aku berhasil mendapatkan uang cukup setelah—

“…apa kau nggak lapar? Aku habis matkul 4 sks hari ini, nyaris nggak istirahat. Mungkin aku mau beli makan, apa kamu mau ikut?”

Diajak makan bersama? Bersama aku?

“Lenka?”

“ah ya ya ya! aku, aku mau!”

Tanpa aku sadari, aku jatuh cinta.

 

***

“laki-laki yang sudah memberimu rasa, ia mengkhianatinya. Ia sudah tidak pantas dibaiki!”

Aku membenci laki-laki. Bahkan aku sempat berpikir, bagaimana nantinya ketika aku dewasa nanti? Apa aku harus menikah dengan laki-laki? Kalau mereka memiliki sifat yang sama seperti itu?

Mereka menyakiti hati Ibuku, mereka-lah yang melopori dan membocorkan aib-ku, bahkan merekalah yang menyebabkan aku kehilangan teman-temanku semenjak sekolah menengah pertama.

Kata-kata tersebut sering menghantui, meski aku berusaha keras untuk menghindar dan membuktikan bahwa statemen tersebut hanyalah isu mitos yang dikuatkan karena beliau mengalaminya langsung.

Tapi aku yakin kalau itu semua tidak seperti itu. Awalnya.

“belum, belum cukup. Itu belum cukup! Ia tidak menyadarinya”

“harusnya aku membunuhnya langsung, lalu aku menusuk diriku sendiri. Otomatis ia akan keluar begitu juga aku. Bangun dan semua kenangan yang ada di sini..”

“…hilang”

Tapi bila suatu ketika ia keluar, maka ia akan terbangun dalam kondisi seperti bangun tidur. Seluruh memori, kenangan yang ada di sini akan dihapus. Artinya ia masih mengenalku seperti teman biasanya.

Aku bisa berbuat lebih, berbuat apapun di sini. Lagi pula di sini tidak ada aturan, mau berbuat kriminal apapun.. keluar, data memori ingatan dihapus.

“…bukannya itu kesempatan? Ya kan?”

 

***

Lembah bukit penuh bunga.

Kupu-kupu berterbangan, mereka riuh mengisap nektar bunga yang tersebar rata indah. Tidak hanya itu, lebah-lebah juga berterbangan pula. Tujuan mereka rapi, hinggap di salah satu bunga, lalu melakukan sesuatu sewajarnya dilakukan oleh serangga pengisap nektar.

“pelan-pelan.. letakan pelan-pelan.. jangan sampai salah…” Ujar Susilo.

Penambang, ia termasuk penguji beta yang mengenal betul sistemasi game ini. Salah satu pencapaian yang besar adalah, ia berhasil memimpin pasukan penambang (termasuk Iruma) sampai menemukan batuan kaca atau Obsidian.

Ialah Susilo, laki-laki berparas lumayan tinggi dan badan berisi. Ore Seeker, pengintai bijih besi.

“awas hati-hati…” Ujarnya sambil mengarahkan tiga kawannya mengangkat balok obsidian.

“awas.. awas.. awas.. santai..” si Susilo berujar lagi. Ia benar-benar khawatir kalau kawannya yang menjunjung balok obsidian meletakan di tempat yang salah.

“oke. Letakkan!”

*prak!

Semua saling pandang, khususnya mereka yang memiliki aliran bakat penambang. Seperti Iruma, Fardan, Susan, dan Susilo itu sendiri.

“benar-benar.. kan? Ini benarkan??” Ujar Susan. Satu-satunya cewek penambang.

“aku rasa bener kok.. ayo langsung dicoba! Sulut api!” Iruma berujar, ia meyakinkan. Meski ia sendiri jujurnya tidak begitu yakin.

Hening, semua saling pandang. Lalu merujuk ke yang memerintah. “tunggu, apa? apa? aku?”

Mereka para penambang melirik Iruma.

“iya kamu saja Iruma.” Susi berujar.

“yes you brother..” Deden menambahi.

“hehe kamu sajo. Aku sudah yang mengarahkan kok hehe..” Susilo ikut menyahuti.

 

Ia menyeka rambut poninya, seperti biasanya. Lalu mengeluarkan pemantik api, yakni besi dengan batu khusus. Ketika Iruma hendak memercikkan api, memicu portal dinyalakan. Mereka bertiga reflek mundur.

“hey hey. Jangan mundur gitu, kalian bikin aku takut!”

“ehehe, kita jaga-jaga.”

“...! ya kita jaga-jaga! Barang kali setelah dipercik, lalu portal pun jadi.. Momok Ghast keluar melempari bola api.. kami bersiap untuk lari!” Seru Susilo pede.

Itu memperburuk suasana.

“eh apa? benarkah?!”

“nggak nggak! Lagian aku belum pernah melihat penguji beta di sini sampai menemukan batu kaca obsidian. Sampai bisa mengumpulkan dan membuat portal. Sekarang tinggal memantik. Ayo Iruma!” Deden menyeru.

“Go! Iruma!” Susan menambahi.

“kalian menakutkanku.”

*snap!

 

Api yang terpercik terpicu, langsung sirna. Dilahap oleh partikel yang menyebar berwarna ungu. Langsung, mereka yang melihat dapat menebak seketika. Kalau itu adalah portal nether.

Bayangan wajah Iruma terpantul, oleh partikel nyaris transparan namun bisa melahap objek apapun yang berada di antara portal tersebut selama beberapa detik.

“sekarang.. ngapain?” Ujar Iruma.

Mereka langsung antusias membuka panel, dan mengeluarkan senjata tajam yang mereka miliki.

“hey hey! Jangan terburu-buru!”

 

Karena personil party bertambah tujuh orang, proses pembangunan shelter berlangsung cepat. Tidak terasa, bahkan mereka menyelesaikan shelternya beserta ranjang/bed masing-masing tepat sebelum matahari tenggelam.

Alhasil, mereka menikmati malam tanpa adanya rasa ancaman. Kenapa bisa begitu? Shelter yang mereka bangun benar-benar kompleks. Kali ini, mereka yang join memiliki bakat sendiri-sendiri. Mulai dari si Ozbalu yang kreatifitas bangun-membangunnya diatas rata-rata dari kawan-kawanannya. Susan koki andal, kemampuan memasaknya yang benar-benar overkill. Abdina, Ezbowo, Lenka yang pergantian sift jaga malam benar-benar optimal.

“ini hari ke berapa?” Ujar Iruma sambil melihat pemandangan lembah bunga. Nampak beberapa zombi yang berlalu-lalang.

“kamu peduli amat, mikir ini sudah hari keberapa.”

Iruma menoleh, orang yang ikut campur lamunannya ternyata Yukina. Satu-satunya perempuan yang mencapai fase ketiga dalam ketekunannya memahami bakatnya. Pedang.

“Yu”

Ia ikut join bersandar, melihat kaca yang pandangan tembus sampai sejauh manapun.

“di sini jarak pandangnya nggak ada batasan.” Ujar Yukina.

Iruma terperanjat, ia menyadari kalau semenjak ia berada di sini. Minecraft vr, tidak memiliki aturan seperti pengaturan grafik atau batas jarak pandang. Kartu grafis sangat diperhitungkan, sehingga para low-end, mereka yang memiliki perangkat dengan spek tidak begitu overkill. Pasti sebelum memulai permainan, selalu mengatur grafik agar proses kinerja tidak berat.

“settingan yang sering aku ubah dan supaya seefektif mungkin. Jarak pandang, aku lupa namanya…”

Si Yuki menyunggingkan senyum. Tidak memberikan komentar, hanya senyum. Itu saja.

“dalam waktu dekat, kita harus ke nether. Untuk mendapatkan magma stick, lalu hunting endermen..” Guman Iruma. Ia mencoba memproyeksikan rencananya, membayangkan apa yang terjadi.

Dasar Yuki, ia mendengar. Kemampuan fokusnya yang multi-fungsi, ia otomatis menyahuti “relax. Semua sudah rata menggunakan besi..”

“ya… ada sih, diamond. Tapi nggak ada yang berani menempanya. Mengingat di sini nggak bisa sembarang menempa, harus punya pengalaman cukup.”

“tapi Irma, apa yang terjadi kalau—“

“hey hey hey!!! Baru beberapa hari login, sudah dapat gebetan kau!”

Termus tiba-tiba menyela percakapan mereka. Kawan seperjuangan Iruma, ia takjub. Setelah ia terlibat ke dalam dunia ini, kawannya yang konon nolep ternyata bisa berinteraksi dengan wanita.

“berapa hari login katamu?” Iruma menyela.

“hahaha bercanda bercanda. Aku nggak ngitung berapa hari sudah di sini…”

Termus yang berbadan lebih tinggi dibanding kawannya, langsung merangkulnya.

“kau bahkan di sini nggak memodifikasi avatarmu.” Guman Termus.

“eh apa?”

“yang terpenting.. Perkenalkan, aku… Terra. Dia Iruma, teman semenjak… kapan ya?”

“…semenjak sekolah—“

“tunggu! Apa kau temanku?” Tawa Termus langsung lepas.

 

“kau bahkan perkenalan pakai nama asli.” Ujar Iruma melepas rangkulan Termus, kawannya.

“lagi pula kau di sini juga menggunakan nama asli. Nggak dipleset-plesetkan sedikit pun.”

Melihat mereka malah bercekcok sendiri, Si Yuki segera menjawab perkenalan Termus tadi.

“Salam kenal, Aku Yukina. Panggil Yuki saja, aku partnernya Irma.”

“eh wasek.. partner! Widiw!!” Terra melepas kekagumannya seketika.

“pelan-pelan! Zombi bisa tahu lokasi sini nanti!” Bisik Iruma seketika.

Melihat tingkah Iruma dan Terra yang benar-benar kental persahabatan mereka, Yuki menyunggingkan tawa senyum “ahah, berarti kalian memang benar teman akrab..”

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.