MINECRAFTER VOL. 10 - BAB 35: STUN

Bab 35: Stun

 

Dimensi, Nether.

Hari ke ??

 

“hey hey, ayo. Ayo bangun, get up!” Ujarnya sambil mengulurkan tangan.

Ia merespon, hendak bangun tapi gagal. Rasa pening menyerang, sehingga membuatnya malas untuk bangkit berdiri.

“get up. Ayo get up. Di sini bukan tempat untuk mati.”

Barulah setelah mendengar kata ‘mati’ ia langsung jenggirat tangi.

 

“di mana, di mana yang lain? Di mana yang lain?” Latah ia bertanya saking kagetnya. Ia hampir lupa apa yang terjadi barusan.

“aku nggak tahu, pokoknya aku dengar ledakan besar. Lalu daya dorongnya membuat para regu barbarian dan archer terdorong ke depan.”

“lalu.. lalu Lenka? di mana?”

“aku tidak tahu, tapi setidaknya baris HP-nya masih..”

Ia tersadar, lalu ia memfokuskan pandangannya pada baris daftar anggota party dan berujar kaget “ezbowo dan susilo, hilang??”

“kalau hilang dari daftar artinya mereka mati kan?”

“hei hei, Reina. Mbak Rei! Mbak Abdina. Bangun, di sini bukan tempat untuk mati!”

Siapapun yang dibisiki ujaran seperti itu, langsung bangun dan kaget.

Semua berada di zona merah. Terutama bagian HP, stamina mereka terkuras karena mode pemulihan. Namun tidak semua stamina berhasil memulihkan HP.

“Fardan, hei Fardan. Bangun! Cepat. Di sini bukan tempat untuk mati!”

“—!! Ah apa?” Fardan segera mencuat bangun. Apa yang dikatakan seolah benar-benar punya tenaga untuk bangkit.

“kamu ini Yan. Jangan bangunin model gitu ah.” Reina menyenggolnya, melihat cara Ian membangunkan tiap regu yang seolah pingsan.

“kalau nggak segera bangun, mereka bisa mati kebakar. Lihat tuh, pakaianmu sudah mulai gosong hancur.”

Sontak Reina menyadari, akibat ledakan hebat tadi. Tidak sedikit api yang mencuat mengenai tubuh para anggota. Sehingga menimbulkan bakar api kecil namun menggerogoti kain pakaian. “hei hei! H-hei! Jangan melihat!”

“relax. Aku tidak akan.. Ayo, Fardan. Bangun hei!” Ujarnya kembali fokus membangunkan regu yang masih tergeletak pingsan.

 

“di mana Iruma?”

“aku, belum menemukannya. Lenka. Lenka juga belum ketemu.”

“bantu, bantu aku mengangkat kak Yuki. Ia sepertinya pingsan berat. Mungkin karena shock ini..” Ujar Fardan.

Para regu cewek langsung membantu, diantaranya Abdina, Reina, dan Artes. Semuanya saling pandang saat membantu Yukina untuk berdiri. Ia belum benar-benar sadar.

Karena kesulitan, Artes mengatakan “berat kakak seberat ini ya?”

“aku nggak gemuk! Nggak gemuk!!” Yuki langsung bangkit mendengar ujaran Artes pelan.

Sontak para cewek lainnya, “wih langsung bangun.”

“dibilang juga apa, assassin bagaimanapun itu peka tetep wae..” Ujar Reina.

“Iruma, di mana Iruma?? Di mana!!” Tanya Yuki histeris.

“wowow, tenang neng.. tenang. Suamimu masih hidup, masih hidup..” Ujar Reina menenangkan.

Yukina langsung berdiri, kondisi api kecil masih menggerogoti dirinya. Artes, Reina, dan Abdina membantu untuk memadamkan api yang tersisa. Yuki sibuk menyapu pandangan, mencari partner yang sering ia sebut sebagai ‘samsak tinju’

“di mana Iruma? Aku nggak bisa merasakan keberadaannya.!” Yuki tambah histeris mendapati kemampuan instingnya tidak menemukan Iruma.

“di samping sekarang kita berada di kepulan asap.. Yan!”

Termus memanggil, Ian langsung merespon “Ya?” sambil memperbaiki perlengkapannya yang sempat tercecer.

“para archer, penglihatan mereka tajam kan? Coba kamu tembus asap tebal ini. Mungkin kita bisa menemukan Iruma..” Ujar Termus sambil menepuk-nepuk bagian tubuh yang masih ada api menempel.

“otw otw..” Ian mengiyakan dan mulai memicingkan mata, menyapu pandangan sekitar.

 

“Lenka, berapa sisa panah yang kamu miliki?” Tanya Iruma sambil menangkis serangan musuh lalu membalasnya.

Ia terdiam sejenak, sudut matanya mengujung pojok. Itu adalah gestur untuk memfokuskan berapa banyak amunisi yang tersisa, bila peralatan yang xdigunakan memiliki batas waktu atau unit. “sekitar.. dua puluhan..”

“dua puluhan, Lenka nggak mungkin ikut bertahan di sini. Zombi pigmen memungkinkan memberi item drop berupa batang besi, pedang besi karatan.. sisanya tidak bisa di-crafting untuk bikin panah..” Guman Iruma.

Setelah melempar pedang emas karatan yang ia dapatkan dari zombi pigmen itu sendiri, ia menyeru “Lenka, kita retreat. Kita mundur! Coba kamu lihat, Ian dan kawan-kawan gimana keadaannya?”

“harusnya mereka sudah pada bangun..” Gumannya lagi, sambil sesekali memperhatikan statistik HP yang dimiliki mereka.

Lenka mengangguk, lalu membelakangi Iruma dan mulai memicingkan mata. Memfokuskan penglihatan.

 

“ada! Ada! Mereka sudah pada sadar, saat ini mereka mencari kita Iruma!” Seru Lenka memberi kabar baik.

“thank Godness.” Ujarnya lalu berlanjut “kita retreat! Beritahu jalan yang tepat cepat!” Pintanya lagi.

“lewat sini! Lewat sini!!”

 

Dari kejauhan. Ian yang sedari tadi mencari sejauh mata memandang, akhirnya menemukan sepasang sejoli yang berlari. Satunya menjadi pemimpin jalan, satunya lagi berlari sambil membuat barikade untuk menghalang proses para zombi berlari.

“oi Iruma!” Ian menyeru.

“mereka seharusnya tidak berteriak” Keluh Iruma spontan.

Berteriak memberikan petunjuk bagi para mob hostile, mereka bukan hanya mengandalkan penglihatan. Melainkan juga pendengaran.

Dan akhirnya yang ditakutkan oleh Iruma ternyata benar terjadi. Dua sosok ubur-ubur melayang yang beberapa saat lalu sempat memisahkan Iruma & Lenka pada party utamanya. Mereka muncul sambil mengerang teriakan distorsi yang khas.

“khaaaaaaakh!”

Mendengar erangan Ghast, Ian langsung menunjukkan kharismanya sebagai ketua regu sementara. “Abdina, bantu aku menghancurkan bola api Ghast. Ujar Ian.

Abdina mengangguk segera dan tidak berkomentar.

Diikuti dengan Fardan, “Shielder, apapun yang terjadi. Regu penambang, para barbarian.. urusi!

Siap komandan! Seru Fardan.

Sebelumnya mereka mengenal Ian sebagai pimpinan. Apalagi bila Ian dipasangkan dengan Lenka. Mereka berdua cocok sekali untuk masalah ketepatan dan keakuratan.

Aku. Aku bagaimana? Tanya Yuki, mendapati Ian tidak memberinya instruksi.

Kamu nyari Iruma aja neng Ledek Reina sambil merangkul Artes yang sesama para Barbarian.

Ian mengetahui, sebentar, beberapa saat lalu. Kamu sempat menampol fireball dari Ghast bukan?

Iya ya. Aku sempat menangkis bola api Ghast modal pake pedang.

Kalo modal pedang bisa. Ada kemungkinan ditembak panah juga bisa hancur! Abdina mencoba menyimpulkan.

Itu.  Itu aku nggak yakin. Sebelumnya minecraft memang bisa nampol bola api Ghast modal pake pedang. Tapi, nggak selalu berhasil, kadang meleset kalau timing-nya nggak pas.. si Yuki menambahi.

Ian merespon, meleset atau nggak. Yang penting dah nyoba. Kalau misal nggak efek. Nanti Yukina yang ngurus ya..” Candanya sambil menarik beberapa batang panah untuk dikaitkan di senar busur.

Heh. Jangan eh..

...

Jaraknya masih sekitar 100 meter. Iruma tidak menyangka bakal sejauh ini. Mungkin seharusnya dekat. Tapi karena efek momen menegangkan ini jadi rasanya lamban.

Saat ini ia sibuk multitasking. Antara membangun barikade penghalang dengan berlari. Beberapa panel menu melingkari tubuhnya. Tertera beberapa detail tabel dan pola. Berisikan modul crafting dan material.

Disamping Iruma membangun penghalang sekaligus lari. Lenka turut ikut andil, ia menjadi penunjuk jalan. Bermodalkan penglihatan archer yang dimilikinya.

“Sebentar lagi kabutnya hilang. Nanti kelihatan medannya, tolong tahan sebentar..” Ujar Lenka.

Mau sebentar atau tidak. Zombi berkepala babi ini nggak ada habisnya.. ini mau nggak mau harus keluar! Pinta Iruma.

 

Insting Iruma mengatakan adanya peringatan bahaya. Sontak ia menyudahi mode crafting-nya dan beralih ke mode siaga.

Ada Ghast.. Ujar Iruma pelan.

Lenka mengangguk setuju, itu karena mereka berteriak. Ghast langsung terpicu dan tahu kalo masih ada makhkuk hidup di sarang yang kita sebut neraka ini.

Bagi Lenka, analisanya masih bermodal logika realistis. Masih mengkaitkan antara analogi ilmiah dan realita di dunia nyata. Namun Iruma tidak, ia masih sadar bahwa ini adalah game belaka. Nasib berakhir tidaknya bergantung pada seberapa kuat statistik akun yang dimiliki dan jangan sampai baris HP menyentuh angka nol.

Bila terpeleset, tidak mungkin. Bug error tidak mungkin terjadi tanpa adanya pengerusakan atau suatu yang korosif merusak.

Bila HP menyentuh angka nol. Maka game over Guman Iruma.

Ia selalu menekankan diri dan sadar bahwa ini semua ilusi namun ada pertanggungjawaban baginya nanti. Adalah sidang skripsi.

Di mana ia harus bertahan hidup dan keluar membawa oleh-oleh berupa cerita pengalaman sejenis seperti diari.

*Klang *klang

Beberapa skeleton archer yang sedang idle/menganggur langsung reflek menarik batang panah dan mulai membidik. Adalah karena mereka berdua, Iruma dan Lenka memasuki zona siaga bidiknya. Apapun yang terjadi skeleton archer akan terus melepas panah yang mungkin tiada habisnya.

Sambil setengah kesal, Iruma meluruskan bilah emas karatan dan mulai mengambil timing.

Aku nggak boleh mati di sini. Ujarnya pelan, pelan sekali.

 Tidak ada rotan, akar pun jadi.

Nggak ada tameng, pedang pun jadi.

Iruma berbekal talenta Warrior yang dimilikinya memungkinkan menepis tiap panah dengan sebilah pedang emas karatan yang ia dapatkan sebagai ­item colongan darurat.

Dexterity yang ia miliki sudah cukup untuk menepis beberapa panah dengan membelahnya jadi dua atau sekedar bertahan sampai ujung panah mencuat terpantul jatuh.

Semangatnya membara, ia sudah tekad tidak ingin mati atau pulang saat ini.

“Lenka!” Seru Iruma setelah menepis beberapa panah dan berhenti demi menghemat stamina. Barulah kemudian ia memberi aba-aba pada Lenka untuk menembak.

Ia tanggap, setelah berlatih cukup berbulan-bulan menggunakan busur panah. “Siap!” Ujarnya bahkan ia sudah lebih dulu mempersiapkan dua atau tiga batang panah untuk jaga-jaga bilamana Iruma gagal/miss dalam menepis proyektil panah.

Iruma terus maju, diikuti Lenka. Begitu sampai jarak dekat, Skeleton archer tidak memiliki waktu untuk mengambil panah dari alam entah berantah. Mereka sudah tertebas cepat dengan pedang emas karatan Iruma. Menyisakan beberapa tulang sebagai drop item utama.

 +1 Tulang/Bone didapatkan!

+2 Tulang/Bone didapatkan!

“aku berencana membuat pedang tulang kalau memungkinkan..” Gumannya setelah menyibak pedang emas karatan hasil item drop dari zombi pigmen.

 

Iruma berhasil memastikan radius dua ratus meter bebas dari para pemanah tulang belulang, dengan ini ia bisa kembali menemui anggota party-nya yang tersisa.

“tembak!”

Dua pemanah terintegrasi menyatu saling menyamakan pikiran. Melepas tarik pegas busur, tidak lupa memberikan mantra agar nanti proyektil yang dilepas memiliki variasi tembakan.

<Panah peledak, explosiv arrow>” Seru mereka berdua. Setelah Ian memimpin komando.

Panah yang dilepas, memberi efek cahaya merah mengekor. Persis seperti bola api, namun kecil terpusat pada ujung tombak anak panah. <Panah Peledak/Explosive Arrow>, adalah jenis serangan paling mudah dipelajari namun membutuhkan bahan pendukung untuk dapat membuat proyektil anak panah dapat meledak pada target yang dimaksud.

Gunpowder atau bubuk mesiu. Sebelumnya Ian memerintahkan para pemanah termasuk dirinya, untuk mengutamakan serangan pada mob hostile jenis Creeper. Makhluk berwujud manusia tapi tanpa tangan, berkaki empat. Warna hijau yang membaur sempurna dengan rerumputan muda dan semak-semak. Tugas Creeper hanyalah satu, Self Sacrifice atau bisa dibilang membunuh dirinya sendiri.

Mendekat diam-diam pada pemain, lalu meledakkan dirinya. Sehingga pemain atau objek apapun yang berada di dekatnya, akan mendapat daya rusak yang cukup besar dan mematikan bila terkena sangat dekat.

*blarr *dhuarr

“berhasil.” Guman Ian. Diikuti Abdina pula.

“berhasil!” Yukina menyahuti.

 

“bubuk mesiu yang kita miliki, tinggal tiga tembakan bersamaan. Setelah itu, kita nggak punya bubuk mesiu lagi.” Abdina berujar, setelah membaca panel menu melayang di hadapannya.

“artinya enam panah peledak, kita nggak tahu apa satu panah cukup untuk meledakkan bola api Ghast…” Tambah Ian. Ia turut membuka menu inventori, mengecek kembali persediaan panah dan ketahanan busur yang ia miliki.

“kalau satu, bisa sih. Paling mbelah jadi dua bolanya..” Sahut Abdina sambil tertawa kecil.

“memang, kalau dipikir-pikir. Untung tadi pakai dua panah sekaligus. Kalau satu doang, bisa jadi mbelah jadi dua, terus nggak malah hancur malah ke arah ke sini..”

“wadoh!” Sahut Yuki

“tenang. Ada Fardan sama Yukina. Mereka sudah siap untuk nampol balik” Ujar Termus.

“itu itu.. nggak akan kuat. Aku nggak mau ambil resiko!” Ketus Yuki.

“yes, we won’t.” Tambah Fardan.

Abdina berguman, lalu berujar “tiga tembakan itu kalo aku sama Ian. Kayaknya Lenka juga bawa bubuk mesiu kan?”

“harusnya, para archer itu kebanyakan pada punya bubuk mesiu/gunpowder di inventori mereka.” Ian menjawab.

“ya memang para archer punya stok gunpowder untuk membuat panah peledak, tapi apa Lenka sudah menggunakannya belum.” Tambah Abdina.

“apapun itu, bersembunyi. Jangan sampai Ghast melihat tubuh kalian!” Seru Ian meng-komando pasukan.

 

*krakk

“ini yang kelima..” Ujar Iruma, sembali membuang gagang pedang emas yang patah, setelah berkali-kali digunakan memotong tubuh zombi berkepala babi.

Drop item berserakan, namun tidak semua layak diambil. Seperti daging busuk, atau hanya sekedar bijih emas yang memerlukan banyak bijih untuk dapat digabungkan menjadi batang emas berharga.

Malas, tapi kalau tidak begini ia tidak bisa bertahan hidup. Iruma mengambil pedang emas untuk kesekian kalinya, selalu karatan. Tidak pernah ia mendapat drop item dari zombi pigmen berupa pedang emas utuh, kondisi durabilitas yang lumayan lama.

“disamping damage-nya lumayan. Tapi durability yang benar-benar sama seperti kayu.” Ujarnya saat membaca durabilitas yang tersisa pada pedang emas karatan yang baru ia pungut.

“Lenka, minta tolong sorot arah sini. Aku merasakan ada kawan-kawan di situ. Bar HP mereka perlahan bertambah, artinya mereka masih hidup!!” Ujar Iruma sambil menunjuk arah yang ia maksud dengan ujung pedangnya.

Si pemanah berkuncir kuda segera mengiyakan dan memulai proses pemindaian. Al hasil, insting Iruma benar. Mereka masih hidup, bersembunyi di antara puing-puing bebatuan yang hancur akibat ledakan dari bola api Ghast.

“mereka bersembunyi, apa mereka menghindar dari.. yang Ghast tadi?” Guman Lenka.

“Ghast model serangnya hanya bola api. Begitu ia melihat sesosok objek yang menurutnya boleh diserang. Ya langsung saja..” Iruma menjawab.

“ayo cepat, mumpung zombi pigmennya belum pada datang. Di areal sini ada pig-lin juga yang mungkin melawan mereka lebih susah dibandingkan zombi pigmen biasa.”

 

Sembari berlari, Iruma sedikit kesal karena kemampuan penglihatannya terganggu akibat kabut tanah nether yang nyaris membutakan pandangan. Jarak pandang Iruma tidak lebih dari sekitar lima meter.

“kabut ini nggak seperti kabut biasa. Pekat bener.” Guman Iruma sambil jalan perlahan.

“aku nggak mungkin lari, meski jaraknya tinggal seratus meteran. Kalo ada lubang, bisa jatuh. Mati. Pulang. Gawat aku.” Tambahnya lagi, guman dalam hati.

 

“..oi Iruma. Di mana kamu, harusnya kamu ada di radius lima puluh meter dari sini..”

Lamunan terpecah, Ia langsung tersadarkan. Ibarat mendapat suntikan adrenalin. Keberaniannya langsung memuncak. “lima meteran. Arah mana?” Jawab Iruma dengan suara yang tidak pelan namun tidak juga keras. Sedang.

Lamat laun, terdengar percakapan “…tanya arah juga. Aku nggak punya kompas, swordman bawa kompas juga. Yan Yan, kamu bawa kompas?..”

“aku lupa, kompasnya ta bawa sendiri.” Ujar Iruma sambil memijat kening.

*blarrr

Ledakan kembali terdengar, menimbulkan hempasan angin panas yang menyapu sebagian kabut penutup pandangan. Dengan ini Iruma dapat melihat jelas untuk sementara waktu. Sontak ia mendapati dua serdadu sedang berdiri tegak dengan dua tangan sinkron menarik dan mencengkram.

Ian, Abdina.

“Lenka, arah sini!” Ujar Iruma menyeru dan berlari.

Mumpung kondisi kabut terhempas karena angin panas dari ledakan yang entah berantah dari mana. Iruma dapat melihat jelas, dalam radius sekitar lima ratus meter. Tambah mendapati medan yang tidak ada lubang sekalipun, Iruma memberanikan diri maju.

Lenka mengikuti, namun kecepatan larinya kalah cepat dibandingkan Iruma yang saat ini mengenakan talenta Warrior.

 

Si Yuki langsung tahu kalau ada dua orang yang berlari satu arah menuju perkumpulan yang tengah bersembunyi dari pandangan Ghast. Mereka adalah Iruma dan Lenka. “Iruma. Sini!” Ujar Yuki melambaikan tangan.

Karena berlari, dan kondisi kabut terhempas. Gerak-gerik mereka kecolongan, ketahuan oleh satu Ghast. Langsung, ubur-ubur putih melayang ini melepas bola api sebagai serangan default miliknya. Mengarah pada mereka berdua.

Iruma tidak takut, ia tetap berlari. Perhitungannya benar-benar nekat. Namun Lenka yang agility-nya kalah cepat dengan Iruma, ia khawatir.

“tembak!”

Ian menyeru, diikuti Abdina melepas tombak anak panah yang entah sudah berapa lama ditarik dan menunggu momentum pas untuk dilepas.

Iruma dapat menebak apa yang dilakukan mereka berdua. Menghancurkan bola api selagi masih mengawang di udara.

“dua panah sekaligus…”

*krakk

*blarrr

“…explosive arrow, panah peledak…” Ujar Iruma sambil terus berlari.

Kepulan asap muncul menutupi bola api. Namun mereka berdua harus terkejut dan terpaksa untuk mengangkat senjata demi menghadapi situasi sulit.

“tunggu, apa? nggak berhasil??”

“…hancur, tapi bola apinya membelah.. dan mengarah, ke mereka berdua.”

“IRMA!” Seru Yuki tidak karuan sambil mengambil dua bilah pedangnya dan hendak melakukan dash.

Jarak antara Ian, Abdina, Yuki dan kawan-kawan dengan letak Iruma dan Lenka terpaut 40 meter. Meski Yuki menggunakan dash, kecepatannya tidak dapat sampai tepat waktu untuk segera menyilangkan pedang dan mencoba menangkis pecahan bola api.

 

Ia harus berhenti dan segera menarik pedang emas yang sedari tadi menggantung di punggung tanpa sarung.


Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.