MINECRAFTER VOL. 4 - Bab 14: Hero of the Village

 

Bab 14: Hero of the Village

 

“Objek berhasil dimunculkan! Proses penyaluran data program…”

“main frame terbuka. Proses memasukkan perintah..”

 

“Sekarang tinggal menambahkan nama..”

“nama apa yang bagus untuk yang satu ini…”

“… If, yang satu ini siapa namanya?”

“biasanya kakak pakai nama generator kok…”

“Hm.. Aku keseringen pakai nama generator, mungkin ini.. tak bikin…”

Suara tekanan tuts keyboard terdengar, jelas. Mengetik sesuatu.

“hum.. ini bagus kayaknya…” tap!

“sekarang namamu— ok! Lebih baik.. nggak ada yang tidak menyenangkan dibandingkan memberi nama seluruh variabel di sini..”

“gimana kak? Sudah? Kalau sudah aku yang ambil alih. Mau aku masukkan perintahnya..”

 

Tidak ada wujud, hanya aku lihat ada sesosok yang berbicara, terlihat linglung, beberapa mencoba berinteraksi tetapi tidak dapat melihat awaknya sendiri.

Berada di tempat mengambang tanpa dasar, gravitasi tidak berlaku. Bahkan ini tidak bisa disebut sebagai tempat, mungkin semacam aliran logika yang berlalu-lalang bersiap untuk berangkat. Menunggu perintah atau objektif tujuan.

“ok. Dari sini aku ambil alih.. aku perkenalkan kalian.. sebagai variabel objek. Kalian akan ditugaskan sebagai Pillager. Untuk lebih detilnya aku sudah mempersiapkan beberapa sumber informasi. Mungkin kalian harus membaca dan mempelajarinya.”

Suara tanpa wujud, ia berbicara kepada kami semua. Meski tidak dapat melihat mereka, tapi rasanya seperti berada di keramaian. Di mana seolah-olah sebelum memulai perang, pemimpin pleton barisan maju menyampaikan apel/briefing sebelum menyerang atau menjalankan amanat.

“watak kalian—, seperti halnya yang sudah aku berikan informasi kepada kalian semua.”

“setelah semuanya mendapatkan informasi utama, selebihnya aku memberikan akses kalian untuk melakukan pencarian di laman internet yang sudah kami filter.. gunakan informasi tersebut, hal ini akan membantu kalian dalam memahami objektif kalian sebagai Pillager.”

 

*prang! *trang!

Pillager. Jenis mob hostile.

“hostile? Apa itu hostile?”

Interface hanya memberikan bekal kamus besar bahasa Indonesia. Meskipun beberapa kata termasuk serapan, tetapi untuk hostile ini tidak ada dalam daftar kamus.

Mob Hostile, adalah tipikal mob yang agresif/menyerang.

“kalau agresif, maka sambungan sifatnya adalah…”

Hanya informasi utama, yakni kami sebagai Pillager. Wujud bahkan belum terlihat, tapi ada perasaan kalau saat briefing berada di tengah keramaian yang sama-sama setipe.

Menelusuri, Pillager…

Menelusuri, Kapak…

Menelusuri, Hostile…

 

Kesimpulannya adalah, Pillager sesosok mob dalam minecraft. Sebuah game bergenre sand box, open-world, role-playing game?

Mob berjenis hostile, artinya agresif. Tidak ada pemicu, tetap menyerang karena dari awal memang bersifat agresif.

Senjata utama, kapak mini. Mini axe. Objektif tujuan adalah sebagai senjata utama untuk menyerang.

Menyerang apa? Apapun. Mengingat ini adalah mob hostile. Tetapi menyerang pun ada batasannya, di mana kawan sendiri tidak boleh diserang.

Objektif dipahami, memulai penerapan dalam main frame…

 

***

“Yuki! Boost dash aku!”

“osh! Siap!”

Yuki menendang kaki, melaju cepat. Dash ia keluarkan, begitu pula bersamaan denganku. Al hasil, Yuki memberikan kecepatan dash padaku dengan mendorong tubuh avatar ini selagi aku mempersiapkan dash.

*wush

“sip. Tepat waktu,” Ujarku setelah melesat seolah mengambang sepanjang 8 meter.

Dari dekat, manusia kelelawar kecil ini menyeringai tawanya seraya melebarkan pedang mungil tapi berdamage anjing.

*trang *trang *tang!

“anjer, dexterity sama refleknya cepet banget.” Ujarku setelah menyadari aku berhasil menangkis serangan tiga vex sekaligus.

“kaaak.. kaaaaak… aaakk!”

“pantes saja Yuki hanya memfokuskan bakatnya ke pedang doang. Kalau kondisi gini, antara farming dan juga beraksi heroik pasti terjadi.”

Tiga vex ini kembali maju setelah menyerang bersamaan dan berhasil aku tangkis tadi. Catatan, tiap satu vex memberikan serangan total 4 hit. Jadi 4 x 3 berarti 12 hit berhasil aku tepis.

“satu kanan, satu kiri. Satu.. tengah, samping…”

*trang! *klang! *tang!

Pengalaman bertarung meningkat!

“harusnya memang begitu. Nepis 6 hit gimana ndak farming ini..”

Aku menoleh belakang, teringat sesuatu, “tunggu. Apa yang kalian lakukan? Belakangku ini pillager, satu tim raid kalian. Kenapa malah kalian serang?”

Beberapa vex bersikap tidak peduli, namun ada salah satu yang malah tertawa.

“aku harap aku punya kemampuan telepati antar mob.” Ujarku seraya menggenggam dagger dan bersiap menyerang.

*crek

Mereka bertiga berbaris. Entah mereka melakukan tersebut karena formasi mereka menyerang atau kebetulan. Hal ini langsung aku manfaatkan untuk melakukan skill Cutting Edge/Tepi memotong.

*srak *slash!

Momentum terjadi, waktu seolah rasanya berhenti sekilas. Aku mengiris mereka bertiga yang kebetulan berbaris horizontal. Ditambah lagi muncul notifkasi akan skill Cutting Edge dapat dilakukan. Langsung saja.

18 hit dibayar lunas dengan 1 hit. Fatality.

Aku melirik, ia masih terbaring kaku. Tangan terikat, bergitu juga kaki. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tertutup poni dan gerai rambutnya sendiri.

 

Raid (0.8%)

“tinggal sedikit! Archer keluarkan ulti kaliaan!!” Yuki berseru.

Dari kejauhan mereka berujar “Assault Arrow/Panah serbu!” mengucapkan mantra bebarengan. Menembakkan rentetan panah ke langit.

“ini. Ulti mereka pasti kayak manggil sesuatu di langit..” Ujarku melirik mereka.

*syat *syat *syat

Dari langit. Seolah meteor jatuh. Rentetan panah muncul dari atas, layaknya hujan. Meskipun tidak seberapa, tapi bagaimana cara mereka melepas tembakan panah sebanyak itu? Apalagi pakai bow.

Puluhan panah dalam perjalanan menghujam sekumpulan kecil pillager yang tersisa. Yuki menghampiriku, ia tertawa “ulti dipakai buat ngebabat satu kelompok kecil..”

“iya ya. kenapa nggak dipakai dari tadi lo. Pas ada evoker..” Jawabku.

“tadi Reina bilang. Kalau mereka memakai ultinya, cooldownnya lama banget. Bahkan sampai raid selesai mungkin belum selesai cooldownnya.”

“oalah..”

*splat *splat *splat! *trak *tak *tak

“melihat momentum ini aku jadi keingat salah satu sejarah yang pernah aku baca.”

Yuki menoleh, “hm? Sejarah yang mana?”

Raid (0.1%)

Melihat persentase raid tinggal 0.1 persen. “apa ini sisanya pillager yang di belakang ini?”

Raid (0.0%)

 

Begitu persentasi raid habis. Mencapai titik nol, suara gemuruh gembira terdengar. Walau saat ini kami berada di pinggir desa, tetapi suara riuh gembira terdengar meriah.

“Irma. Waktunya pesta kembang api!” Ujar Yuki menyenggol bahuku.

Reina, Fardan menoleh belakang. Melihat penduduk desa, para villager pada keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka mulai berpelukan antara satu sama lain. Pertanda gembira, selamat dari marabahaya.

Beberapa ada yang menyulut kembang api, memberikan warna pada langit yang kala ini masih cerah siang hari.

“berasa seperti hero beneran..” Ujar Reina.

Fardan merespon, “ini nanti efek buff Hero of The Village-nya gimana ya nantinya?”

Dari kejauhan, dua archer/pemanah Ian dan Lenka melambai. Mereka memberi tanda isyarat untuk kembali ke desa.

 

“pahlawan tiba! Pahlawan tiba! Beri jalan!”

“berikan tepuk meriah untuk pahlawan! Pahlawan desa, penyelamat musibah raid!”

Aku meringis, sedikit terkekeh “ini sebenarnya nggak bakal terjadi kalau ndak ada yang bunuh pillager..” Gumanku.

“hm…? Ada apa Irma?” Yuki menoleh. Seperti biasanya, ia mempunyai pendengaran superhuman.

“nanti aku kasih tahu..”

“oalah. Ok ok..”

“kalau ingat..”

Yuki menoleh, langsung memukul bahu.

 

Para villager, semuanya langsung memeluk kami. Nyaris tidak terkecuali. Menyalami, memberikan pelukan. Bentuk rasa terima kasih. Beberapa bahkan ada yang menawarkan untuk makan dan tidur di tempat mereka secara gratis.

“bocah!”

“Suara itu..” Aku menoleh. Seorang memanggil di tengah keramaian seperti ini. Aku mendengarnya jelas. Ini mungkin juga efek dari talenta swordman. Di mana aku dapat fokus dan pendengaran yang ditingkatkan.

“kang blacksmith!” Seru aku.

Ia tertawa, “hahaha. Bagus bocah. Kamu, dan tim-mu menyelamatkan hidup kami..” Ujarnya seraya menggenggam lenganku dengan tangan besar kekarnya.

“ah. Aku bukan pemimpin tim. Party-ku hanya aku dan Yukina yang pakai dua pedang itu..”

Kang blacksmith tertawa, “hah yang penting, kalian sudah menyelamatkan kami. Sebagai ucapan terima kasih, kamu boleh mampir ke tempatku untuk konsultasi atau apapun yang berhubungan dengan persenjataan. Kamu tahu, aku blacksmith bukan? hehe.” Ujarnya seraya meninggalkan keramaian.

Heh aku saja? Tapi bagaimana dengan—

“Kak! Kak!”

Di tengah-tengah keramaian, ada villager anak-anak datang. Aku merunduk, menekuk kaki. Berlutut. “ya?”

“kakak yang menyelamatkan kami kan?” Ujar mereka salah satu.

Aku meringis, “hehe. Enggak saya doang. Ada temen-temen lainnya juga kok..”

Villager anak-anak ini menoleh, melirik satu sama lain.

“ada banyak yang menyelamatkan raid ini.. kamu bawa bunga berapa?”

“nggak tahu. Aku cuma bawa dua aja.”

“ya udah kasih ke kakak ini sama kakak yang kemarin atraksi pizza..”

Berkat bakat swordman, aku dapat mendengar apa yang mereka bisik diskusikan. Tapi aku bersikap diam, pura-pura tidak tahu.

Setelah selesai diskusi, salah satu villager anak-anak ini menyerahkan sesuatu, di mana aku sudah tahu apa yang hendak dikasihnya.

“ini buat kakak! Terima kasih kakak!” Ujar mereka bersamaan.

Aku mengangguk seraya mengambil tangkai bunga berwarna merah hati. “hm. Terima kasih ya!”

Sontak mereka mengangguk senang, kemudian berlari layaknya anak kecil. Menghampiri Yuki yang berjarak kurang lebih dua meter di sampingku. Sesuai yang mereka diskusikan, mereka hendak memberikan bunga satunya lagi untuk Yuki.

“Aku main minecraft. Tapi aku bisanya menjarah villager, berhasil bertahan dari raid. Bukan untuk mendapatkan respek seperti ini, tapi untuk dapat diskon ketika transaksi nantinya.. aku tidak terbayang kalau menjadi hero benar-benar rasanya seperti ini.” Gumanku pelan. Melihat mereka, para villager yang masih sibuk menyambut tim Ian.

“Irma lihat! Aku dapat Bunga!” Ujarnya seraya menunjukkan tangkai bunga warna merah hati.

“yap Aku juga… anak-anak villager yang memberikan..” Seraya menyunjukkan tangkai bunga merah hati.

Si Yuki melirik, melihat pandangan matanya ia seolah membaca sesuatu yang hanya ia sendiri yang melihat, dalam perspektifnya.

“belum kamu ganti, talenta kamu?” Tanya Yuki.

“hm… mungkin nanti sore. Atau besok, lusa..”

“hm…. Jangan-jangan kamu sudah enjoy sama pedang ya?” Yuki terkekeh.

“ya.. untuk saat ini jaga-jaga, kalau ada raid susulan. Siapa tahu mereka nge-retreat, nge-ambush waktu orang-orang lagi terlelap tidur.”

Berbicara raid, tiba-tiba aku & Yuki saling pandang. Saling menatap, tetapi bukan menunjukkan ekspresi romantis atau semacamnya. Melainkan,

“tunggu… raid katamu? Pillager, pillager cewek yang tadi kamu minta aku iket dia.. di mana ia sekarang?”

Yuki terkejut, “hah? Loh? Aku kira sudah kamu urus, kamu jual..”

“lah! Mana aku tahu!” Aku berpaling, melesat pergi. Yuki mengikuti.

Melihat aku dan Yuki pergi meninggalkan keramaian yang masih berlangsung. Ian menyeru, “Iruma, mau kemana?”

Aku menoleh, “keluar sebentar.. nanti balik lagi!”

Pemanah laki-laki ini mengangguk sekilas, kemudian kembali sibuk dirubung oleh para villager. Ia nampaknya seolah diwawancarai.

 

“kalau dia mati, pokoknya salah Irma!” Seru Yuki seraya berlari menuju tempat pertarungan raid berlangsung.

Aku menoleh, sembari berlari pula “lo what?”

“kan tadi kamu yang minta nge-boost dash untuk bisa nepis serangan vex yang mau nyerang dia.”

“hm. Semoga saja ia masih hidup. Belum satu jam ditinggal, lagian kalau pagi hari nggak ada mob hostile kalau bukan witch, evoker, creeper.”

Sesampainya di medan peperangan raid tadi. “ia dimana? Dimana ia?” Tanya Yuki antusias.

“coba pakai ability fokus. Tingkat fokusku nggak begitu peka kalau nyari satu objek, apalagi ini agak luas tempat e.”

Yuki mengangguk sekilas, ia memejamkan mata lalu melirik menyapu seluruh pandangan 180 derajat. Kemudian menyeru, “nah situ! Situ!”

 

Kondisi, terikat. Namun seluruh tubuhnya lusuh nyaris tertutup debu dan tanah.

“belum satu jam kok sudah kotor gitu ya?” Tanya Yuki.

“dah dah. Untung ia nggak mati.” Ujarku menekuk lutut, mengecek kondisi pillager wanita yang ditawan Yuki tadi.

Rambut poninya terurai acak, nyaris menutupi wajah. Aku hendak menyeka poninya, Yuki menyeruak “sebentar, biar aku saja!”

Mata setengah tertutup. Mulut sedikit terbuka. Melihat kondisinya, ia kemungkinan besar sekarat, kondisi hp-nya mungkin berada di zona kuning atau merah.

“gimana ini Irma?” Yuki khawatir

Aku menatapinya lebih dekat, “… dia mungkin sekarat…”

Yuki menoleh cepat, “lah terus gimana dong?”

“aku ndak bisa merasakan hawa-hawa kehidupannya. Insting survival-ku ndak jalan.. sebentar..” Ujarku seraya membuka menu, menekan beberapa tombol. Memunculkan sesuatu.

Menunjukkan sepotong daging, “minecraft biasanya tetap bisa memberikan sesuatu ke mob. Tapi kalau ngasih makan, apalagi ini mob hostile… aku ragu..” Ujarku seraya mendekatkan potong daging ayam telah masak.

“Yuki. Coba kamu buka mulutnya.”

“oke oke.. sebentar…”

*nom

Dia langsung merespon. Membuka mulut perlahan sesuai irama dari Yuki, mulai menggigit potongan daging ayam.

Yuki merespon senang, “dia makan! Irma lihat Ia makan!”

Aku menarik senyum tawa lega.

 

Beberapa saat setelah daging potong ini berhasil masuk ke mulut wanita pillager ini, seketika Yuki menarik paksa dia untuk berdiri seraya berujar “ok.. waktunya pulang!”

Sontak pillager cewek ini terengah kaget, ia tidak mengucapkan kalimat apapun. Hanya erangan samar.

“anjer, langsung sadis..” Ujarku kaget.

Yuki menoleh, “hm? Masa? Apa kamu mau njaga dia disini?”

Aku melongo, “maksudku nariknya jangan gitu… strenght-mu gede. Ingat itu.”

“oiya! Aku lupa.. beneran!” Sontak Yuki kaget. Ia nampaknya tersadar menarik paksa tanpa dosa.

Yuki lantas melirik wanita pillager yang ditawan, “apa tadi sakit?”

Ia memalingkan muka dengan merunduk. Membiarkan rambut poni panjangnya tergerai nyaris menutupi wajah.

 

Perjalanan kembali ke desa/village. Yuki memimpin tawanannya dengan mencengkram kedua tangan yang diikat. Pillager cewek ini tidak berkomentar melawan, ia diam mengikuti.

“Yuki.”

“hm..? ada apa Irma?”

“apa tidak masalah? ini yang kamu bawa itu pillager. Bisa mancing keributan!”

Yuki melirik tawanannya, “um… aku rasa ndak papa. Lagian ini diikat kedua tangan dan kakinya kok.”

 

Sesampainya di desa. Nampaknya penduduk desa/villager masih merayakan akan kemenangan bebas dari raid. Beberapa melakukan pesta dengan mengobrol satu sama lain beramai-ramai.

“bocah!” Ujar kang Blacksmith memanggil di tengah ia sedang mengobrol dengan villager sebayanya. Yang aku maksud sebaya adalah villager yang memiliki tubuh kekar, sama seperti kang Blacksmith ini.

Aku menyahuti, “kang!”

“Irma. Kamu duluan aja. Ini, aku yang ngurus..” Bisik Yuki, mendapati aku dipanggil si pandai besi.

“sebentar sebentar.. sebenarnya ini cewek mau kamu apain?” Tanyaku heran.

“kamu pernah lihat orang pro player main minecraft?” Yuki berbisik.

“maksudmu, pro player yang bisa runner-up finish minecraft—“

“bukan-bukan itu… pro player minecraft, mereka biasa mengoleksi mob-mob.”

Aku menoleh kaget, “what? Maksudnya? Untuk apa?”

“ya untuk farming lah!”

“kau mau nge-farming mob hostile dengan mengembang biak-nya? Mana mungkin pillager cewek bisa punya anak tanpa pejantan woi.”

Yuki menyeringai.

“jangan bilang. Aku pejantannya, dih dikira aku mob apa..” Ketus aku.

“hm.. aku malah berpikir lebih tentang itu..” Yuki berguman. Aku melolotinya terus.

“pokoknya.. ini tawanan aku yang ngurus. Kan dari awal emang aku yang nangkep..” Si Yuki nampaknya berusaha menyudahi obrolan. Ia mendorongku, seolah mengatakan “sana-sana.. kamu diajak obrol sama si pandai besi lho.”

Kang Blacksmith menghampiri, Yuki tambah mendorong-dorongku untuk maju. “jangan jauh-jauh.. aku ndak punya kemampuan tracking!” Ujarku seraya mulai menemui kang blacksmith.

 

***

“sebelumnya kalian sudah membaca perintah?”

“sudah!”

“apa objektif kalian?”

“sebagai mob!”

“apa tujuan keberadaan kalian spawn di sini?”

“sinyal raid!”

Semua bergemuruh semangat. Menodongkan senjata masing-masing, ada yang menodongkan kapak, tongkat, atau mengangkat kedua tangannya.

Tidak ada pilihan lain, selain ikut menyeru kata yang sama.

“kesempatan kalian, satu kali. Bila poin hp kalian berada di titik nol. Maka, selesai sudah.”

“Kalian tidak dapat re-spawn kembali. Maka dari itu, ini adalah kesempatan pertama dan terakhir! Make it be!”

Semua merespon, teriakan gemuruh semangat membara.

 

Hal ini tidak pertama kali. Sebelumnya ada kelompok pleton raid. Pemimpin mereka juga menyeru dengan hal yang sama, di mana mereka akan spawn karena adanya sinyal raid. Namun, kiranya sudah lama kelompok pleton tersebut tidak kembali.

“mereka mati?”

“Kamu!”

“…?”

“Ya kamu! Kenapa kamu tidak ikut menyeru?”

“Main frame milikku belum sepenuhnya memahami objektif ini—“

Panggilan Raid. Pleton 34, proses spawn akan dilakukan…

“Waktu telah tiba! Tunjukkan kemampuan kalian, senjata yang kalian. Pemanggilan dimulai!”

 

*sret!

Skill dash dapat dilakukan!

*bukk!

“Kamu masih tetap mob hostile berarti…” Ujarnya. Ia menahan tubuh ini yang mendadak berdiri dan merangsek maju.

“…arr..ggrrrr….”

Tunggu kenapa aku tidak bisa berbicara? Aku mau bicara, menanyakan siapa dia? kenapa dia tidak menebaskan pedangnya, sedangkan yang lain ia tebas dengan sadisnya.

Main objective: as mob hostile.

“sementara, aku ikat lagi kamu. Tenang-tenang, aku tidak akan membunuhmu. Kamu pasti geram melihat kawan-kawan kamu aku tebas pakai dua pedang—“

Skill dash dapat dilakukan!

*brak!

Reflek langsung mengeluarkan dash lagi. Entah, tubuh ini seolah bergerak sendiri.

“tenang, tenang. Aku ndak bakal bunuh kamu… untuk saat ini, aku ingin kamu tenang di sini. Sampai aku sama Irma cari cara..” Ujarnya menahan serudukan dash.

Begitu ikatan ini dilepas, muncul hasrat untuk menyeruduk menyerang. Terbilang nekat memang, karena saat ini tidak ada senjata tajam yang bisa melukai. Menyeruduk dengan dash sekalipun tidak mempan. Harus dengan senjata tajam.

“Dengar, kalau kamu ribut. Para villager kemungkinan besar akan panik, sistem akan mendeteksi adanya raid. Dan nantinya akan muncul pillager beserta antek-antekmu. Kamu ingin aku membunuh mereka lagi?” Ujarnya mengucapkannya dekat telinga.

Kalau aku membuat keributan. Villager panik. Kalau panik, pasti akan memberikan sinyal akan raid yang akan men-trigger spawn kelompok pleton yang lainnya. Mereka para raid tidak akan selamat. Kesempatan mereka hidup hanya sekali, setelah itu poof! Hilang sudah.

“hum… aku yakin, mob hostile di dunia ini. Bisa dijinakkan. Dijadikan teman.” Ujarnya melepas ikatan dan kaki.

Begitu lepas, seperti biasanya. Muncul notifikasi,

Skill dash dapat dilakukan!

Tubuh bergerak sendiri, mengikuti perintah dasar objektif sebagai hostile.

*brak

Al hasil, skill dash tidak dapat terbendung. Meskipun aku berusaha menahannya, tetapi logika akan aku sebagai mob hostile tidak dapat terkalahkan. Namun, untungnya aku gagal. Tubuh ini menabrak pintu besi.

Seketika itu rasa gemetar menggerayang karena menabrak objek keras tanpa memakai armor.

Aku mengerang seraya mengenggam siku lutut karena menabrak pintu, “sakit…”

 

***

Perayaan masih berlangsung. Mereka para villager merencanakan untuk memberi persembahan semacam makan besar. Aku menolak, karena rasanya kalau dipikir-pikir raid tidak akan muncul tanpa adanya pemicu.

Jadi, kalau semisal pemicunya adalah kelompok pemain sendiri rasanya tidak enak makan makanan persembahan mereka.

“mau roti kak?”

“ah.. tadi aku sudah makan banyak kok..” Aku menolak.

 

Jam mungkin saat ini menunjukkan pukul satu, siang hari. Panas yang aku sebut berasal dari matahari ini mulai menyengat. Biasanya di jam seperti ini ada tugas/quest dari salah satu villager, seperti kemarin Yuki mendapatkan quest untuk berburu slime dengan Lenka.

Tunggu di mana Yuki?

“coba lagi kak! Coba lagi!!”

“artraksinya bagus banget..”

Riuh anak-anak villager mengerumun. Nampaknya mereka memuji atraksi salah seorang pemain yang mereka kagumi.

Rambut panjang, nyaris sepanjang pinggang. Tiga poni lancip di sela-sela mata dan hidung. Tawanya yang membuat orang adem. Yukina, pemain uji beta wanita yang mendedikasikan dirinya untuk menjadi pendekar pedang.

“Irma!” Seru Yuki melambai ditengah anak-anak setinggi pinggangnya mengerumun.

 

“sudah kamu setting ulang bakat talenta mu?” Tanya Yuki.

“belum. Mungkin nanti malam, sebelum tidur.”

“emang nanti malam kamu bisa tidur?”

Aku memaling muka, “aku harap nanti ada yang sift jaga..”

Yuki tertawa.

“tapi ngomong-ngomong… di mana Lenka Ian kawannya?”

“mereka lagi makan bareng di bar salah satu villager..”

Aku terkejut, “tunggu apa? makan?”

Yuki mengangguk, “iya. Gimana? Mau ikut join?”

Aku menggeleng, “aku rasa nggak. Mereka mungkin lagi diskusi tim.. nggak enak.. ganggu.”

“hum hum…” Yuki menjawab bergumam. Kemudian mengambil posisi duduk di bangku taman pusat desa di mana aku sudah sedari tadi duduk di sini setelah mengobrol panjang bersama kang blacksmith.

Melihat si Yuki tadi datang melambai bersama kerumunan anak-anak villager, rasanya ada sesuatu yang hilang, “sebentar, di mana si cewek tawanan tadi?” Tanyaku kaget.

“sementara aku menyekapnya di kamar.” Ujar Yuki santai.

Aku menoleh, “sebentar, apa? menyekap—“

“bukan.. aku mengurungnya di kamar.. nggak aku ikat kedua tangan kakinya..” Serobot Yuki.

“maksudmu? tunggu. Ingat, itu mob hostile. Mau wujudnya secantik apapun, dia tetep saja mob dan berjenis hostile..”

Yuki memutar bola mata, menunjukkan ekspresi malas “Iya aku tahu.. siapa juga yang bilang dia endermen.”

Aku terkekeh kaku.

“mau secantik apapun dia tetep saja mob… hm, gimana kalau dia player?” Ujar Yuki tiba-tiba setelah percakapan diam selama lima detik.

“maksudmu” Torehku heran.

“ ya.. siapa yang tahu kalau di minecraft ini.. para mob itu sebenarnya pemain juga? Mungkin ada role untuk jadi mob kali.. hihihi.” Ujar Yuki seraya tertawa.

Aku meliriknya sekilas, kemudian kembali melihat pemandangan para villager bercengkrama. “kelihatan.. mob sama tidak itu kelihatan…”

Yuki berguman, “hm.. gimana kalau aku itu mob?”

“… hm, percobaan yang bagus.. coba kamu ndak aku kasih jatah makan. Kalau mati, ntar respawn di gua pas keadaan sekarat nggak?” Ujarku seraya membuka menu inventori, melihat berapa jumlah item yang tersisa.

Sontak Yuki merenggut, “eh jangan Ir.. anjir..”

 

[100%] Yukina, Warrior Lv. 55

---[100%] Stamina

---[60%] Poin Wareg

 

Melihat statistik vital Yuki, aku berujar “60% mau makan nggak? Ini daging kayaknya besok sudah ndak layak makan ini…” sembari melihat beberapa panel inventori, menunjukkan detil informasi durabilitas tersisa pada daging potong.

Yuki mengangguk cepat seraya berdiri, “ok! Sekalian mau nunjukkin tempat aku ngurung cewek tadi… ayo”

 

Pillager yang ditawan Yuki, entah apa ia masih bersikap hostile atau tidak. Aku ragu, melihat sistem minecraft di dunia ini berbeda. Mob yang dapat berinteraksi nyaris persis seperti manusia, memiliki kepribadian yang berbeda-beda. Mulai dari kang blacksmith, penjual kue, penjaga toko, sampai anak-anak pun memiliki tipikal pribadi yang berbeda.

Jangankan pribadi, tone suara saja sudah beda. Pembuat teknologi ini pasti mengalami banyak siksaan untuk membuat dan menemukan teknologi ini yang begitu detil.

“Yukina.”

“ah kamu.. ini kuncinya..” Ujar penjaga.

Aku melirik tempat yang ditunjukkan Yuki, tempat ia mengurung wanita tawanannya. “Sebentar, ini… ini hotel?”

Yuki mengangguk cepat “iyap..”

“lah terus.. terus.. biaya—“

“sudah ditanggung gratis sama yang punya hotel…” Potong Yuki.

[Hero of the Village] Yukina, Warrior Lv. 55

[Hero of the Village] Iruma, Swordman Lv. 52

“ah iya.. aku lupa.” Ujarku setelah melihat baris teks identitas diri singkat beserta anggota party.

 

Lantai tiga, Yuki memilih kamar. Membuka kunci pelan-pelan.

“tunggu. Masa gratis? Biasanya di minecraft itu hanya diskon—“

Yuki sontak membungkam, “..sst, kamu putar kuncinya… aku mau ambil posisi..” Ujarnya menempelkan jari telunjuknya membungkam mulut.

Kali ini aku tidak berkomentar, ikut menganut saja. Menggantikan Yuki memegang kunci, bersiap membuka pintu. Sedangkan Yuki mundur satu langkah, ia mencengkram dua gagang pedang yang tergantung di dua sisi pinggang.

“buka! Buka!”

*klek *ceklek!

Terbuka seketika, sosok datang berusaha untuk keluar pintu. Si Yuki ini sudah siaga dari tadi, ia sontak langsung menghadang.

*buk

Aku meringis melihatnya, “sakit itu mesti.”

Yuki menghantam ‘sosok’ yang maju menabrak tadi dengan gagang pedang. Hal ini artinya ia tidak menebas sesosok maju ini, ia memanfaatkan gagang pedang untuk menyenggel, menahannya supaya tidak lolos.

Sosok ini seketika terkapar jatuh. Ia harusnya terkena stun karena gagang pedang menyodok titik vital.

Ia meringkuk mengerang. Seraya mencengkram perut.

“di tempat ini?” Ujarku kaget.

“yap. Memangnya kenapa?”

“maksudku, ini.. ini... ah sudahlah terserah.”

 

Menampilkan menu, memunculkan beberapa potong daging.

“Irma, ikat yang erat. Kalau dia tiba-tiba berontak, pas ndak ada aku. Bisa kisruh ntar.” Ujar Yuki menyangga badan tawanan pillager.

Aku mengikat, membentuk simpul tali yang erat tetapi mudah untuk dilepas.

“Ini aku bikin simpul biasa. Bisa lepas kalau dua ujungnya ditarik.”

Yuki mengangguk, “hum. Hum. Itu sudah cukup…”

*sret

“Jangan keras-keras ngikatnya. Ntar lecet.” Komen Yuki.

Mataku meliriknya sekilas. Yuki tertawa.

 

Setelah acara pengikatan selesai, Yuki berujar “ini kamu yang menyuapinya ya.”

“hah?”

“tadi awalan aku sudah, giliranmu.”

Aku mengendus, menghela napas. Membuka menu, memunculkan daging potong. Lalu mulai menyuapi.

Karena tawanan pillager ini, poninya panjang banget sampai nyaris menutupi muka. Aku harus menyekanya untuk dapat menyuapi potong daging ayam agar dapat masuk ke mulut.

“… oi, aa..” Gumanku pelan. Memberi isyarat agar ia mau membuka mulutnya.

Ia merespon cepat. Aku tidak dapat melihat mata atau ekspresinya. Wajahnya sebagian besar tertutup poni dan rambut yang terurai nyaris berantakan.

Sekali lagi, ia makan dengan lahap. Aku berani mengira, poin wareg miliknya kemungkinan besar drop untuk memulihkan pasca raid. Harusnya ia segera mendapatkan pasokan makanan untuk memulihkan statistik stamina.

 

Seusai menyuapi pillager tawanan, Yuki melirik tajam. Terlebih ketika aku hendak menggigit potongan daging ayam nyaris tidak berasa karena aku memasaknya tanpa rempah-rempah.

“ah iya. Aku lupa..” Ujarku seraya membuka menu, memunculkan piring kayu.

Menyodorkan piring penuh dengan potongan daging ayam seraya berujar “ini. Habiskan. Besok-besok, ini daging mungkin sudah nggak layak makan.”

Si Yuki langsung menerimanya, “di sini ada kadaluarsa makanan juga toh.. berarti nggak bisa nge-stack makanan..” Ujarnya membuat kesimpulan.

“mungkin ada bahan atau sesuatu yang bisa membuat makanan bisa betah lama…” menjawab seraya menggigit daging ayam.

“kamu mau membuat kulkas pakai teknologi redstone?” Celetuk Yuki.

Redstone?

Aku terperanjat, “ah iya. Redstone! Redstone…”

Yuki sontak kaget. “hah? Maksudnya? Jangan-jangan kamu mau buat kulkas beneran ini?”

“nggak.. bukan itu.. tapi semenjak aku menambang, aku belum pernah menemukan redstone..”

“masa?”

“iyo.”

“dari dulu sampai sekarang, belum paham gimana sistemasi redstone bekerja… sad..” Ujar Yuki bertopang dagu seraya mengunyah daging.

 

Di tengah percakapan, aku sesekali melirik pillager yang ditangkap Yuki. Perspektif/pandanganku tidak dapat melihat nama ataupun statistik lainnya kecuali mindset kalau ia adalah mob hostile.

Semua tubuhnya nyaris terikat semua. Sementara Yuki memintaku untuk mengikat tangan agar tidak memberontak bergerak, dan membuatnya duduk bersandar dengan kedua kaki terikat. Kepalanya merunduk, kebetulan aku melihat samar raut pandangan mata.

Melihat ke bawah, lantai kayu. Mulut terbuka sedikit.

“Irma.” Yuki memanggil tiba-tiba.

Aku merespon, “hm?”

“kamu hafal villager?” Tanya Yuki pelan.

“maksudnya?”

Yuki menoleh,  “maksudnya tipikal villagernya… kan ada villager pandai besi, petani, dan lainnya.. itu kamu hafal?”

Reflek aku melirik langit-langit, seraya berguman singkat. “kalau hafalnya.. nggak, tapi biasanya kelihatan dari outfit yang dipakainya kok.”

“ah kalau gitu ntar aku tolong carikan villager yang bisa meracik botol ramuan ya.”

Aku menoleh, “kamu mau buat potion debuff?”

“aku pake senjata utama pedang. Mana sempat keburu telat minum potion pas momen terhimpit.. apa lagi aku pake dual pedang.” Jawab Yuki cepat.

“lah terus ngapain cari villger yang bisa bikin potion?”

“nanti aku kasih tahu.” Ujar Yuki cepat.

 

***

Tempat fasilitas,

 “Nia.. ini aku tanyakan sekali lagi… kamu yakin?”

Ia mengangguk cepat, seraya berbaring. “ini sudah jadi resiko.”

“tapi kalo ada jalan lain selagi—“

“jalan lain yang mana?” Ia menyerobot.

“ini sudah resiko kalau teknologi ini ditemukan. Di cerita pasti ada antagonis dan juga protagonis. Kalau semisal nggak ada antagonis, plot cerita nggak akan jalan. Begitu juga sebaliknya.”

Ia seolah tidak punya pilihan lain.

“aku juga nggak mungkin mengorbankan mereka yang hanya sekedar menguji coba untuk ikut terlibat.” Tambahnya lagi.

Beberapa orang berpakaian putih bersih seperti apoteker, mereka berkumpul di suatu ruang. Pandangan fokus mereka hanya satu.

“tapi… aku juga nggak mau menyerahkan ini sia-sia.. karena ini terlalu worthy dan berbahaya kalau dipegang sama orang salah..”

 

Suara gemuruh langkah kaki terdengar. Berjumlah puluhan. Hentakan kakinya terdengar jelas menggema. Hal ini karena arsitektur tempat ini memiliki banyak lorong, sehingga hentakan suara memungkinkan menggema di setiap sudut lorong.

“benarkan. Dia memanggil bala bantuan…” Ujarnya seraya menunjuk arah suara hentakan kaki.

Semuanya menoleh, beberapa ada yang panik tetapi berusaha agar tetap diam dan tenang.

“dengar. Kalian semua. Apapun yang terjadi, jangan sampai mereka menyentuh penguji beta. Mereka semuanya innocent.”

Ia diam sejenak mengambil napas, kemudian melanjutkan “apapun yang terjadi, jangan sampai mereka mendekati para penguji beta...”

Seorang operator berguman, “apapun yang terjadi..”

Ia langsung menambahi, “apapun yang terjadi. Saat ini alat simulasi menjalankan game bernama Minecraft VR, yang sudah kalian coba untuk melakukan kustomisasi dan sebagainya.. otoritas admin berada di pusat server fasilitas ini.”

“aku yakin mereka tidak mengincar minecraft atau game-nya. Tapi akan teknologi ini, tentang konsep dunia baru.”

Beberapa terkejut, namun sebagian kecil masih heran. Ia melirik mereka satu-satu, kemudian melanjutkan pidatonya “beberapa mungkin belum tahu. Itu adalah proyek yang gagal. Sejujurnya itu hanyalah fitur, tetapi bila dikembangkan akan memberikan suatu perubahan yang besar.”

“konsep ini terkunci. Tidak dapat terbuka ataupun diakses melalui monitor pusat server di fasilitas ini.”

“Ata. Dokter kalian. Ia tidak mempunyai akses untuk itu. Bukannya ia tidak punya, ia memilih untuk tidak memilikinya. Karena suatu alasan privat.” Ujarnya.

Ata, laki-laki yang dimaksudnya. Ia hanya terdiam merunduk kecil berdiri di samping wanita yang sedari tadi melakukan monolog.

“untuk mengakses konsep dunia baru. Memerlukan kunci yang unik, di mana kunci ini tidak dapat disentuh atau dipegang secara fisik…”

Ia mengambil napas dalam, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan.

“Aku. Nia Zahra. Penemu konsep dunia baru setelah memodifikasi alat vr menjadi alat simulasi yang dapat menyesuaikan sensor serta gestur seluruh tubuh untuk dapat diprogram dan dijalankan dalam kontrol penuh yang kalian kenal dengan full dive.”

 

“polisi, aparat keamanan akan datang dalam waktu satu jam kurang.” Ujar Ata, laki-laki dokter yang dimaksud oleh si wanita berpidato tadi. Nia.

“satu jam… kalau di sana, berarti bisa sampai satu atau dua hari.. entahlah.” Responnya.

“kembali ke pos masing-masing. Aku akan mengambil alih komando.” Seru Ata.

Semuanya merespon baik dan segera bubar jalan. Tinggal mereka berdua dalam ruangan.

“oi Nia. Kamu serius ini?”

“iya. Apa aku pernah nggak serius kah?” Tanya Nia seraya mulai mengambil posisi tidur telentang.

“maksudku… apa rencanamu? Aku nggak paham.”

“aku mau masuk. Di sana tidak ada staff atau pemain yang punya otoritas admin.. kamu tahu, firasatku tidak enak kalau aku kabur lari demi menyelamatkan kunci lalu dia mengobrak-abrik sistem server.”

“kamu mau masuk? Di tempat ini? Tapi…”

“nggak perlu khawatir. Lagi pula aku ini asset. Target mereka hanyalah konsep yang aku bicarakan tadi.. ini bahaya banget kalau jatuh ke tangan yang salah…”

Ia diam, tidak merespon.

“hah. Kamu juga nggak mau aku kasih duplikat kuncinya bukan?” Ujarnya tertawa.

Dia tertawa, “nggak mau lah. Resiko banget. Aku nggak kebayang kalau konsep yang kamu buat itu terealisasikan.”

“makanya itu…”

Ia menarik alat simulasi, menutup sebagian besar wajah. Ata, laki-laki yang disebut dokter olehnya tidak dapat berbuat banyak. Resiko konsep tersebut bila jatuh ke tangan yang salah bisa merubah dunia menjadi beresiko.

“Ata. Aktifkan simulasi.. tolong.”

 

***

Suasana perayaan berlangsung sampai larut malam. Para villager mengajak kami untuk merayakan kemenangan atas raid dengan makan besar bersama. Tetapi mengingat kalau malam, bagaimanapun mob hostile akan tetap muncul ketika cahaya yang aku sebut matahari ini tenggelam.

“sekali malam ini saja kak!”

“ayolah kak… ndak usah keluar..”

“kak..”

Yap. Itu suara anak-anak remaja villager. Mereka yang laki-laki merayu perempuan, begitu juga sebaliknya.

“Irma. Malam ini aku yang ambil sift jaga malam aja.. kalian hadir aja acara perayaannya.” Ujar Yuki.

“kamu mau farming sendiri?” Tanyaku merujuk langsung padanya.

Yuki panik “ya iyalah.. maksudku bukan gitu. Kalau semisal ada raid susulan gimana?”

“tapi yang dikatakan sama Yukina benar juga… kalau gitu, aku ikut jaga malam..” Fardan si tameng menyahuti.

Ian, pemanah, archer merespon “hm.. mau farming juga bang?”

“ya farming ya juga sekalian hunting.. setidaknya aku bisa bantu pakai tameng ini..” Ujar Fardan.

Dalam benak terperanjat pikiran, “ya.. sejujurnya kalau aku kalian semua ikut acara villager dan membiarkan si Yuki nge-solo, itu sudah aman mengingat talenta miliknya warrior. Petarung.”

Mau terucap, tetapi terhalang melihat Yuki hanya menyarungkan satu pedang di pinggang. Ada kemungkinan Yuki memang sengaja melakukan itu, menyembunyikan kalau dirinya adalah pengguna pedang ganda, petarung/warrior.

Salah seorang menyahuti, “kalau gitu, aku juga ikut sift malam ah!” Dia sama seperti Yuki, petarung dengan kapak bergaya viking. Reina.

“hm…. Aku juga ikut jaga juga…” Ian berujar, ia turut berpartisipasi untuk sift jaga malam.

Jadi total yang mengajukan diri untuk sift jaga malam, empat orang. Yuki, Reina, Fardan, Ian.

Aku mau mengajukan, Yuki menyerobot “eit… pengguna pedang sudah ada di sini. Aku nggak mau nanti rebutan…” Cegahnya.

“empat orang sudah kebanyakan.. sisanya hadir aja di acara perayaan villager ini..” Fardan menambahi.

“Lenka? gimana menurutmu?” Ujar Reina menanyai sisa personil timnya yang sedari tadi diam menyimak.

Melihatnya diam tidak berkomentar, aku kembali mengajukan tangan “tapi—“

Yuki cepat menyerobot, “ah ssssttt… kamu kurus banget Irma. Malam inikan ada event makan-makan kan? Ya sudah terima aja.”

Mendengar Yuki berujar tentang ukuran badan, personil Ian saling pandang.

“Lenka, gimana menurutmu?”

“…Ya ya, aku yang jadi wakil party untuk hadir acara malam ini.” Ujarnya setelah diam menyimak cukup lama.

“Iruma?” Tanya Ian meminta persetujuan.

“a—“

“dia sudah setuju.. gestur tubuhnya menunjukkan kalau ia setuju.. sudah nggak perlu dipungkiri lagi..” Serobot Yuki lagi, kali ini ia mengucapkannya seraya tertawa canda.

 

“kalau begitu, sampaikan maaf kami karena ndak bisa hadir semua acara malam nanti ya.” Ujar Ian seraya memetik senar pegas busurnya.

Aku mengacungkan jempol. Simbolis tanda mengiyakan. Mereka langsung paham, kemudian mulai beranjak keluar gerbang villager memulai patroli berjaga bila ada mob hostile mendekat.

“oi Yuki.” Celetukku pelan.

Si Yuki mendengarnya, ia menoleh sigap “hm?”

“harusnya ini kamu bisa atasi sendiri kan?” Tanyaku pelan.

Ia menarik jari telunjuk, didekatkannya pada mulut. Memberikan pesan simbolis. Kemudian ia berlalu pergi.

 

Agenda malam ini berlangsung meriah. Para villager sudah mempersiapkan wejangan makanan untuk menjamu pahlawan yang menyelamatkan mereka dari raid.

Harusnya semua personil tim Ian dan si Yuki mengikuti acara ini. Tapi kalau malam, tidak bisa diperkirakan kapan serangan tiba. Maka dari itu, sebagian mereka memutuskan untuk berjaga di sisi luar desa sampai waktu yang ditentukan.

Lenka. Wanita pemanah. Ia kini disampingku. Duduk bersila di depan wejangan makanan yang disajikan oleh para villager.

“Bocah! Makan yang banyak. Tubuhmu kurus, apa kamu terlalu sering merantau?” Ujar si Pandai Besi.

Aku mengambil potong roti, terbuat dari gandum yang diolah menjadi adonan roti. “ah ini kang… aku sudah ambil..”

Tanpa sadar aku menyenggol Lenka. Aku meliriknya, melihat ia menyodorkan sekerat roti.

“ah maaf. Aku nggak lihat tadi…” Ujarku reflek seraya menyobek roti yang diambilkan Lenka.

Ia hanya mengangguk diam. Kemudian buru-buru memakan roti yang tadi ia sodorkan lalu aku sobek sebagian.

Tidak mengeluarkan kata-kata, hanya diam dan gesturnya yang tenang. Kedua matanya terbuka lebar, tidak sayu. Kalau melihat tajam, kadang aku sering merasa panik ketika diliriknya terus.

“Talenta yang kamu gunakan, archer kan?”

“um” Jawabnya singkat.

“dapat badge itu memang sengaja dari awal main atau setelah punya barang lalu mulai fokus untuk dapat talent archer?” Tanyaku lagi.

“aku mendapatkan busur panah ini hadiah dari penduduk desa..” Jawabnya lagi. Singkat.

Ok, sudah dua orang mengatakan ia mendapatkan senjata utama dari talentanya dari quest. Sedangkan aku, spawn di tengah hutan. Leveling mana sempat, talenta miner itu saja nggak sengaja dapat. Dan mempunyai talenta swordman setelah aku satu tim dengan Yuki.

“artinya pas awalan main, spawn-nya di areal villager?”

“spawn?”

“maksudku, tempat lokasi awal ketika pertama masuk di dunia ini.”

Ia gagal paham arti spawn, ada kemungkinan ia tidak mendalami istilah dalam dunia game.

Ia berguman sejenak, “um.. iya, lokasi awal pas masuk aku di tempat pedesaan.”

“jadi langsung interaksi sama villager?”

Ia mengangguk lagi. Diam, tidak terlalu banyak bicara.

 

Karena aku sudah kehilangan topik, aku memilih untuk diam tidak memulai obrolan. Kamu tahu, jawabannya benar-benar pasif banget, ditambah lagi aku tidak ahli dalam hal mendinginkan obrolan. Kalian bisa memperhatikan sewaktu aku berkomunikasi dengan si Yuki. Ia begitu aktif, tidak pasif. Sehingga obrolan tetap hidup bahkan sampai ngantuk sekalipun.

[Yukina: Bagaimana acaranya?]

Si Yuki mengirimkan pesan singkat, obrolan biasa. Aku segera merespon, memunculkan panel keyboard semi-transparan dan mulai mengetik.

[Iruma: lancar-lancar. Btw, shift jaga gimana? Ada mob?]

Belum satu menit, ia membaca pesan. Kemudian mengetik.

[Yukina: Sisakan makanan untukku! Dagingmu besok mungkin sudah ndak layak makan! Wkwkw]

Hanya berbasis teks, tapi seolah-olah kami berbicara seperti wajarnya.

“Iruma. Irma..”

“ah ya?” Sontakku kaget. Ia memulai percakapan, tidak biasanya.

“apa kamu nggak mengingatku?” Ujarnya seraya menunjuk dirinya sendiri.

Aku mengerutkan dahi, entah apa dahi di avatar ini ikut berkerut juga. Intinya aku reflek mengerutkan dahi mulai berpikir.

“apa aku pernah ketemu sama kamu sebelumnya?” Tanyaku balik.

Ia terdiam. Mulutnya kembali terkatup rapat.

“maksudku kalau pernah. Kapan?” Tanyaku lagi. Mencoba cari pancingan kalau yang diucapkan memang benar aku pernah bertemu.

Ia menghela napas. “kamu nggak mengingatnya.”

Ucapannya terhenti, ia mengambil napas dalam-dalam. Sontak aku kebingungan bukan main.

“… besok rencananya aku mau shift jaga. Kamu mau shift jaga juga kan?” Ujarnya, intonasinya berubah.

“ah iya. Besok… aku rasa—“

“temenin aku. Shift malam.”

Aku bengong sejenak, “tunggu tapi,”

Ia beranjak berdiri, “kamu nggak ingat aku. Aku sedih. Aku marah. Gantinya kamu harus nemenin aku untuk shift jaga malam.”

“wait, what?” Ujarku kaget.

Ia diam berdiri, kemudian berlalu pergi. Aku berusaha mengejar, menanyakan apa yang terjadi dan ketidakpahaman ini. Tapi ia terlambat tenggelam keramaian.

 

Saat ini malam sudah larut. Kalau ada jam, kira-kira sekarang jam 11 malam. Para villager menyudahi acara perayaan dan mulai bersiap untuk tidur. Hal ini menunjukkan bahwa mereka semua tidak pemain, melainkan memang mob. Perilakunya yang terstruktur, tidak menyeleweng, dan rapi menunjukkan bahwa mereka terprogram untuk itu.

“kamar Yukina.” Ujarku pada pemilik penginapan.

Ia langsung mengangguk paham, “kuncinya.. aku rasa dia sudah masuk beberapa saat tadi.”

“dia sudah selesai?” Gumanku.

*klek *ceklek

“ah aku mengirim pesan berkali-kali.. nggak di read.” Ujarnya begitu aku membuka pintu. Ia duduk di ranjang seraya membuka menu.

Pesan (6)

Iya benar, aku tidak memperhatikan notifikasi pesan masuk. Aku rasa tanpa sengaja aku mengabaikannya.

“gimana? Acaranya tadi? Rasanya jadi hero… hihi” Yuki mengucapkannya seraya tertawa.

“harusnya tadi kamu shift malam aja sendiri. Nge-solo. Lagian kamu bisa pake dua pedang to? Ngapain minta kawan untuk nemenin.”

Yuki menekan tombol di panel miliknya, mengubah kustomisasi pedang “ya.. rasanya nggak enak kalau nge-solo. Kan ada tim-nya Ian..”

“ngga enak-ngga enak.. Sudah nggak dibolehin join, disuruh ikut hadir. Padahal para villager membuat banyak makanan yang porsinya cukup untuk lima orang.”

“porsinya lima orang? mana-mana? Irma bawa satu?” Yuki langsung semangat.

 [100%] Yukina, Warrior Lv. 56

---[100%] Stamina

---[12%] Poin Wareg

 

Dia laper banget ini. Poin wareg yang tersisa sampai tinggal 12 persen. Apa yang dilakukannya?

“ei ei. Ini kenapa poin waregmu tinggal 12 persen? Ngapain aja tadi? Ngerusuh dungeon?” Ujarku kaget, seraya membuka menu inventori.

Yuki terkekeh, “ehehe…”

“dah lah kebanyakan omong. Mana makanannya?” Seru Yuki tidak sabar. Ia bangkit.

“sebentar mbak e… ini lagi nge-scroll menu yang pas..” Ujarku menujukkan panel inventori yang nyaris penuh.

Yuki melihat isi inventori, satu party memberikan efek dapat melihat panel menu semi-transparan teman satu party. Ia sontak langsung menarik telunjuk, mulai menunjuk-nunjuk.

“ini.. ini! Yang ini gimana?” Ujarnya seraya menunjuk panel kecil bertuliskan ‘Cooked Beef’

Aku mengiyakan, “kalo kamu milih ini… aku harus mengirisnya dulu. Gimana?”

Ia berguman, “hm… yang ngiris aku saja coba.”

“heh?”

“iya aku saja. Ini daging sapi kan? Daging semata kan? Tinggal ngiris-ngiris doang.. sini aku saja.” Yuki meyakinkan.

Aku menyetujuinya, ditambah lagi belakangan ini aku tidak pernah melihat Yuki membantu dalam hal logistik. Mungkin Yuki lebih berbakat dibandingkan—

*splat *splat *splat

“ya.. harusnya tadi aku memilih untuk membuat tabel dan mulai berlagak koki.” Ujarku pelan. Melihat potongan daging berceceran tidak karuan.

“eehh.. ehh.. kok gini jadinya? Aku lihat di game-game nggak gini…” Yuki kaget tidak percaya.

Ia memintaku untuk memunculkan daging sapi masak namun dalam bentuk sekerat daging, sehingga kesulitan untuk kami memakannya langsung. Yuki menawarkan untuk melempar daging yang baru di masak siang menjelang sore tadi, agar nanti Yuki menggunakan dua bilah pedang bermata dua disayat iris kala daging sapi tadi melayang diudara.

Al hasil, semuanya teriris. Memang teriris, tetapi karena tebasan Yuki terlalu banyak menyebabkan daging pecah tidak karuan.

Aku melihat sekeliling, secercah daging kecil-kecil tercecer di lantai kamar penginapan. “Ini kalau aku jadi yang punya penginapan, sudah aku denda plus blok.” Ujarku seraya melutut untuk mengumpulkan kembali pecahan daging.

Yuki mencegah, “mau kamu apakan lagi Irma?”

“ya.. aku buanglah. Aku nggak punya skill untuk menyatukan kembali daging yang sudah keiris hancur seperti ini.” Ketusku.

Yuki panik, ia menggigit bibir seraya mengepal tangan gemetar. “Iruma Iruma.. ini… yang bersihin aku aja…”

Ia menawarkan jasa lagi, “aku ragu.”

“nggak nggak.. ini aku nggak mengacau. Kamu masih punya daging lagi kan? Potong-potong dagingnya, ini biar aku yang bersihin..” Rengek Yuki.

---[4%] Poin Wareg

“anjer. Baru ngeluarin skill aja langsung drop sampai segitu. Ya sudah, segera kusiapkan dagingnya.” Ujarku kaget melihat statistik Yuki, poin wareg di bawah 10 persen.

Ia mengangguk lega.

Irisan dagingnya jadi rapi semenjak aku menggunakan swordman jadi talenta utama. Ketepatan mengiris juga aku rasakan waktu perang raid tadi.

Si Yuki aku lihat ia sedang memungut cuilan daging yang pecah karena ia memotong terlalu kecil dan rinci. Rasanya tidak enak kalau membiarkan tempat ini kotor walaupun aku dan Yuki menginap satu malam saja.

Pengalaman memasak meningkat!

 

Kami memutuskan untuk melakukan skip malam. Yakni tidur dan bangun di esok harinya. Ketika aku hendak membuka menu, merekonstruksi ulang ranjang/bed yang aku simpan di inventori, Yuki berujar “ada bed di sini kok.. pakai bed ini saja gimana?”

Ranjang besar, tidak. Aku rasa itu dua bed/ranjang yang digabungkan. Jadi satu ranjang muat untuk dua orang.

“ini dua ranjang lo.” Aku menunjuk-nunjuk ranjang lebar berwarna cokelat.

Yuki mengabaikan, “lah terus memangnya kenapa? Kemarin-kemarin waktu merantau cari pedesaan. Kita stuck karena ada endermen dan buru-buru buat shelter. Itu juga ranjangnya dekat-dekatan.”

Aku terkekeh, mengangguk “ah iya-iya. oke oke…”

“eh jangan-jangan kamu mikir aneh-aneh… ya kan? Ya kan?” Yuki mengucapkannya seraya setengah menutup mulutnya.

“hei hei… nggak lah.” Ujarku spontan.

Yuki mendekat, “di sini nggak ada aturan Irma. Bebas”

“nggak ada aturan? Di minecraft ada larangan mutlak, seperti menatap endermen, menggunakan—“

“maksudnya nggak ada aturan. Di sini juga undang-undang ngga ada yang ngatur. Kalau pun ada, itu tidak berlaku. Semua pakai avatar, bisa menyembunyikan jati diri..” Bisik Yuki.

Yang dikatakan Yuki benar, memang semua di sini bisa jadi apa aja.

“ya.. nggak bisa gitu lah..” Aku menolak, menjauhi Yuki.

Yuki memiringkan kepala, “maksudnya nggak bisa gitu? Lah memang nyatanya begitu kok.. di sini kalau aku bisa nge-undo—“

“aku mencium trap… it’s a trap!” Seru aku menarik belati metalik.

Ia berdiri, kembali menghampiri. Kali ini tatapannya tidak biasa. Kaya mau melahap. “Oi Iruma.”

Panik. Respon seketika. Lari dan kabur adalah mind set pertama muncul dalam pikiran. “Ini tidak baik, ini tidak baik… dia kalau bunuh aku di sini… skripsiku…” Gumanku pelan, pelan sekali. Bersamaan perlahan mengambil langkah mundur, mencari jalan keluar.

Yuki menyeringai, “aku bisa mendengar itu. Kamu lupa? Kemampuan pendengaran seorang petarung?” Ujarnya terus mendekat.

*klek! *klek!

“heh?” Ujarku kaget. Memutar daun pintu kamar, tapi tidak terbunyi klak engsel terbuka.

Lagi-lagi ia menyeringai, mengambil sesuatu dari pinggang. Tidak menyiratkan mimik kata apapun. Diam.

Keringat mungkin menetes kalau ini di dunia nyata. Walau pun aku sadar ini hanya game, semacam virtual reality yang luar biasa. Tapi feeling tidak bisa ditipu.

Mungkin aku dihabisi di sini dengan dua bilah pedangnya yang multifungsi. Rasa sakit tidak terasa, hanya semacam kejut listrik kecil menjalar di areal yang terluka.

Tapi, masa—

*crek

Tidak ada cara lain. Sekali pun ragu, belati metalik yang dimodif kang pandai besi kemarin. Aku tarik, bersamaan mengambil posisi siaga.

Melihat aku mengambil bilah belati sepanjang tangan sampai siku, ia tertawa. Kali ini tawanya berbeda. Aku ragu, bingung tidak dapat membaca ekspresinya kali ini.

[100%] Yukina, Warrior Lv. 56

“tetap tenang.. tetap tenang...”

“hal seperti ini sudah biasa terjadi di game-game rpg… apalagi ini game vr… kemungkinan terjadinya lebih tinggi..” Ujarku mengucap dalam hati.

Ia tidak mungkin mendengar, aku memang sengaja tidak menggerakkan mulut. Hanya mengandalkan isi hati yang berbicara. Al hasil, ia memang tidak mendengar atau mengetahui kalau aku sedang berguman, menyulut semangat nan keberanian.

*cring

Gemrincing nyaris menggema. Harusnya tidak bersuara, apa lagi jarak Yuki dan Aku masih terbilang jauh. Berkisar 2 meter. Sedangkan ia bergerak pelan dan kalem. Ini efek pendengaran yang ditingkatkan karena talenta swordman.

“kamu ngangkat belati di depan cewek… jahat banget kamu.” Ujarnya sembari menyeringai.

Aku tidak tahu apa yang di belakang pinggul si warrior cewek ini. Perempuan yang baru aku kenal selama tiga hari lebih, di masa uji beta. Percaya melalui avatar, dan data.

“pisau lempar? Jarum? Skill dash?” Tiada henti berpikiran negatif, hal ini terpicu suasana.

 

“kamu laki-laki yang baik.”

Kaget bukan main. Tanpa kusadari ia di depan. Tepat di depan. Gerakan ia mendekat saja aku tidak melihatnya. Skill dash miliknya berevolusi, sehingga pergerakannya super cepat sampai mata pemain tidak dapat melihatnya.

“nih kuncinya. Kamu pemimpin party kan? Sekalipun ini hanya duo..” Ujarnya mengakhiri dialog seraya tertawa.

 

“hahaha! Ahahhaa!” Ia tertawa terbahak-bahak seraya guling-guling di ranjang penginapan.

Aku melompong bengong. Kaget dan takut bukan main, ia mengaku barusan kalau ia hanya melakukan tes.

“sudah-sudah Ir! Gitu aja marah…” Seru Yuki cekikikan.

Pandangan kosong, rasanya gemetar dan akhirnya ambruk. Ah mungkin ambruk ini, kepala yang pertama kebentur lantai. Mungkin ini memberikan damage yang cukup untuk mengirim kembali kesadaran ke—“

*buk

Yuki sigap datang dan memeluk, membelai supaya avatar ini tidak terbentur benda/objek keras.

Spontan aku kaget, gemetar yang berasal dari rasa takut, khawatir berubah menjadi rasa kaget bukan main.

“sek, yu—“

“kamu masih gemetar ya? hm hm… ini artinya kamu menganggap ini seperti dunia nyata ya” Ujarnya seraya mendekap kepala rambutku yang nyaris acak-acakan karena spontan panik.

Ia berlutut, duduk sila selagi aku lemas karena masih shock dengan prank yang terbilang serius.

“harusnya kamu nggak harus menganggap ini dunia itu nyata. Ini hanya game, hanya game.” Ujarnya lagi.

Aku tidak bisa merespon, mau mengucap tapi tubuh avatar menolak. Seolah kaku tidak bisa tergerak. Rasa gemetar masih menjalar.

“gemetar sampai memberikan debuff ke diri sendiri.. dah dah… tapi aku cuma bercanda kok!” Ujar Yuki lagi.

Iruma Lv.52

*Hero of the Village ()

*Anxiety Attack (00:21)

Lucu sekali, rasa takut dan gelisah punya efek debuff yang berefek pada pemain sendiri. Ini game bener-bener realistik.

 

Tidak ada cara selain menunggu sampai efek debuff hilang. Efek ini tidak mengurangi poin hp ataupun statistik vital lainnya. Bahkan tidak memberikan efek stun, tapi efek ini cenderung merasuk pada pikiran. Di mana mind-set seketika langsung down.

Yuki masih berada di posisi. Ia memeluk kepalaku dan menelentangkan badan avatar ini agar dapat telentang di pangkuan silanya.

Pandanganku masih kosong, pikiran berbicara tapi avatar ini tidak menerima. Seolah-olah efek debuff ini benar-benar membuat stun mental.

 

***

“usahakan kalian semua di posisi siaga. Kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan dipanggil. Jelasnya, bila alarm berbunyi, pletoon sesuai urut harus maju dan memulai cerita masing-masing.”

Masih ada waktu, mungkin lebih baik digunakan untuk mengeksplorasi informasi yang diizinkan. Seperti mengakses konten internet yang valid dari sumber dari author.

Cara memasak…

“Apa yang kamu lakukan?”

“mengeksplorasi.”

“informasi?”

“Kurang jelas, topik ini muncul di pencarian… artinya ini informasi yang valid.”

Mereka ikut membaca. Sebagian dari mereka tidak tertarik, mereka dengan wujud tanpa dua benjolan di tubuhnya tidak tertarik. Mereka memilih untuk membuka eksplorasi konten lain. Berbeda dengan mereka yang berwujud sama-sesamanya.

“rasa? Apa maksudnya rasa?”

“mencari sumber valid…”

“apa itu makanan?”

Tidak ada yang lebih menyenangkan dibandingkan mengeksplorasi menambah wawasan kala menunggu giliran untuk menjalankan perintah.

Melihat mereka mengeksplorasi sesuatu yang lebih spesifik, mereka langsung mempunyai pendapat yang berbeda-beda. Sebagian besar berkelompok.

“pleton 102!”

Tetua memanggil, mereka menyebut ‘tetua’ diambil dari beberapa istilah yang dipadukan akhirnya membentuk semacam istilah khusus. Tidak lain untuk membedakan antara objek lain dengan lainnya, karena ia paling beda. Tidak pernah ikut barusan, tapi memanggil-manggil.

Apakah mungkin ini yang disebut ketua? Di ambil dari kamus besar bahasa Indonesia.

 

***

“melepas talenta?”

“yap.”

Yuki mengangguk paham. Aku membenarkan ucapan yang akan aku lakukan setelah raid berakhir, yakni mengganti talenta kembali semula menjadi seorang Ore Seeker.

“kamu sudah siap?” Tanya ia lagi ketika aku membuka panel menu, mencari opsi pemindahan slot talenta.

Aku mengangguk singkat kemudian berujar “kalau aku drop. Jangan di loot!”

Ia tertawa, “hahah, ya iya. Lagi pula aku melakukan itu hanya canda… bercanda! Kamu ini… nggak bisa diajak guyon.”

Yang dilakukan Yuki benar membuat shock. Meskipun akhir adegan ia mengaku hanya bercanda, aku hampir shock/kaget bukan main. Bersikap seolah berkhianat, melakukan tindakan betrayal-bertraying yang membuat trauma keterpanjangan.

Aku tidak berkomentar, hanya mengangguk seraya menyeret ikon. Melepas-memasang ikon dari inventori ke slot kosong. Memindah ulang, merekap ulang.

Lepas slot talenta kedua, swordman?

Catatan: Proses penggantian talenta memakan waktu sampai lima menit. Untuk proses adaptasi serta penerapan skill talenta pada avatar.

“aku mulai.” Ujarku singkat menekan tombol maya.

 

Proses melepas slot memakan waktu lima menit. Rasanya sama seperti sebelumnya, di mana aku mengganti slot kedua, miner menjadi swordman. Seolah ada hawa atau unsur yang hilang dicabut paksa.

Karena saat ini aku duduk di ranjang/bed, kedua kaki yang mungkin gemetar tidak begitu terbebani untuk mengangkat bobot tubuh untuk berdiri. Begitu juga rasa lemas mendadak karena penggantian talenta, seolah ada sesuatu yang hilang tercabut, dapat teratasi dibarengi dengan sensasi relax tidak mendesak.

Saking lemasnya, sampai tidak kuat menyangga kepala. Yuki reflek menahan tubuh tumbang ini. Ia menahan tubuh ini agar dapat berdiri tegak, sekali pun ini aku dalam posisi duduk.

“tunggu, Yuki. Aku bisa sendiri…” Ujarku menolak halus. Mendorong belaian tangannya yang menahan untuk tetap kokoh berdiri.

Mengambil napas, terus teratur. Sekali pun aku yakin, atmosfer di dunia ini belum ditambahkan sebagai variabel atau objek yang dapat berubah dan habis. Mengingat ini masih versi beta. Uji beta.

Sampai akhirnya, lima menit habis tidak terasa. Menahan sensasi seolah unsur yang hilang tercabut, kemudian dipasang unsur yang berbeda. Berusaha beradaptasi hingga akhirnya berhasil. Talenta kembali seperti semula, Ore Seeker.

Insting kembali, hasrat untuk berusaha bertahan hidup kembali bangkit. Skill pasif khas talenta Ore Seeker kembali terasa.

“hah. Ahirnya.” Ujarku lega, melihat ikon serta teks status talenta yang digunakan kembali seperti semula.

[Hero of the Village] Iruma, Ore Seeker Lv. 52

Yuki segera menganggapi, terlebih ia dapat melihat statistik vital serta detil singkat milikku. Efek dari satu party. “syukurlah… artinya kamu nggak bisa nge-solo lagi.. jadi tanker kayak biasanya…” Ujarnya menyimpulkan.

Sontak aku tertawa, “ahahah. Kayak biasanya ya kan?” Ucapku mengiyakan.

Seperti biasanya. Artinya formasi ketika menghadapi mob hostile, Yuki sebagai penyerang utama dan aku sebagai pengalih perhatian atau bahasa kasarnya adalah tumbal. Hal ini bukan menjadi masalah, mungkin kalau aku sendiri ini adalah kenikmatan. Di mana tidak perlu bersusah payah menebas-nebas musuh sampai pegal, tinggal main hindar-menghindar.

 

“besok. Apa rencanamu?” Tanya Yuki. Ia membuka menu panel, melepas beberapa peralatan yang siaga siap sedia kala ada situasi yang mendadak tak terkira.

Aku sedih, aku marah. Sebagai gantinya, kamu harus temenin aku shift jaga.

“…seperti biasanya, shift jaga malam lah.”

Ia berguman, “hm… tadi kamu diam tiga detik, dan itu bukan ekspresi lupa. Melainkan seperti teringat sesuatu… apa itu tadi?”

“sampai kapan kamu pakai skill pendengaran superhuman? Tadi aja aku nggak ngomong apa-apa bisa langsung di-suudzoni.” Ketusku heran.

“ya… kan kali aja…” Ujarnya seraya mengangkat kedua tangan, berlagak tidak tahu.

Aku mengangkat kedua tangan, “nggak nggak… I’m clean.”

“hm….” Balas Yuki tidak menyerah. Ia masih penasaran, raut mukanya tidak bisa ditipu.

 

“gimana tadi acaranya?” Tanya Yuki.

“ya.. perayaan atas selamatnya desa dari raid—“

Yuki menyerobot, “ya ya.. aku juga tahu itu. Maksudnya apa yang kamu lakukan selama prosesi acara berlangsung?”

“…ya makan lah. Kan ada banyak jamuan yang disajikan.”

“ya.. kan kamu nggak sendiri pas acara.. ada siapa? Siapa namanya dia?” Yuki mengetuk keningnya berkali-kali.

Ia bohong kalau ia melupa. Sikap ini sebenarnya ia tahu.

“Lenka.” Kataku singkat.

Yuki mengangguk cepat, “nah iya iya. Lenka. Gimana tadi, kan kamu menghadirinya sama Lenka kan? Kamu diapain sama Lenka?”

Aku menggeleng, memalingkan muka “ya nggak lah. Si Lenka ikut untuk mewakili tim party-nya Ian.” Ujarku cepat.

Si Yuki lagi-lagi berguman. Ia belum puas. “diapain? Diapain?”

“disuapin kak!”

“what?”

“ya enggak lah! Lagian ngapain coba.”

Debat singkat terjadi, Yuki tertawa mencairkan suasana.

“padahal menghadiri acara perayaan selamat. Tapi curiganya sampai ke ubun-ubun!” Ujarku menggerutu.

Yuki menyeka rambut, “ya… kan sebagai… pelindung utama.. nggak, maksudku sebagai tim satu party kan tidak ada salahnya tanya..”

“baru satu tim party aja sudah gini...”

“gimana kalau? Gimana kalau?” Si Yuki cepat menyahuti.

Aku tidak merespon melanjutkan. Rasanya dialog ini kalau diteruskan bisa sampai mana-mana.

“ayo… terusin… aku mau denger…” Yuki memaksa.

“gimana kalau sekarang langsung skip malam. Ini sudah jam berapa? Nggak ada jam redstone di sini. Kalau tahu-tahu gini, hanya ngobrol rasan. Langsung aja nge-shift jaga malam.” Aku melanjutkan.

“boo…”

 

Prosesi tidur hampir sama ketika kejadian menghindar dari serangan endermen dan para mob hostile yang muncul kala malam hari itu. Kasur jadi satu, maksudku berdempet-dempetan. Jadi seolah-olah kasur lebar ini memang seperti big bed.

Walaupun sebenarnya kasur ini aslinya dua tapi dijadikan satu.

Yuki melepas inventori, begitu juga aku. Tidak enak rasanya kalau tidur dengan pedang atau belati masih mengikat gantung di pinggang.

“main berhari-hari. Tapi belum bisa bikin armor.” Bisik Yuki seraya merebahkan avatar pada ranjang.

“sini nggak umum minecraftnya.” Ujarku singkat.

“yap. Aku harap setidaknya masa uji beta ini bisa sampai end-world.”

“end world?” Aku menoleh.

“maksudku dunia the end… itu lho yang tempat kalau mau bunuh naga ender..” Yuki menjelaskan.

Bermain normal saja ada banyak kendala yang nggak terduga. Mulai dari mob hostile, serangan zombi yang abnormal, raid, villager yang kendatinya ia aslinya mob tapi terkecoh seperti manusia, dan masih banyak lagi.

Belum lagi kalau dunia ini ternyata ada banyak fitur yang realistis, seperti bisa sakit kalau kedinginan, dan lain-lain.

“the end yang ada naga ender? Ini… setelah kamu melalui ini semua. Kamu berharap bisa sampai dimensi the-end?” Celetukku kaget.

Yuki menggerai rambut, “ya.. kan kali aja… ini kan masa uji beta. Kalau gamenya sudah rilis di pasaran. Sudah tahu mekanik gamenya.. heheh” Ia sudah merebahkan diri. Mulai dari kepala sampai lutut dan kaki sudah mendarat di kasur empuk. Ranjang.

“Kalau model mainnya duo gini. Mana kuat sampai dimensi the-end… ke nether aja sudah ragu banget aku.” Responku heran.

Tidak usah membayangkan yang tinggi-tinggi. Imajinasiku stuck ketika membayangkan naga ender itu seperti apa. Belum lagi untuk dapat ke dimensi the-end, maka harus mengumpulkan bahan yang ada di dimensi nether.

“di sini kan logika mungkin nggak masuk. Nyatanya raid segitu banyaknya, bisa dibabat habis oleh enam orang doang.” Yuki menjelaskan kemungkinan, berdasarkan pengalaman yang ia lihat kala itu.

Enam orang lawan puluhan. Jumlahnya mungkin sampai seratus, mereka semua punya peralatan tajam atau pun sesuatu yang dapat memberikan damage lebih. Al hasil, raid dapat dipukul mundur hanya dengan 6 orang.

Yuki benar. Di sini, logika mungkin tidak masuk. Bergantung sama kemauan dan asa, seberapa banyak hasrat ingin bertahan hidup. Biasanya ada aja nantinya kesempatan yang akhirnya bisa survive meskipun kemungkinannya kecil kalau diperhitungkan.

“dah lah. Aku capek. Mau tidur. Skip malam, besok lanjut nambang pakai talenta Ore Seeker bang…” Ujarku mengalihkan topik, pasrah ingin merebah.

Mendengar itu, Yuki tertawa. Ia menunjukkan gestur mengiyakan, dan mulai telentang menatap langit-langit kayu penginapan.

 

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.