MINECRAFTER VOL. 4 - Bab 14: Hero of the Village
Bab 14: Hero of the Village
“Objek berhasil dimunculkan! Proses penyaluran
data program…”
“main frame terbuka. Proses memasukkan
perintah..”
“Sekarang tinggal menambahkan nama..”
“nama apa yang bagus untuk yang satu ini…”
“… If, yang satu ini siapa namanya?”
“biasanya kakak pakai nama generator kok…”
“Hm.. Aku keseringen pakai nama generator,
mungkin ini.. tak bikin…”
Suara tekanan tuts keyboard terdengar, jelas.
Mengetik sesuatu.
“hum.. ini bagus kayaknya…” tap!
“sekarang namamu— ok! Lebih baik.. nggak ada
yang tidak menyenangkan dibandingkan memberi nama seluruh variabel di sini..”
“gimana kak? Sudah? Kalau sudah aku yang ambil
alih. Mau aku masukkan perintahnya..”
Tidak ada wujud, hanya aku lihat ada sesosok
yang berbicara, terlihat linglung, beberapa mencoba berinteraksi tetapi tidak
dapat melihat awaknya sendiri.
Berada di tempat mengambang tanpa dasar,
gravitasi tidak berlaku. Bahkan ini tidak bisa disebut sebagai tempat, mungkin
semacam aliran logika yang berlalu-lalang bersiap untuk berangkat. Menunggu
perintah atau objektif tujuan.
“ok. Dari sini aku ambil alih.. aku perkenalkan
kalian.. sebagai variabel objek. Kalian akan ditugaskan sebagai Pillager. Untuk
lebih detilnya aku sudah mempersiapkan beberapa sumber informasi. Mungkin
kalian harus membaca dan mempelajarinya.”
Suara tanpa wujud, ia berbicara kepada kami
semua. Meski tidak dapat melihat mereka, tapi rasanya seperti berada di
keramaian. Di mana seolah-olah sebelum memulai perang, pemimpin pleton barisan
maju menyampaikan apel/briefing sebelum menyerang atau menjalankan amanat.
“watak kalian—, seperti halnya yang sudah aku
berikan informasi kepada kalian semua.”
“setelah semuanya mendapatkan informasi utama,
selebihnya aku memberikan akses kalian untuk melakukan pencarian di laman
internet yang sudah kami filter.. gunakan informasi tersebut, hal ini akan
membantu kalian dalam memahami objektif kalian sebagai Pillager.”
*prang! *trang!
Pillager. Jenis mob hostile.
“hostile? Apa itu hostile?”
Interface hanya memberikan bekal kamus besar
bahasa Indonesia. Meskipun beberapa kata termasuk serapan, tetapi untuk hostile
ini tidak ada dalam daftar kamus.
Mob Hostile, adalah tipikal mob yang
agresif/menyerang.
“kalau agresif, maka sambungan sifatnya
adalah…”
Hanya informasi utama, yakni kami sebagai
Pillager. Wujud bahkan belum terlihat, tapi ada perasaan kalau saat briefing
berada di tengah keramaian yang sama-sama setipe.
Menelusuri, Pillager…
Menelusuri, Kapak…
Menelusuri, Hostile…
Kesimpulannya adalah, Pillager sesosok mob
dalam minecraft. Sebuah game bergenre sand box, open-world, role-playing game?
Mob berjenis hostile, artinya agresif. Tidak
ada pemicu, tetap menyerang karena dari awal memang bersifat agresif.
Senjata utama, kapak mini. Mini axe.
Objektif tujuan adalah sebagai senjata utama untuk menyerang.
Menyerang apa? Apapun. Mengingat ini adalah mob
hostile. Tetapi menyerang pun ada batasannya, di mana kawan sendiri tidak boleh
diserang.
Objektif dipahami, memulai penerapan dalam main
frame…
***
“Yuki! Boost dash aku!”
“osh! Siap!”
Yuki menendang kaki, melaju cepat. Dash ia
keluarkan, begitu pula bersamaan denganku. Al hasil, Yuki memberikan kecepatan
dash padaku dengan mendorong tubuh avatar ini selagi aku mempersiapkan dash.
*wush
“sip. Tepat waktu,” Ujarku setelah melesat
seolah mengambang sepanjang 8 meter.
Dari dekat, manusia kelelawar kecil ini
menyeringai tawanya seraya melebarkan pedang mungil tapi berdamage anjing.
*trang *trang *tang!
“anjer, dexterity sama refleknya cepet banget.”
Ujarku setelah menyadari aku berhasil menangkis serangan tiga vex sekaligus.
“kaaak.. kaaaaak… aaakk!”
“pantes saja Yuki hanya memfokuskan bakatnya ke
pedang doang. Kalau kondisi gini, antara farming dan juga beraksi heroik pasti
terjadi.”
Tiga vex ini kembali maju setelah menyerang
bersamaan dan berhasil aku tangkis tadi. Catatan, tiap satu vex memberikan
serangan total 4 hit. Jadi 4 x 3 berarti 12 hit berhasil aku tepis.
“satu kanan, satu kiri. Satu.. tengah,
samping…”
*trang! *klang! *tang!
Pengalaman bertarung meningkat!
“harusnya memang begitu. Nepis 6 hit gimana
ndak farming ini..”
Aku menoleh belakang, teringat sesuatu,
“tunggu. Apa yang kalian lakukan? Belakangku ini pillager, satu tim raid
kalian. Kenapa malah kalian serang?”
Beberapa vex bersikap tidak peduli, namun ada
salah satu yang malah tertawa.
“aku harap aku punya kemampuan telepati antar
mob.” Ujarku seraya menggenggam dagger dan bersiap menyerang.
*crek
Mereka bertiga berbaris. Entah mereka melakukan
tersebut karena formasi mereka menyerang atau kebetulan. Hal ini langsung aku
manfaatkan untuk melakukan skill Cutting Edge/Tepi memotong.
*srak *slash!
Momentum terjadi, waktu seolah rasanya berhenti
sekilas. Aku mengiris mereka bertiga yang kebetulan berbaris horizontal.
Ditambah lagi muncul notifkasi akan skill Cutting Edge dapat dilakukan.
Langsung saja.
18 hit dibayar lunas dengan 1 hit. Fatality.
Aku melirik, ia masih terbaring kaku. Tangan
terikat, bergitu juga kaki. Aku tidak bisa melihat wajahnya, tertutup poni dan
gerai rambutnya sendiri.
Raid (0.8%)
“tinggal sedikit! Archer keluarkan ulti
kaliaan!!” Yuki berseru.
Dari kejauhan mereka berujar “Assault
Arrow/Panah serbu!” mengucapkan mantra bebarengan. Menembakkan rentetan
panah ke langit.
“ini. Ulti mereka pasti kayak manggil sesuatu
di langit..” Ujarku melirik mereka.
*syat *syat *syat
Dari langit. Seolah meteor jatuh. Rentetan
panah muncul dari atas, layaknya hujan. Meskipun tidak seberapa, tapi bagaimana
cara mereka melepas tembakan panah sebanyak itu? Apalagi pakai bow.
Puluhan panah dalam perjalanan menghujam
sekumpulan kecil pillager yang tersisa. Yuki menghampiriku, ia tertawa “ulti
dipakai buat ngebabat satu kelompok kecil..”
“iya ya. kenapa nggak dipakai dari tadi lo. Pas
ada evoker..” Jawabku.
“tadi Reina bilang. Kalau mereka memakai
ultinya, cooldownnya lama banget. Bahkan sampai raid selesai mungkin belum
selesai cooldownnya.”
“oalah..”
*splat *splat *splat! *trak *tak *tak
“melihat momentum ini aku jadi keingat salah
satu sejarah yang pernah aku baca.”
Yuki menoleh, “hm? Sejarah yang mana?”
Raid (0.1%)
Melihat persentase raid tinggal 0.1 persen.
“apa ini sisanya pillager yang di belakang ini?”
Raid (0.0%)
Begitu persentasi raid habis. Mencapai titik
nol, suara gemuruh gembira terdengar. Walau saat ini kami berada di pinggir
desa, tetapi suara riuh gembira terdengar meriah.
“Irma. Waktunya pesta kembang api!” Ujar Yuki
menyenggol bahuku.
Reina, Fardan menoleh belakang. Melihat
penduduk desa, para villager pada keluar dari tempat persembunyiannya. Mereka
mulai berpelukan antara satu sama lain. Pertanda gembira, selamat dari
marabahaya.
Beberapa ada yang menyulut kembang api,
memberikan warna pada langit yang kala ini masih cerah siang hari.
“berasa seperti hero beneran..” Ujar Reina.
Fardan merespon, “ini nanti efek buff Hero
of The Village-nya gimana ya nantinya?”
Dari kejauhan, dua archer/pemanah Ian dan Lenka
melambai. Mereka memberi tanda isyarat untuk kembali ke desa.
“pahlawan tiba! Pahlawan tiba! Beri jalan!”
“berikan tepuk meriah untuk pahlawan! Pahlawan
desa, penyelamat musibah raid!”
Aku meringis, sedikit terkekeh “ini sebenarnya
nggak bakal terjadi kalau ndak ada yang bunuh pillager..” Gumanku.
“hm…? Ada apa Irma?” Yuki menoleh. Seperti
biasanya, ia mempunyai pendengaran superhuman.
“nanti aku kasih tahu..”
“oalah. Ok ok..”
“kalau ingat..”
Yuki menoleh, langsung memukul bahu.
Para villager, semuanya langsung memeluk kami.
Nyaris tidak terkecuali. Menyalami, memberikan pelukan. Bentuk rasa terima
kasih. Beberapa bahkan ada yang menawarkan untuk makan dan tidur di tempat
mereka secara gratis.
“bocah!”
“Suara itu..” Aku menoleh. Seorang memanggil di
tengah keramaian seperti ini. Aku mendengarnya jelas. Ini mungkin juga efek
dari talenta swordman. Di mana aku dapat fokus dan pendengaran yang
ditingkatkan.
“kang blacksmith!” Seru aku.
Ia tertawa, “hahaha. Bagus bocah. Kamu, dan
tim-mu menyelamatkan hidup kami..” Ujarnya seraya menggenggam lenganku dengan
tangan besar kekarnya.
“ah. Aku bukan pemimpin tim. Party-ku hanya aku
dan Yukina yang pakai dua pedang itu..”
Kang blacksmith tertawa, “hah yang penting, kalian
sudah menyelamatkan kami. Sebagai ucapan terima kasih, kamu boleh mampir ke
tempatku untuk konsultasi atau apapun yang berhubungan dengan persenjataan.
Kamu tahu, aku blacksmith bukan? hehe.” Ujarnya seraya meninggalkan keramaian.
Heh aku saja? Tapi bagaimana dengan—
“Kak! Kak!”
Di tengah-tengah keramaian, ada villager
anak-anak datang. Aku merunduk, menekuk kaki. Berlutut. “ya?”
“kakak yang menyelamatkan kami kan?” Ujar
mereka salah satu.
Aku meringis, “hehe. Enggak saya doang. Ada
temen-temen lainnya juga kok..”
Villager anak-anak ini menoleh, melirik satu
sama lain.
“ada banyak yang menyelamatkan raid ini.. kamu
bawa bunga berapa?”
“nggak tahu. Aku cuma bawa dua aja.”
“ya udah kasih ke kakak ini sama kakak yang
kemarin atraksi pizza..”
Berkat bakat swordman, aku dapat
mendengar apa yang mereka bisik diskusikan. Tapi aku bersikap diam, pura-pura
tidak tahu.
Setelah selesai diskusi, salah satu villager
anak-anak ini menyerahkan sesuatu, di mana aku sudah tahu apa yang hendak
dikasihnya.
“ini buat kakak! Terima kasih kakak!” Ujar
mereka bersamaan.
Aku mengangguk seraya mengambil tangkai bunga
berwarna merah hati. “hm. Terima kasih ya!”
Sontak mereka mengangguk senang, kemudian
berlari layaknya anak kecil. Menghampiri Yuki yang berjarak kurang lebih dua
meter di sampingku. Sesuai yang mereka diskusikan, mereka hendak memberikan
bunga satunya lagi untuk Yuki.
“Aku main minecraft. Tapi aku bisanya menjarah
villager, berhasil bertahan dari raid. Bukan untuk mendapatkan respek seperti
ini, tapi untuk dapat diskon ketika transaksi nantinya.. aku tidak terbayang
kalau menjadi hero benar-benar rasanya seperti ini.” Gumanku pelan. Melihat
mereka, para villager yang masih sibuk menyambut tim Ian.
“Irma lihat! Aku dapat Bunga!” Ujarnya seraya
menunjukkan tangkai bunga warna merah hati.
“yap Aku juga… anak-anak villager yang
memberikan..” Seraya menyunjukkan tangkai bunga merah hati.
Si Yuki melirik, melihat pandangan matanya ia
seolah membaca sesuatu yang hanya ia sendiri yang melihat, dalam perspektifnya.
“belum kamu ganti, talenta kamu?” Tanya Yuki.
“hm… mungkin nanti sore. Atau besok, lusa..”
“hm…. Jangan-jangan kamu sudah enjoy sama
pedang ya?” Yuki terkekeh.
“ya.. untuk saat ini jaga-jaga, kalau ada raid
susulan. Siapa tahu mereka nge-retreat, nge-ambush waktu orang-orang lagi
terlelap tidur.”
Berbicara raid, tiba-tiba aku & Yuki saling
pandang. Saling menatap, tetapi bukan menunjukkan ekspresi romantis atau
semacamnya. Melainkan,
“tunggu… raid katamu? Pillager, pillager cewek
yang tadi kamu minta aku iket dia.. di mana ia sekarang?”
Yuki terkejut, “hah? Loh? Aku kira sudah kamu
urus, kamu jual..”
“lah! Mana aku tahu!” Aku berpaling, melesat
pergi. Yuki mengikuti.
Melihat aku
dan Yuki pergi meninggalkan keramaian yang masih berlangsung. Ian menyeru,
“Iruma, mau kemana?”
Aku
menoleh, “keluar sebentar.. nanti balik lagi!”
Pemanah
laki-laki ini mengangguk sekilas, kemudian kembali sibuk dirubung oleh para
villager. Ia nampaknya seolah diwawancarai.
“kalau dia
mati, pokoknya salah Irma!” Seru Yuki seraya berlari menuju tempat pertarungan
raid berlangsung.
Aku
menoleh, sembari berlari pula “lo what?”
“kan tadi
kamu yang minta nge-boost dash untuk bisa nepis serangan vex yang mau
nyerang dia.”
“hm. Semoga
saja ia masih hidup. Belum satu jam ditinggal, lagian kalau pagi hari nggak ada
mob hostile kalau bukan witch, evoker, creeper.”
Sesampainya
di medan peperangan raid tadi. “ia dimana? Dimana ia?” Tanya Yuki antusias.
“coba pakai
ability fokus. Tingkat fokusku nggak begitu peka kalau nyari satu objek,
apalagi ini agak luas tempat e.”
Yuki
mengangguk sekilas, ia memejamkan mata lalu melirik menyapu seluruh pandangan
180 derajat. Kemudian menyeru, “nah situ! Situ!”
Kondisi,
terikat. Namun seluruh tubuhnya lusuh nyaris tertutup debu dan tanah.
“belum satu
jam kok sudah kotor gitu ya?” Tanya Yuki.
“dah dah.
Untung ia nggak mati.” Ujarku menekuk lutut, mengecek kondisi pillager wanita
yang ditawan Yuki tadi.
Rambut
poninya terurai acak, nyaris menutupi wajah. Aku hendak menyeka poninya, Yuki
menyeruak “sebentar, biar aku saja!”
Mata
setengah tertutup. Mulut sedikit terbuka. Melihat kondisinya, ia kemungkinan
besar sekarat, kondisi hp-nya mungkin berada di zona kuning atau merah.
“gimana ini
Irma?” Yuki khawatir
Aku
menatapinya lebih dekat, “… dia mungkin sekarat…”
Yuki menoleh
cepat, “lah terus gimana dong?”
“aku ndak
bisa merasakan hawa-hawa kehidupannya. Insting survival-ku ndak jalan..
sebentar..” Ujarku seraya membuka menu, menekan beberapa tombol. Memunculkan
sesuatu.
Menunjukkan
sepotong daging, “minecraft biasanya tetap bisa memberikan sesuatu ke mob. Tapi
kalau ngasih makan, apalagi ini mob hostile… aku ragu..” Ujarku seraya
mendekatkan potong daging ayam telah masak.
“Yuki. Coba
kamu buka mulutnya.”
“oke oke..
sebentar…”
*nom
Dia
langsung merespon. Membuka mulut perlahan sesuai irama dari Yuki, mulai
menggigit potongan daging ayam.
Yuki
merespon senang, “dia makan! Irma lihat Ia makan!”
Aku menarik
senyum tawa lega.
Beberapa
saat setelah daging potong ini berhasil masuk ke mulut wanita pillager ini,
seketika Yuki menarik paksa dia untuk berdiri seraya berujar “ok.. waktunya
pulang!”
Sontak
pillager cewek ini terengah kaget, ia tidak mengucapkan kalimat apapun. Hanya
erangan samar.
“anjer,
langsung sadis..” Ujarku kaget.
Yuki
menoleh, “hm? Masa? Apa kamu mau njaga dia disini?”
Aku melongo,
“maksudku nariknya jangan gitu… strenght-mu gede. Ingat itu.”
“oiya! Aku
lupa.. beneran!” Sontak Yuki kaget. Ia nampaknya tersadar menarik paksa tanpa
dosa.
Yuki lantas
melirik wanita pillager yang ditawan, “apa tadi sakit?”
Ia memalingkan
muka dengan merunduk. Membiarkan rambut poni panjangnya tergerai nyaris
menutupi wajah.
Perjalanan
kembali ke desa/village. Yuki memimpin tawanannya dengan mencengkram kedua
tangan yang diikat. Pillager cewek ini tidak berkomentar melawan, ia diam
mengikuti.
“Yuki.”
“hm..? ada
apa Irma?”
“apa tidak
masalah? ini yang kamu bawa itu pillager. Bisa mancing keributan!”
Yuki
melirik tawanannya, “um… aku rasa ndak papa. Lagian ini diikat kedua tangan dan
kakinya kok.”
Sesampainya
di desa. Nampaknya penduduk desa/villager masih merayakan akan kemenangan bebas
dari raid. Beberapa melakukan pesta dengan mengobrol satu sama lain
beramai-ramai.
“bocah!”
Ujar kang Blacksmith memanggil di tengah ia sedang mengobrol dengan villager
sebayanya. Yang aku maksud sebaya adalah villager yang memiliki tubuh kekar,
sama seperti kang Blacksmith ini.
Aku
menyahuti, “kang!”
“Irma. Kamu
duluan aja. Ini, aku yang ngurus..” Bisik Yuki, mendapati aku dipanggil si
pandai besi.
“sebentar
sebentar.. sebenarnya ini cewek mau kamu apain?” Tanyaku heran.
“kamu
pernah lihat orang pro player main minecraft?” Yuki berbisik.
“maksudmu,
pro player yang bisa runner-up finish minecraft—“
“bukan-bukan
itu… pro player minecraft, mereka biasa mengoleksi mob-mob.”
Aku menoleh
kaget, “what? Maksudnya? Untuk apa?”
“ya untuk
farming lah!”
“kau mau
nge-farming mob hostile dengan mengembang biak-nya? Mana mungkin pillager cewek
bisa punya anak tanpa pejantan woi.”
Yuki
menyeringai.
“jangan
bilang. Aku pejantannya, dih dikira aku mob apa..” Ketus aku.
“hm.. aku
malah berpikir lebih tentang itu..” Yuki berguman. Aku melolotinya terus.
“pokoknya..
ini tawanan aku yang ngurus. Kan dari awal emang aku yang nangkep..” Si Yuki
nampaknya berusaha menyudahi obrolan. Ia mendorongku, seolah mengatakan
“sana-sana.. kamu diajak obrol sama si pandai besi lho.”
Kang
Blacksmith menghampiri, Yuki tambah mendorong-dorongku untuk maju. “jangan
jauh-jauh.. aku ndak punya kemampuan tracking!” Ujarku seraya mulai
menemui kang blacksmith.
***
“sebelumnya
kalian sudah membaca perintah?”
“sudah!”
“apa
objektif kalian?”
“sebagai
mob!”
“apa tujuan
keberadaan kalian spawn di sini?”
“sinyal
raid!”
Semua
bergemuruh semangat. Menodongkan senjata masing-masing, ada yang menodongkan
kapak, tongkat, atau mengangkat kedua tangannya.
Tidak ada
pilihan lain, selain ikut menyeru kata yang sama.
“kesempatan
kalian, satu kali. Bila poin hp kalian berada di titik nol. Maka,
selesai sudah.”
“Kalian
tidak dapat re-spawn kembali. Maka dari itu, ini adalah kesempatan
pertama dan terakhir! Make it be!”
Semua
merespon, teriakan gemuruh semangat membara.
Hal ini
tidak pertama kali. Sebelumnya ada kelompok pleton raid. Pemimpin mereka juga
menyeru dengan hal yang sama, di mana mereka akan spawn karena adanya
sinyal raid. Namun, kiranya sudah lama kelompok pleton tersebut tidak kembali.
“mereka
mati?”
“Kamu!”
“…?”
“Ya kamu!
Kenapa kamu tidak ikut menyeru?”
“Main frame
milikku belum sepenuhnya memahami objektif ini—“
Panggilan
Raid. Pleton 34, proses spawn akan dilakukan…
“Waktu
telah tiba! Tunjukkan kemampuan kalian, senjata yang kalian. Pemanggilan
dimulai!”
*sret!
Skill
dash dapat dilakukan!
*bukk!
“Kamu masih
tetap mob hostile berarti…” Ujarnya. Ia menahan tubuh ini yang mendadak berdiri
dan merangsek maju.
“…arr..ggrrrr….”
Tunggu
kenapa aku tidak bisa berbicara? Aku mau bicara, menanyakan siapa dia? kenapa
dia tidak menebaskan pedangnya, sedangkan yang lain ia tebas dengan sadisnya.
Main
objective: as mob hostile.
“sementara,
aku ikat lagi kamu. Tenang-tenang, aku tidak akan membunuhmu. Kamu pasti geram
melihat kawan-kawan kamu aku tebas pakai dua pedang—“
Skill
dash dapat dilakukan!
*brak!
Reflek
langsung mengeluarkan dash lagi. Entah, tubuh ini seolah bergerak
sendiri.
“tenang,
tenang. Aku ndak bakal bunuh kamu… untuk saat ini, aku ingin kamu tenang di
sini. Sampai aku sama Irma cari cara..” Ujarnya menahan serudukan dash.
Begitu
ikatan ini dilepas, muncul hasrat untuk menyeruduk menyerang. Terbilang nekat
memang, karena saat ini tidak ada senjata tajam yang bisa melukai. Menyeruduk
dengan dash sekalipun tidak mempan. Harus dengan senjata tajam.
“Dengar,
kalau kamu ribut. Para villager kemungkinan besar akan panik, sistem akan
mendeteksi adanya raid. Dan nantinya akan muncul pillager beserta
antek-antekmu. Kamu ingin aku membunuh mereka lagi?” Ujarnya mengucapkannya
dekat telinga.
Kalau aku
membuat keributan. Villager panik. Kalau panik, pasti akan memberikan sinyal
akan raid yang akan men-trigger spawn kelompok pleton yang
lainnya. Mereka para raid tidak akan selamat. Kesempatan mereka hidup hanya
sekali, setelah itu poof! Hilang sudah.
“hum… aku
yakin, mob hostile di dunia ini. Bisa dijinakkan. Dijadikan teman.” Ujarnya
melepas ikatan dan kaki.
Begitu
lepas, seperti biasanya. Muncul notifikasi,
Skill
dash dapat dilakukan!
Tubuh
bergerak sendiri, mengikuti perintah dasar objektif sebagai hostile.
*brak
Al hasil,
skill dash tidak dapat terbendung. Meskipun aku berusaha menahannya,
tetapi logika akan aku sebagai mob hostile tidak dapat terkalahkan. Namun,
untungnya aku gagal. Tubuh ini menabrak pintu besi.
Seketika
itu rasa gemetar menggerayang karena menabrak objek keras tanpa memakai armor.
Aku
mengerang seraya mengenggam siku lutut karena menabrak pintu, “sakit…”
***
Perayaan
masih berlangsung. Mereka para villager merencanakan untuk memberi persembahan
semacam makan besar. Aku menolak, karena rasanya kalau dipikir-pikir raid
tidak akan muncul tanpa adanya pemicu.
Jadi, kalau
semisal pemicunya adalah kelompok pemain sendiri rasanya tidak enak makan
makanan persembahan mereka.
“mau roti
kak?”
“ah.. tadi
aku sudah makan banyak kok..” Aku menolak.
Jam mungkin
saat ini menunjukkan pukul satu, siang hari. Panas yang aku sebut berasal dari
matahari ini mulai menyengat. Biasanya di jam seperti ini ada tugas/quest
dari salah satu villager, seperti kemarin Yuki mendapatkan quest untuk berburu
slime dengan Lenka.
Tunggu di
mana Yuki?
“coba lagi
kak! Coba lagi!!”
“artraksinya
bagus banget..”
Riuh
anak-anak villager mengerumun. Nampaknya mereka memuji atraksi salah seorang
pemain yang mereka kagumi.
Rambut
panjang, nyaris sepanjang pinggang. Tiga poni lancip di sela-sela mata dan
hidung. Tawanya yang membuat orang adem. Yukina, pemain uji beta wanita yang
mendedikasikan dirinya untuk menjadi pendekar pedang.
“Irma!” Seru
Yuki melambai ditengah anak-anak setinggi pinggangnya mengerumun.
“sudah kamu
setting ulang bakat talenta mu?” Tanya Yuki.
“belum.
Mungkin nanti malam, sebelum tidur.”
“emang
nanti malam kamu bisa tidur?”
Aku
memaling muka, “aku harap nanti ada yang sift jaga..”
Yuki
tertawa.
“tapi
ngomong-ngomong… di mana Lenka Ian kawannya?”
“mereka
lagi makan bareng di bar salah satu villager..”
Aku
terkejut, “tunggu apa? makan?”
Yuki
mengangguk, “iya. Gimana? Mau ikut join?”
Aku
menggeleng, “aku rasa nggak. Mereka mungkin lagi diskusi tim.. nggak enak..
ganggu.”
“hum hum…”
Yuki menjawab bergumam. Kemudian mengambil posisi duduk di bangku taman pusat
desa di mana aku sudah sedari tadi duduk di sini setelah mengobrol panjang
bersama kang blacksmith.
Melihat si
Yuki tadi datang melambai bersama kerumunan anak-anak villager, rasanya ada
sesuatu yang hilang, “sebentar, di mana si cewek tawanan tadi?” Tanyaku kaget.
“sementara
aku menyekapnya di kamar.” Ujar Yuki santai.
Aku
menoleh, “sebentar, apa? menyekap—“
“bukan.. aku
mengurungnya di kamar.. nggak aku ikat kedua tangan kakinya..” Serobot Yuki.
“maksudmu?
tunggu. Ingat, itu mob hostile. Mau wujudnya secantik apapun, dia tetep saja
mob dan berjenis hostile..”
Yuki
memutar bola mata, menunjukkan ekspresi malas “Iya aku tahu.. siapa juga yang
bilang dia endermen.”
Aku
terkekeh kaku.
“mau
secantik apapun dia tetep saja mob… hm, gimana kalau dia player?” Ujar Yuki
tiba-tiba setelah percakapan diam selama lima detik.
“maksudmu”
Torehku heran.
“ ya..
siapa yang tahu kalau di minecraft ini.. para mob itu sebenarnya pemain juga?
Mungkin ada role untuk jadi mob kali.. hihihi.” Ujar Yuki seraya tertawa.
Aku
meliriknya sekilas, kemudian kembali melihat pemandangan para villager
bercengkrama. “kelihatan.. mob sama tidak itu kelihatan…”
Yuki
berguman, “hm.. gimana kalau aku itu mob?”
“… hm,
percobaan yang bagus.. coba kamu ndak aku kasih jatah makan. Kalau mati, ntar
respawn di gua pas keadaan sekarat nggak?” Ujarku seraya membuka menu
inventori, melihat berapa jumlah item yang tersisa.
Sontak Yuki
merenggut, “eh jangan Ir.. anjir..”
[100%]
Yukina, Warrior Lv. 55
---[100%]
Stamina
---[60%]
Poin Wareg
Melihat
statistik vital Yuki, aku berujar “60% mau makan nggak? Ini daging kayaknya
besok sudah ndak layak makan ini…” sembari melihat beberapa panel inventori,
menunjukkan detil informasi durabilitas tersisa pada daging potong.
Yuki
mengangguk cepat seraya berdiri, “ok! Sekalian mau nunjukkin tempat aku ngurung
cewek tadi… ayo”
Pillager
yang ditawan Yuki, entah apa ia masih bersikap hostile atau tidak. Aku
ragu, melihat sistem minecraft di dunia ini berbeda. Mob yang dapat
berinteraksi nyaris persis seperti manusia, memiliki kepribadian yang
berbeda-beda. Mulai dari kang blacksmith, penjual kue, penjaga toko, sampai
anak-anak pun memiliki tipikal pribadi yang berbeda.
Jangankan
pribadi, tone suara saja sudah beda. Pembuat teknologi ini pasti mengalami
banyak siksaan untuk membuat dan menemukan teknologi ini yang begitu detil.
“Yukina.”
“ah kamu..
ini kuncinya..” Ujar penjaga.
Aku melirik
tempat yang ditunjukkan Yuki, tempat ia mengurung wanita tawanannya. “Sebentar,
ini… ini hotel?”
Yuki
mengangguk cepat “iyap..”
“lah
terus.. terus.. biaya—“
“sudah
ditanggung gratis sama yang punya hotel…” Potong Yuki.
[Hero of
the Village] Yukina, Warrior Lv. 55
[Hero of
the Village] Iruma, Swordman Lv. 52
“ah iya..
aku lupa.” Ujarku setelah melihat baris teks identitas diri singkat beserta
anggota party.
Lantai
tiga, Yuki memilih kamar. Membuka kunci pelan-pelan.
“tunggu.
Masa gratis? Biasanya di minecraft itu hanya diskon—“
Yuki sontak
membungkam, “..sst, kamu putar kuncinya… aku mau ambil posisi..” Ujarnya
menempelkan jari telunjuknya membungkam mulut.
Kali ini
aku tidak berkomentar, ikut menganut saja. Menggantikan Yuki memegang kunci,
bersiap membuka pintu. Sedangkan Yuki mundur satu langkah, ia mencengkram dua
gagang pedang yang tergantung di dua sisi pinggang.
“buka!
Buka!”
*klek
*ceklek!
Terbuka
seketika, sosok datang berusaha untuk keluar pintu. Si Yuki ini sudah siaga
dari tadi, ia sontak langsung menghadang.
*buk
Aku
meringis melihatnya, “sakit itu mesti.”
Yuki
menghantam ‘sosok’ yang maju menabrak tadi dengan gagang pedang. Hal ini
artinya ia tidak menebas sesosok maju ini, ia memanfaatkan gagang pedang untuk menyenggel,
menahannya supaya tidak lolos.
Sosok ini
seketika terkapar jatuh. Ia harusnya terkena stun karena gagang pedang menyodok
titik vital.
Ia
meringkuk mengerang. Seraya mencengkram perut.
“di tempat
ini?” Ujarku kaget.
“yap.
Memangnya kenapa?”
“maksudku,
ini.. ini... ah sudahlah terserah.”
Menampilkan
menu, memunculkan beberapa potong daging.
“Irma, ikat
yang erat. Kalau dia tiba-tiba berontak, pas ndak ada aku. Bisa kisruh ntar.”
Ujar Yuki menyangga badan tawanan pillager.
Aku
mengikat, membentuk simpul tali yang erat tetapi mudah untuk dilepas.
“Ini aku
bikin simpul biasa. Bisa lepas kalau dua ujungnya ditarik.”
Yuki
mengangguk, “hum. Hum. Itu sudah cukup…”
*sret
“Jangan
keras-keras ngikatnya. Ntar lecet.” Komen Yuki.
Mataku
meliriknya sekilas. Yuki tertawa.
Setelah
acara pengikatan selesai, Yuki berujar “ini kamu yang menyuapinya ya.”
“hah?”
“tadi
awalan aku sudah, giliranmu.”
Aku
mengendus, menghela napas. Membuka menu, memunculkan daging potong. Lalu mulai
menyuapi.
Karena
tawanan pillager ini, poninya panjang banget sampai nyaris menutupi muka. Aku
harus menyekanya untuk dapat menyuapi potong daging ayam agar dapat masuk ke
mulut.
“… oi,
aa..” Gumanku pelan. Memberi isyarat agar ia mau membuka mulutnya.
Ia merespon
cepat. Aku tidak dapat melihat mata atau ekspresinya. Wajahnya sebagian besar
tertutup poni dan rambut yang terurai nyaris berantakan.
Sekali
lagi, ia makan dengan lahap. Aku berani mengira, poin wareg miliknya
kemungkinan besar drop untuk memulihkan pasca raid. Harusnya ia segera
mendapatkan pasokan makanan untuk memulihkan statistik stamina.
Seusai
menyuapi pillager tawanan, Yuki melirik tajam. Terlebih ketika aku hendak
menggigit potongan daging ayam nyaris tidak berasa karena aku memasaknya tanpa
rempah-rempah.
“ah iya.
Aku lupa..” Ujarku seraya membuka menu, memunculkan piring kayu.
Menyodorkan
piring penuh dengan potongan daging ayam seraya berujar “ini. Habiskan.
Besok-besok, ini daging mungkin sudah nggak layak makan.”
Si Yuki
langsung menerimanya, “di sini ada kadaluarsa makanan juga toh.. berarti nggak
bisa nge-stack makanan..” Ujarnya membuat kesimpulan.
“mungkin
ada bahan atau sesuatu yang bisa membuat makanan bisa betah lama…” menjawab
seraya menggigit daging ayam.
“kamu mau
membuat kulkas pakai teknologi redstone?” Celetuk Yuki.
Redstone?
Aku
terperanjat, “ah iya. Redstone! Redstone…”
Yuki sontak
kaget. “hah? Maksudnya? Jangan-jangan kamu mau buat kulkas beneran ini?”
“nggak..
bukan itu.. tapi semenjak aku menambang, aku belum pernah menemukan redstone..”
“masa?”
“iyo.”
“dari dulu
sampai sekarang, belum paham gimana sistemasi redstone bekerja… sad..” Ujar
Yuki bertopang dagu seraya mengunyah daging.
Di tengah
percakapan, aku sesekali melirik pillager yang ditangkap Yuki.
Perspektif/pandanganku tidak dapat melihat nama ataupun statistik lainnya
kecuali mindset kalau ia adalah mob hostile.
Semua
tubuhnya nyaris terikat semua. Sementara Yuki memintaku untuk mengikat tangan
agar tidak memberontak bergerak, dan membuatnya duduk bersandar dengan kedua
kaki terikat. Kepalanya merunduk, kebetulan aku melihat samar raut pandangan
mata.
Melihat ke
bawah, lantai kayu. Mulut terbuka sedikit.
“Irma.”
Yuki memanggil tiba-tiba.
Aku
merespon, “hm?”
“kamu hafal
villager?” Tanya Yuki pelan.
“maksudnya?”
Yuki
menoleh, “maksudnya tipikal villagernya…
kan ada villager pandai besi, petani, dan lainnya.. itu kamu hafal?”
Reflek aku
melirik langit-langit, seraya berguman singkat. “kalau hafalnya.. nggak, tapi
biasanya kelihatan dari outfit yang dipakainya kok.”
“ah kalau
gitu ntar aku tolong carikan villager yang bisa meracik botol ramuan ya.”
Aku
menoleh, “kamu mau buat potion debuff?”
“aku pake
senjata utama pedang. Mana sempat keburu telat minum potion pas momen terhimpit..
apa lagi aku pake dual pedang.” Jawab Yuki cepat.
“lah terus
ngapain cari villger yang bisa bikin potion?”
“nanti aku
kasih tahu.” Ujar Yuki cepat.
***
Tempat
fasilitas,
“Nia.. ini aku tanyakan sekali lagi… kamu
yakin?”
Ia
mengangguk cepat, seraya berbaring. “ini sudah jadi resiko.”
“tapi kalo
ada jalan lain selagi—“
“jalan lain
yang mana?” Ia menyerobot.
“ini sudah
resiko kalau teknologi ini ditemukan. Di cerita pasti ada antagonis dan juga
protagonis. Kalau semisal nggak ada antagonis, plot cerita nggak akan jalan.
Begitu juga sebaliknya.”
Ia seolah
tidak punya pilihan lain.
“aku juga
nggak mungkin mengorbankan mereka yang hanya sekedar menguji coba untuk ikut
terlibat.” Tambahnya lagi.
Beberapa
orang berpakaian putih bersih seperti apoteker, mereka berkumpul di suatu
ruang. Pandangan fokus mereka hanya satu.
“tapi… aku
juga nggak mau menyerahkan ini sia-sia.. karena ini terlalu worthy dan
berbahaya kalau dipegang sama orang salah..”
Suara
gemuruh langkah kaki terdengar. Berjumlah puluhan. Hentakan kakinya terdengar
jelas menggema. Hal ini karena arsitektur tempat ini memiliki banyak lorong,
sehingga hentakan suara memungkinkan menggema di setiap sudut lorong.
“benarkan.
Dia memanggil bala bantuan…” Ujarnya seraya menunjuk arah suara hentakan kaki.
Semuanya
menoleh, beberapa ada yang panik tetapi berusaha agar tetap diam dan tenang.
“dengar.
Kalian semua. Apapun yang terjadi, jangan sampai mereka menyentuh penguji beta.
Mereka semuanya innocent.”
Ia diam
sejenak mengambil napas, kemudian melanjutkan “apapun yang terjadi, jangan
sampai mereka mendekati para penguji beta...”
Seorang
operator berguman, “apapun yang terjadi..”
Ia langsung
menambahi, “apapun yang terjadi. Saat ini alat simulasi menjalankan game
bernama Minecraft VR, yang sudah kalian coba untuk melakukan kustomisasi dan
sebagainya.. otoritas admin berada di pusat server fasilitas ini.”
“aku yakin
mereka tidak mengincar minecraft atau game-nya. Tapi akan teknologi ini,
tentang konsep dunia baru.”
Beberapa
terkejut, namun sebagian kecil masih heran. Ia melirik mereka satu-satu,
kemudian melanjutkan pidatonya “beberapa mungkin belum tahu. Itu adalah proyek
yang gagal. Sejujurnya itu hanyalah fitur, tetapi bila dikembangkan akan
memberikan suatu perubahan yang besar.”
“konsep ini
terkunci. Tidak dapat terbuka ataupun diakses melalui monitor pusat server di
fasilitas ini.”
“Ata.
Dokter kalian. Ia tidak mempunyai akses untuk itu. Bukannya ia tidak punya, ia
memilih untuk tidak memilikinya. Karena suatu alasan privat.” Ujarnya.
Ata, laki-laki
yang dimaksudnya. Ia hanya terdiam merunduk kecil berdiri di samping wanita
yang sedari tadi melakukan monolog.
“untuk
mengakses konsep dunia baru. Memerlukan kunci yang unik, di mana kunci
ini tidak dapat disentuh atau dipegang secara fisik…”
Ia mengambil
napas dalam, mengumpulkan keberanian untuk mengatakan.
“Aku. Nia
Zahra. Penemu konsep dunia baru setelah memodifikasi alat vr menjadi
alat simulasi yang dapat menyesuaikan sensor serta gestur seluruh tubuh untuk
dapat diprogram dan dijalankan dalam kontrol penuh yang kalian kenal dengan full
dive.”
“polisi,
aparat keamanan akan datang dalam waktu satu jam kurang.” Ujar Ata, laki-laki
dokter yang dimaksud oleh si wanita berpidato tadi. Nia.
“satu jam…
kalau di sana, berarti bisa sampai satu atau dua hari.. entahlah.” Responnya.
“kembali ke
pos masing-masing. Aku akan mengambil alih komando.” Seru Ata.
Semuanya
merespon baik dan segera bubar jalan. Tinggal mereka berdua dalam ruangan.
“oi Nia.
Kamu serius ini?”
“iya. Apa
aku pernah nggak serius kah?” Tanya Nia seraya mulai mengambil posisi tidur
telentang.
“maksudku…
apa rencanamu? Aku nggak paham.”
“aku mau
masuk. Di sana tidak ada staff atau pemain yang punya otoritas admin.. kamu
tahu, firasatku tidak enak kalau aku kabur lari demi menyelamatkan kunci lalu
dia mengobrak-abrik sistem server.”
“kamu mau
masuk? Di tempat ini? Tapi…”
“nggak
perlu khawatir. Lagi pula aku ini asset. Target mereka hanyalah konsep yang aku
bicarakan tadi.. ini bahaya banget kalau jatuh ke tangan yang salah…”
Ia diam,
tidak merespon.
“hah. Kamu
juga nggak mau aku kasih duplikat kuncinya bukan?” Ujarnya tertawa.
Dia
tertawa, “nggak mau lah. Resiko banget. Aku nggak kebayang kalau konsep yang
kamu buat itu terealisasikan.”
“makanya
itu…”
Ia menarik
alat simulasi, menutup sebagian besar wajah. Ata, laki-laki yang disebut dokter
olehnya tidak dapat berbuat banyak. Resiko konsep tersebut bila jatuh ke tangan
yang salah bisa merubah dunia menjadi beresiko.
“Ata.
Aktifkan simulasi.. tolong.”
***
Suasana
perayaan berlangsung sampai larut malam. Para villager mengajak kami untuk
merayakan kemenangan atas raid dengan makan besar bersama. Tetapi mengingat
kalau malam, bagaimanapun mob hostile akan tetap muncul ketika cahaya yang aku
sebut matahari ini tenggelam.
“sekali
malam ini saja kak!”
“ayolah
kak… ndak usah keluar..”
“kak..”
Yap. Itu
suara anak-anak remaja villager. Mereka yang laki-laki merayu perempuan, begitu
juga sebaliknya.
“Irma.
Malam ini aku yang ambil sift jaga malam aja.. kalian hadir aja acara
perayaannya.” Ujar Yuki.
“kamu mau
farming sendiri?” Tanyaku merujuk langsung padanya.
Yuki panik
“ya iyalah.. maksudku bukan gitu. Kalau semisal ada raid susulan
gimana?”
“tapi yang
dikatakan sama Yukina benar juga… kalau gitu, aku ikut jaga malam..” Fardan si
tameng menyahuti.
Ian, pemanah,
archer merespon “hm.. mau farming juga bang?”
“ya farming
ya juga sekalian hunting.. setidaknya aku bisa bantu pakai tameng ini..” Ujar
Fardan.
Dalam benak
terperanjat pikiran, “ya.. sejujurnya kalau aku kalian semua ikut acara
villager dan membiarkan si Yuki nge-solo, itu sudah aman mengingat talenta
miliknya warrior. Petarung.”
Mau
terucap, tetapi terhalang melihat Yuki hanya menyarungkan satu pedang di
pinggang. Ada kemungkinan Yuki memang sengaja melakukan itu, menyembunyikan
kalau dirinya adalah pengguna pedang ganda, petarung/warrior.
Salah
seorang menyahuti, “kalau gitu, aku juga ikut sift malam ah!” Dia sama seperti
Yuki, petarung dengan kapak bergaya viking. Reina.
“hm…. Aku
juga ikut jaga juga…” Ian berujar, ia turut berpartisipasi untuk sift jaga
malam.
Jadi total
yang mengajukan diri untuk sift jaga malam, empat orang. Yuki, Reina, Fardan,
Ian.
Aku mau
mengajukan, Yuki menyerobot “eit… pengguna pedang sudah ada di sini. Aku nggak
mau nanti rebutan…” Cegahnya.
“empat
orang sudah kebanyakan.. sisanya hadir aja di acara perayaan villager ini..”
Fardan menambahi.
“Lenka?
gimana menurutmu?” Ujar Reina menanyai sisa personil timnya yang sedari tadi
diam menyimak.
Melihatnya
diam tidak berkomentar, aku kembali mengajukan tangan “tapi—“
Yuki cepat
menyerobot, “ah ssssttt… kamu kurus banget Irma. Malam inikan ada event
makan-makan kan? Ya sudah terima aja.”
Mendengar
Yuki berujar tentang ukuran badan, personil Ian saling pandang.
“Lenka,
gimana menurutmu?”
“…Ya ya,
aku yang jadi wakil party untuk hadir acara malam ini.” Ujarnya setelah diam
menyimak cukup lama.
“Iruma?”
Tanya Ian meminta persetujuan.
“a—“
“dia sudah
setuju.. gestur tubuhnya menunjukkan kalau ia setuju.. sudah nggak perlu
dipungkiri lagi..” Serobot Yuki lagi, kali ini ia mengucapkannya seraya tertawa
canda.
“kalau
begitu, sampaikan maaf kami karena ndak bisa hadir semua acara malam nanti ya.”
Ujar Ian seraya memetik senar pegas busurnya.
Aku
mengacungkan jempol. Simbolis tanda mengiyakan. Mereka langsung paham, kemudian
mulai beranjak keluar gerbang villager memulai patroli berjaga bila ada mob
hostile mendekat.
“oi Yuki.”
Celetukku pelan.
Si Yuki
mendengarnya, ia menoleh sigap “hm?”
“harusnya
ini kamu bisa atasi sendiri kan?” Tanyaku pelan.
Ia menarik
jari telunjuk, didekatkannya pada mulut. Memberikan pesan simbolis. Kemudian ia
berlalu pergi.
Agenda
malam ini berlangsung meriah. Para villager sudah mempersiapkan wejangan
makanan untuk menjamu pahlawan yang menyelamatkan mereka dari raid.
Harusnya
semua personil tim Ian dan si Yuki mengikuti acara ini. Tapi kalau malam, tidak
bisa diperkirakan kapan serangan tiba. Maka dari itu, sebagian mereka
memutuskan untuk berjaga di sisi luar desa sampai waktu yang ditentukan.
Lenka.
Wanita pemanah. Ia kini disampingku. Duduk bersila di depan wejangan makanan
yang disajikan oleh para villager.
“Bocah!
Makan yang banyak. Tubuhmu kurus, apa kamu terlalu sering merantau?” Ujar si
Pandai Besi.
Aku
mengambil potong roti, terbuat dari gandum yang diolah menjadi adonan roti. “ah
ini kang… aku sudah ambil..”
Tanpa sadar
aku menyenggol Lenka. Aku meliriknya, melihat ia menyodorkan sekerat roti.
“ah maaf.
Aku nggak lihat tadi…” Ujarku reflek seraya menyobek roti yang diambilkan
Lenka.
Ia hanya
mengangguk diam. Kemudian buru-buru memakan roti yang tadi ia sodorkan lalu aku
sobek sebagian.
Tidak
mengeluarkan kata-kata, hanya diam dan gesturnya yang tenang. Kedua matanya
terbuka lebar, tidak sayu. Kalau melihat tajam, kadang aku sering merasa panik
ketika diliriknya terus.
“Talenta
yang kamu gunakan, archer kan?”
“um”
Jawabnya singkat.
“dapat
badge itu memang sengaja dari awal main atau setelah punya barang lalu mulai
fokus untuk dapat talent archer?” Tanyaku lagi.
“aku
mendapatkan busur panah ini hadiah dari penduduk desa..” Jawabnya lagi.
Singkat.
Ok, sudah
dua orang mengatakan ia mendapatkan senjata utama dari talentanya dari quest.
Sedangkan aku, spawn di tengah hutan. Leveling mana sempat, talenta miner
itu saja nggak sengaja dapat. Dan mempunyai talenta swordman setelah aku
satu tim dengan Yuki.
“artinya
pas awalan main, spawn-nya di areal villager?”
“spawn?”
“maksudku,
tempat lokasi awal ketika pertama masuk di dunia ini.”
Ia gagal
paham arti spawn, ada kemungkinan ia tidak mendalami istilah dalam dunia
game.
Ia berguman
sejenak, “um.. iya, lokasi awal pas masuk aku di tempat pedesaan.”
“jadi
langsung interaksi sama villager?”
Ia
mengangguk lagi. Diam, tidak terlalu banyak bicara.
Karena aku
sudah kehilangan topik, aku memilih untuk diam tidak memulai obrolan. Kamu
tahu, jawabannya benar-benar pasif banget, ditambah lagi aku tidak ahli dalam
hal mendinginkan obrolan. Kalian bisa memperhatikan sewaktu aku berkomunikasi
dengan si Yuki. Ia begitu aktif, tidak pasif. Sehingga obrolan tetap hidup
bahkan sampai ngantuk sekalipun.
[Yukina:
Bagaimana acaranya?]
Si Yuki
mengirimkan pesan singkat, obrolan biasa. Aku segera merespon, memunculkan
panel keyboard semi-transparan dan mulai mengetik.
[Iruma:
lancar-lancar. Btw, shift jaga gimana? Ada mob?]
Belum satu
menit, ia membaca pesan. Kemudian mengetik.
[Yukina:
Sisakan makanan untukku! Dagingmu besok mungkin sudah ndak layak makan! Wkwkw]
Hanya
berbasis teks, tapi seolah-olah kami berbicara seperti wajarnya.
“Iruma.
Irma..”
“ah ya?”
Sontakku kaget. Ia memulai percakapan, tidak biasanya.
“apa kamu
nggak mengingatku?” Ujarnya seraya menunjuk dirinya sendiri.
Aku
mengerutkan dahi, entah apa dahi di avatar ini ikut berkerut juga. Intinya aku
reflek mengerutkan dahi mulai berpikir.
“apa aku
pernah ketemu sama kamu sebelumnya?” Tanyaku balik.
Ia terdiam.
Mulutnya kembali terkatup rapat.
“maksudku
kalau pernah. Kapan?” Tanyaku lagi. Mencoba cari pancingan kalau yang diucapkan
memang benar aku pernah bertemu.
Ia menghela
napas. “kamu nggak mengingatnya.”
Ucapannya
terhenti, ia mengambil napas dalam-dalam. Sontak aku kebingungan bukan main.
“… besok
rencananya aku mau shift jaga. Kamu mau shift jaga juga kan?” Ujarnya,
intonasinya berubah.
“ah iya.
Besok… aku rasa—“
“temenin
aku. Shift malam.”
Aku bengong
sejenak, “tunggu tapi,”
Ia beranjak
berdiri, “kamu nggak ingat aku. Aku sedih. Aku marah. Gantinya kamu harus
nemenin aku untuk shift jaga malam.”
“wait,
what?” Ujarku kaget.
Ia diam
berdiri, kemudian berlalu pergi. Aku berusaha mengejar, menanyakan apa yang
terjadi dan ketidakpahaman ini. Tapi ia terlambat tenggelam keramaian.
Saat ini
malam sudah larut. Kalau ada jam, kira-kira sekarang jam 11 malam. Para
villager menyudahi acara perayaan dan mulai bersiap untuk tidur. Hal ini
menunjukkan bahwa mereka semua tidak pemain, melainkan memang mob. Perilakunya
yang terstruktur, tidak menyeleweng, dan rapi menunjukkan bahwa mereka
terprogram untuk itu.
“kamar
Yukina.” Ujarku pada pemilik penginapan.
Ia langsung
mengangguk paham, “kuncinya.. aku rasa dia sudah masuk beberapa saat tadi.”
“dia sudah
selesai?” Gumanku.
*klek *ceklek
“ah aku
mengirim pesan berkali-kali.. nggak di read.” Ujarnya begitu aku membuka
pintu. Ia duduk di ranjang seraya membuka menu.
Pesan
(6)
Iya benar,
aku tidak memperhatikan notifikasi pesan masuk. Aku rasa tanpa sengaja aku
mengabaikannya.
“gimana? Acaranya
tadi? Rasanya jadi hero… hihi” Yuki mengucapkannya seraya tertawa.
“harusnya
tadi kamu shift malam aja sendiri. Nge-solo. Lagian kamu bisa pake dua pedang
to? Ngapain minta kawan untuk nemenin.”
Yuki
menekan tombol di panel miliknya, mengubah kustomisasi pedang “ya.. rasanya
nggak enak kalau nge-solo. Kan ada tim-nya Ian..”
“ngga
enak-ngga enak.. Sudah nggak dibolehin join, disuruh ikut hadir. Padahal para
villager membuat banyak makanan yang porsinya cukup untuk lima orang.”
“porsinya
lima orang? mana-mana? Irma bawa satu?” Yuki langsung semangat.
[100%] Yukina, Warrior Lv. 56
---[100%]
Stamina
---[12%]
Poin Wareg
Dia laper
banget ini. Poin wareg yang tersisa sampai tinggal 12 persen. Apa yang
dilakukannya?
“ei ei. Ini
kenapa poin waregmu tinggal 12 persen? Ngapain aja tadi? Ngerusuh dungeon?”
Ujarku kaget, seraya membuka menu inventori.
Yuki
terkekeh, “ehehe…”
“dah lah
kebanyakan omong. Mana makanannya?” Seru Yuki tidak sabar. Ia bangkit.
“sebentar
mbak e… ini lagi nge-scroll menu yang pas..” Ujarku menujukkan panel inventori
yang nyaris penuh.
Yuki
melihat isi inventori, satu party memberikan efek dapat melihat panel menu
semi-transparan teman satu party. Ia sontak langsung menarik telunjuk, mulai
menunjuk-nunjuk.
“ini.. ini!
Yang ini gimana?” Ujarnya seraya menunjuk panel kecil bertuliskan ‘Cooked Beef’
Aku
mengiyakan, “kalo kamu milih ini… aku harus mengirisnya dulu. Gimana?”
Ia
berguman, “hm… yang ngiris aku saja coba.”
“heh?”
“iya aku
saja. Ini daging sapi kan? Daging semata kan? Tinggal ngiris-ngiris doang..
sini aku saja.” Yuki meyakinkan.
Aku
menyetujuinya, ditambah lagi belakangan ini aku tidak pernah melihat Yuki
membantu dalam hal logistik. Mungkin Yuki lebih berbakat dibandingkan—
*splat
*splat *splat
“ya..
harusnya tadi aku memilih untuk membuat tabel dan mulai berlagak koki.” Ujarku
pelan. Melihat potongan daging berceceran tidak karuan.
“eehh..
ehh.. kok gini jadinya? Aku lihat di game-game nggak gini…” Yuki kaget tidak
percaya.
Ia
memintaku untuk memunculkan daging sapi masak namun dalam bentuk sekerat
daging, sehingga kesulitan untuk kami memakannya langsung. Yuki menawarkan
untuk melempar daging yang baru di masak siang menjelang sore tadi, agar nanti
Yuki menggunakan dua bilah pedang bermata dua disayat iris kala daging sapi
tadi melayang diudara.
Al hasil,
semuanya teriris. Memang teriris, tetapi karena tebasan Yuki terlalu banyak
menyebabkan daging pecah tidak karuan.
Aku melihat
sekeliling, secercah daging kecil-kecil tercecer di lantai kamar penginapan.
“Ini kalau aku jadi yang punya penginapan, sudah aku denda plus blok.” Ujarku
seraya melutut untuk mengumpulkan kembali pecahan daging.
Yuki
mencegah, “mau kamu apakan lagi Irma?”
“ya.. aku
buanglah. Aku nggak punya skill untuk menyatukan kembali daging yang sudah
keiris hancur seperti ini.” Ketusku.
Yuki panik,
ia menggigit bibir seraya mengepal tangan gemetar. “Iruma Iruma.. ini… yang
bersihin aku aja…”
Ia
menawarkan jasa lagi, “aku ragu.”
“nggak
nggak.. ini aku nggak mengacau. Kamu masih punya daging lagi kan? Potong-potong
dagingnya, ini biar aku yang bersihin..” Rengek Yuki.
---[4%]
Poin Wareg
“anjer.
Baru ngeluarin skill aja langsung drop sampai segitu. Ya sudah, segera
kusiapkan dagingnya.” Ujarku kaget melihat statistik Yuki, poin wareg di bawah
10 persen.
Ia
mengangguk lega.
Irisan
dagingnya jadi rapi semenjak aku menggunakan swordman jadi talenta
utama. Ketepatan mengiris juga aku rasakan waktu perang raid tadi.
Si Yuki aku
lihat ia sedang memungut cuilan daging yang pecah karena ia memotong terlalu
kecil dan rinci. Rasanya tidak enak kalau membiarkan tempat ini kotor walaupun
aku dan Yuki menginap satu malam saja.
Pengalaman
memasak meningkat!
Kami
memutuskan untuk melakukan skip malam. Yakni tidur dan bangun di esok harinya.
Ketika aku hendak membuka menu, merekonstruksi ulang ranjang/bed yang aku
simpan di inventori, Yuki berujar “ada bed di sini kok.. pakai bed ini saja
gimana?”
Ranjang
besar, tidak. Aku rasa itu dua bed/ranjang yang digabungkan. Jadi satu ranjang
muat untuk dua orang.
“ini dua
ranjang lo.” Aku menunjuk-nunjuk ranjang lebar berwarna cokelat.
Yuki
mengabaikan, “lah terus memangnya kenapa? Kemarin-kemarin waktu merantau cari
pedesaan. Kita stuck karena ada endermen dan buru-buru buat shelter. Itu juga
ranjangnya dekat-dekatan.”
Aku
terkekeh, mengangguk “ah iya-iya. oke oke…”
“eh
jangan-jangan kamu mikir aneh-aneh… ya kan? Ya kan?” Yuki mengucapkannya seraya
setengah menutup mulutnya.
“hei hei…
nggak lah.” Ujarku spontan.
Yuki
mendekat, “di sini nggak ada aturan Irma. Bebas”
“nggak ada
aturan? Di minecraft ada larangan mutlak, seperti menatap endermen,
menggunakan—“
“maksudnya
nggak ada aturan. Di sini juga undang-undang ngga ada yang ngatur. Kalau pun
ada, itu tidak berlaku. Semua pakai avatar, bisa menyembunyikan jati diri..”
Bisik Yuki.
Yang
dikatakan Yuki benar, memang semua di sini bisa jadi apa aja.
“ya.. nggak
bisa gitu lah..” Aku menolak, menjauhi Yuki.
Yuki
memiringkan kepala, “maksudnya nggak bisa gitu? Lah memang nyatanya begitu
kok.. di sini kalau aku bisa nge-undo—“
“aku
mencium trap… it’s a trap!” Seru aku menarik belati metalik.
Ia berdiri,
kembali menghampiri. Kali ini tatapannya tidak biasa. Kaya mau melahap. “Oi
Iruma.”
Panik.
Respon seketika. Lari dan kabur adalah mind set pertama muncul dalam pikiran.
“Ini tidak baik, ini tidak baik… dia kalau bunuh aku di sini… skripsiku…”
Gumanku pelan, pelan sekali. Bersamaan perlahan mengambil langkah mundur,
mencari jalan keluar.
Yuki
menyeringai, “aku bisa mendengar itu. Kamu lupa? Kemampuan pendengaran seorang
petarung?” Ujarnya terus mendekat.
*klek! *klek!
“heh?”
Ujarku kaget. Memutar daun pintu kamar, tapi tidak terbunyi klak engsel
terbuka.
Lagi-lagi
ia menyeringai, mengambil sesuatu dari pinggang. Tidak menyiratkan mimik kata
apapun. Diam.
Keringat
mungkin menetes kalau ini di dunia nyata. Walau pun aku sadar ini hanya game,
semacam virtual reality yang luar biasa. Tapi feeling tidak bisa ditipu.
Mungkin aku
dihabisi di sini dengan dua bilah pedangnya yang multifungsi. Rasa sakit tidak
terasa, hanya semacam kejut listrik kecil menjalar di areal yang terluka.
Tapi, masa—
*crek
Tidak ada
cara lain. Sekali pun ragu, belati metalik yang dimodif kang pandai besi
kemarin. Aku tarik, bersamaan mengambil posisi siaga.
Melihat aku
mengambil bilah belati sepanjang tangan sampai siku, ia tertawa. Kali ini
tawanya berbeda. Aku ragu, bingung tidak dapat membaca ekspresinya kali ini.
[100%]
Yukina, Warrior Lv. 56
“tetap
tenang.. tetap tenang...”
“hal
seperti ini sudah biasa terjadi di game-game rpg… apalagi ini game vr…
kemungkinan terjadinya lebih tinggi..” Ujarku mengucap dalam hati.
Ia tidak
mungkin mendengar, aku memang sengaja tidak menggerakkan mulut. Hanya
mengandalkan isi hati yang berbicara. Al hasil, ia memang tidak mendengar atau
mengetahui kalau aku sedang berguman, menyulut semangat nan keberanian.
*cring
Gemrincing
nyaris menggema. Harusnya tidak bersuara, apa lagi jarak Yuki dan Aku masih
terbilang jauh. Berkisar 2 meter. Sedangkan ia bergerak pelan dan kalem. Ini
efek pendengaran yang ditingkatkan karena talenta swordman.
“kamu
ngangkat belati di depan cewek… jahat banget kamu.” Ujarnya sembari
menyeringai.
Aku tidak
tahu apa yang di belakang pinggul si warrior cewek ini. Perempuan yang baru aku
kenal selama tiga hari lebih, di masa uji beta. Percaya melalui avatar, dan
data.
“pisau
lempar? Jarum? Skill dash?” Tiada henti berpikiran negatif, hal ini terpicu
suasana.
“kamu
laki-laki yang baik.”
Kaget bukan
main. Tanpa kusadari ia di depan. Tepat di depan. Gerakan ia mendekat saja aku
tidak melihatnya. Skill dash miliknya berevolusi, sehingga pergerakannya
super cepat sampai mata pemain tidak dapat melihatnya.
“nih
kuncinya. Kamu pemimpin party kan? Sekalipun ini hanya duo..” Ujarnya
mengakhiri dialog seraya tertawa.
“hahaha!
Ahahhaa!” Ia tertawa terbahak-bahak seraya guling-guling di ranjang penginapan.
Aku
melompong bengong. Kaget dan takut bukan main, ia mengaku barusan kalau ia
hanya melakukan tes.
“sudah-sudah
Ir! Gitu aja marah…” Seru Yuki cekikikan.
Pandangan
kosong, rasanya gemetar dan akhirnya ambruk. Ah mungkin ambruk ini, kepala
yang pertama kebentur lantai. Mungkin ini memberikan damage yang cukup untuk
mengirim kembali kesadaran ke—“
*buk
Yuki sigap
datang dan memeluk, membelai supaya avatar ini tidak terbentur benda/objek
keras.
Spontan aku
kaget, gemetar yang berasal dari rasa takut, khawatir berubah menjadi rasa
kaget bukan main.
“sek, yu—“
“kamu masih
gemetar ya? hm hm… ini artinya kamu menganggap ini seperti dunia nyata ya”
Ujarnya seraya mendekap kepala rambutku yang nyaris acak-acakan karena spontan
panik.
Ia
berlutut, duduk sila selagi aku lemas karena masih shock dengan prank yang
terbilang serius.
“harusnya
kamu nggak harus menganggap ini dunia itu nyata. Ini hanya game, hanya game.”
Ujarnya lagi.
Aku tidak
bisa merespon, mau mengucap tapi tubuh avatar menolak. Seolah kaku tidak bisa
tergerak. Rasa gemetar masih menjalar.
“gemetar
sampai memberikan debuff ke diri sendiri.. dah dah… tapi aku cuma
bercanda kok!” Ujar Yuki lagi.
Iruma
Lv.52
*Hero of
the Village (∞)
*Anxiety
Attack (00:21)
Lucu
sekali, rasa takut dan gelisah punya efek debuff yang berefek pada
pemain sendiri. Ini game bener-bener realistik.
Tidak ada
cara selain menunggu sampai efek debuff hilang. Efek ini tidak
mengurangi poin hp ataupun statistik vital lainnya. Bahkan tidak
memberikan efek stun, tapi efek ini cenderung merasuk pada pikiran. Di mana
mind-set seketika langsung down.
Yuki masih
berada di posisi. Ia memeluk kepalaku dan menelentangkan badan avatar ini agar
dapat telentang di pangkuan silanya.
Pandanganku
masih kosong, pikiran berbicara tapi avatar ini tidak menerima. Seolah-olah
efek debuff ini benar-benar membuat stun mental.
***
“usahakan
kalian semua di posisi siaga. Kita tidak akan pernah tahu kapan kita akan
dipanggil. Jelasnya, bila alarm berbunyi, pletoon sesuai urut harus maju dan
memulai cerita masing-masing.”
Masih ada
waktu, mungkin lebih baik digunakan untuk mengeksplorasi informasi yang
diizinkan. Seperti mengakses konten internet yang valid dari sumber dari
author.
Cara
memasak…
“Apa yang
kamu lakukan?”
“mengeksplorasi.”
“informasi?”
“Kurang jelas,
topik ini muncul di pencarian… artinya ini informasi yang valid.”
Mereka ikut
membaca. Sebagian dari mereka tidak tertarik, mereka dengan wujud tanpa dua
benjolan di tubuhnya tidak tertarik. Mereka memilih untuk membuka eksplorasi
konten lain. Berbeda dengan mereka yang berwujud sama-sesamanya.
“rasa? Apa
maksudnya rasa?”
“mencari
sumber valid…”
“apa itu
makanan?”
Tidak ada
yang lebih menyenangkan dibandingkan mengeksplorasi menambah wawasan kala
menunggu giliran untuk menjalankan perintah.
Melihat mereka
mengeksplorasi sesuatu yang lebih spesifik, mereka langsung mempunyai pendapat
yang berbeda-beda. Sebagian besar berkelompok.
“pleton
102!”
Tetua
memanggil, mereka menyebut ‘tetua’ diambil dari beberapa istilah yang dipadukan
akhirnya membentuk semacam istilah khusus. Tidak lain untuk membedakan antara
objek lain dengan lainnya, karena ia paling beda. Tidak pernah ikut barusan,
tapi memanggil-manggil.
Apakah
mungkin ini yang disebut ketua? Di ambil dari kamus besar bahasa Indonesia.
***
“melepas talenta?”
“yap.”
Yuki
mengangguk paham. Aku membenarkan ucapan yang akan aku lakukan setelah raid
berakhir, yakni mengganti talenta kembali semula menjadi seorang Ore Seeker.
“kamu sudah
siap?” Tanya ia lagi ketika aku membuka panel menu, mencari opsi pemindahan
slot talenta.
Aku
mengangguk singkat kemudian berujar “kalau aku drop. Jangan di loot!”
Ia tertawa,
“hahah, ya iya. Lagi pula aku melakukan itu hanya canda… bercanda! Kamu ini…
nggak bisa diajak guyon.”
Yang
dilakukan Yuki benar membuat shock. Meskipun akhir adegan ia mengaku hanya
bercanda, aku hampir shock/kaget bukan main. Bersikap seolah berkhianat,
melakukan tindakan betrayal-bertraying yang membuat trauma
keterpanjangan.
Aku tidak
berkomentar, hanya mengangguk seraya menyeret ikon. Melepas-memasang ikon dari
inventori ke slot kosong. Memindah ulang, merekap ulang.
Lepas slot talenta kedua, swordman?
Catatan: Proses penggantian talenta memakan
waktu sampai lima menit. Untuk proses adaptasi serta penerapan skill talenta
pada avatar.
“aku mulai.” Ujarku singkat menekan tombol
maya.
Proses melepas slot memakan waktu lima menit.
Rasanya sama seperti sebelumnya, di mana aku mengganti slot kedua, miner
menjadi swordman. Seolah ada hawa atau unsur yang hilang dicabut paksa.
Karena saat ini aku duduk di ranjang/bed, kedua
kaki yang mungkin gemetar tidak begitu terbebani untuk mengangkat bobot tubuh
untuk berdiri. Begitu juga rasa lemas mendadak karena penggantian talenta,
seolah ada sesuatu yang hilang tercabut, dapat teratasi dibarengi dengan
sensasi relax tidak mendesak.
Saking lemasnya, sampai tidak kuat menyangga
kepala. Yuki reflek menahan tubuh tumbang ini. Ia menahan tubuh ini agar dapat
berdiri tegak, sekali pun ini aku dalam posisi duduk.
“tunggu, Yuki. Aku bisa sendiri…” Ujarku
menolak halus. Mendorong belaian tangannya yang menahan untuk tetap kokoh
berdiri.
Mengambil napas, terus teratur. Sekali pun aku
yakin, atmosfer di dunia ini belum ditambahkan sebagai variabel atau objek yang
dapat berubah dan habis. Mengingat ini masih versi beta. Uji beta.
Sampai akhirnya, lima menit habis tidak terasa.
Menahan sensasi seolah unsur yang hilang tercabut, kemudian dipasang unsur yang
berbeda. Berusaha beradaptasi hingga akhirnya berhasil. Talenta kembali seperti
semula, Ore Seeker.
Insting kembali, hasrat untuk berusaha bertahan
hidup kembali bangkit. Skill pasif khas talenta Ore Seeker kembali
terasa.
“hah. Ahirnya.” Ujarku lega, melihat ikon serta
teks status talenta yang digunakan kembali seperti semula.
[Hero of
the Village] Iruma, Ore Seeker Lv. 52
Yuki segera
menganggapi, terlebih ia dapat melihat statistik vital serta detil singkat
milikku. Efek dari satu party. “syukurlah… artinya kamu nggak bisa nge-solo
lagi.. jadi tanker kayak biasanya…” Ujarnya menyimpulkan.
Sontak aku
tertawa, “ahahah. Kayak biasanya ya kan?” Ucapku mengiyakan.
Seperti
biasanya. Artinya formasi ketika menghadapi mob hostile, Yuki sebagai penyerang
utama dan aku sebagai pengalih perhatian atau bahasa kasarnya adalah tumbal.
Hal ini bukan menjadi masalah, mungkin kalau aku sendiri ini adalah kenikmatan.
Di mana tidak perlu bersusah payah menebas-nebas musuh sampai pegal, tinggal
main hindar-menghindar.
“besok. Apa
rencanamu?” Tanya Yuki. Ia membuka menu panel, melepas beberapa peralatan yang
siaga siap sedia kala ada situasi yang mendadak tak terkira.
Aku
sedih, aku marah. Sebagai gantinya, kamu harus temenin aku shift jaga.
“…seperti
biasanya, shift jaga malam lah.”
Ia
berguman, “hm… tadi kamu diam tiga detik, dan itu bukan ekspresi lupa.
Melainkan seperti teringat sesuatu… apa itu tadi?”
“sampai
kapan kamu pakai skill pendengaran superhuman? Tadi aja aku nggak ngomong
apa-apa bisa langsung di-suudzoni.” Ketusku heran.
“ya… kan
kali aja…” Ujarnya seraya mengangkat kedua tangan, berlagak tidak tahu.
Aku
mengangkat kedua tangan, “nggak nggak… I’m clean.”
“hm….”
Balas Yuki tidak menyerah. Ia masih penasaran, raut mukanya tidak bisa ditipu.
“gimana
tadi acaranya?” Tanya Yuki.
“ya..
perayaan atas selamatnya desa dari raid—“
Yuki
menyerobot, “ya ya.. aku juga tahu itu. Maksudnya apa yang kamu lakukan selama
prosesi acara berlangsung?”
“…ya makan
lah. Kan ada banyak jamuan yang disajikan.”
“ya.. kan
kamu nggak sendiri pas acara.. ada siapa? Siapa namanya dia?” Yuki mengetuk
keningnya berkali-kali.
Ia bohong
kalau ia melupa. Sikap ini sebenarnya ia tahu.
“Lenka.”
Kataku singkat.
Yuki
mengangguk cepat, “nah iya iya. Lenka. Gimana tadi, kan kamu menghadirinya sama
Lenka kan? Kamu diapain sama Lenka?”
Aku
menggeleng, memalingkan muka “ya nggak lah. Si Lenka ikut untuk mewakili tim
party-nya Ian.” Ujarku cepat.
Si Yuki
lagi-lagi berguman. Ia belum puas. “diapain? Diapain?”
“disuapin
kak!”
“what?”
“ya enggak
lah! Lagian ngapain coba.”
Debat
singkat terjadi, Yuki tertawa mencairkan suasana.
“padahal
menghadiri acara perayaan selamat. Tapi curiganya sampai ke ubun-ubun!” Ujarku
menggerutu.
Yuki
menyeka rambut, “ya… kan sebagai… pelindung utama.. nggak, maksudku sebagai tim
satu party kan tidak ada salahnya tanya..”
“baru satu
tim party aja sudah gini...”
“gimana
kalau? Gimana kalau?” Si Yuki cepat menyahuti.
Aku tidak
merespon melanjutkan. Rasanya dialog ini kalau diteruskan bisa sampai
mana-mana.
“ayo…
terusin… aku mau denger…” Yuki memaksa.
“gimana
kalau sekarang langsung skip malam. Ini sudah jam berapa? Nggak ada jam
redstone di sini. Kalau tahu-tahu gini, hanya ngobrol rasan. Langsung aja
nge-shift jaga malam.” Aku melanjutkan.
“boo…”
Prosesi
tidur hampir sama ketika kejadian menghindar dari serangan endermen dan para
mob hostile yang muncul kala malam hari itu. Kasur jadi satu, maksudku
berdempet-dempetan. Jadi seolah-olah kasur lebar ini memang seperti big bed.
Walaupun
sebenarnya kasur ini aslinya dua tapi dijadikan satu.
Yuki
melepas inventori, begitu juga aku. Tidak enak rasanya kalau tidur dengan
pedang atau belati masih mengikat gantung di pinggang.
“main
berhari-hari. Tapi belum bisa bikin armor.” Bisik Yuki seraya merebahkan avatar
pada ranjang.
“sini nggak
umum minecraftnya.” Ujarku singkat.
“yap. Aku
harap setidaknya masa uji beta ini bisa sampai end-world.”
“end
world?” Aku menoleh.
“maksudku
dunia the end… itu lho yang tempat kalau mau bunuh naga ender..” Yuki
menjelaskan.
Bermain
normal saja ada banyak kendala yang nggak terduga. Mulai dari mob hostile,
serangan zombi yang abnormal, raid, villager yang kendatinya ia aslinya mob
tapi terkecoh seperti manusia, dan masih banyak lagi.
Belum lagi
kalau dunia ini ternyata ada banyak fitur yang realistis, seperti bisa sakit
kalau kedinginan, dan lain-lain.
“the end
yang ada naga ender? Ini… setelah kamu melalui ini semua. Kamu berharap bisa
sampai dimensi the-end?” Celetukku kaget.
Yuki
menggerai rambut, “ya.. kan kali aja… ini kan masa uji beta. Kalau gamenya
sudah rilis di pasaran. Sudah tahu mekanik gamenya.. heheh” Ia sudah merebahkan
diri. Mulai dari kepala sampai lutut dan kaki sudah mendarat di kasur empuk.
Ranjang.
“Kalau
model mainnya duo gini. Mana kuat sampai dimensi the-end… ke nether aja sudah
ragu banget aku.” Responku heran.
Tidak usah
membayangkan yang tinggi-tinggi. Imajinasiku stuck ketika membayangkan
naga ender itu seperti apa. Belum lagi untuk dapat ke dimensi the-end, maka
harus mengumpulkan bahan yang ada di dimensi nether.
“di sini
kan logika mungkin nggak masuk. Nyatanya raid segitu banyaknya, bisa dibabat
habis oleh enam orang doang.” Yuki menjelaskan kemungkinan, berdasarkan
pengalaman yang ia lihat kala itu.
Enam orang
lawan puluhan. Jumlahnya mungkin sampai seratus, mereka semua punya peralatan
tajam atau pun sesuatu yang dapat memberikan damage lebih. Al hasil,
raid dapat dipukul mundur hanya dengan 6 orang.
Yuki benar.
Di sini, logika mungkin tidak masuk. Bergantung sama kemauan dan asa, seberapa
banyak hasrat ingin bertahan hidup. Biasanya ada aja nantinya kesempatan yang
akhirnya bisa survive meskipun kemungkinannya kecil kalau
diperhitungkan.
“dah lah.
Aku capek. Mau tidur. Skip malam, besok lanjut nambang pakai talenta Ore
Seeker bang…” Ujarku mengalihkan topik, pasrah ingin merebah.
Mendengar
itu, Yuki tertawa. Ia menunjukkan gestur mengiyakan, dan mulai telentang menatap
langit-langit kayu penginapan.
Tidak ada komentar: