MINECRAFTER VOL. 5 - Bab 15: Afterparty

 

Bab 15: Afterparty

 

Semua penduduk kembali beraktifitas seperti biasanya. Tidak ada ancaman, rasa khawatir atau pun takut. Semuanya kembali normal, para penjual buah membuka dagangannya dan mulai berinteraksi. Begitu pula dengan penjual lainnya, tidak kalah dengan si pandai besi yang mulai memukul-mukul besi untuk dibuat kerajinan yang berarti.

Mereka yang berjaga, biasanya memilih untuk tetap menerjang terjaga. Tidak menyahur tidur, atau bisa dikatakan terus trabas maju melakukan aktifitas tanpa tidur. Hanya dengan menjaga statistik stamina dan poin wareg, itu sudah cukup menjaga agar avatar tetap eksis.

Bangun, bagi mereka yang melakukan skip malam.

Tidak hanya mereka berdua, semua pemain yang mempunyai bed/ranjang dapat melakukan skip malam. Dalam artian mereka tidur, dan bangung ketika cahaya yang biasanya mereka sebut matahari ini meninggi memancarkan cahaya mentari yang terik perlahan.

“ahh Iruma! Kamu baik banget, sampai repot-repot begini!”

Salah satu menyeru tapi tetap menjaga intonasi agar tidak keluar sampai luar kamar penginapan.

Karena hanya dia dengan partner-nya, ia sontak langsung terbangun. Di samping ia terbangun karena settingan default, ia juga terpicu oleh suara partner-nya.

“jam.. oiya. Lupa..” Gumannya seraya mengucek kedua mata. Hal ini bukan karena ia merasa gatal atau ada sesuatu yang mengganjal kedua matanya, tetapi umumnya karena reflek. Dunia ini meskipun terlihat sekilas seperti kompleks realistis, tapi kalau dilihat lebih dalam dan detil masih ada seuatu yang kurang.

“Irma, kamu baru bangun? Bohong ah.” Puji partnernya seraya mengguncang tubuh avatarnya.

Ia bangkit dari tidur, kesadaran masih terombang-ambing. Tapi status keadaannya adalah terbangun, alias tidak tidur. “maksudnya? Mana bisa di sini bangun duluan… biasanya juga bangun barengan..” Ujarnya mengelak pujian partner.

“masa? Lah kalau bukan kamu terus ini… yang nyiapin ini siapa?” Ujarnya seraya menunjuk dua set mangkuk berisi potongan daging masak tertata rapi.

“heh? bukan. Bukan aku oi. Kan tadi malam aku tidurnya sama, lagian mana bisa bangun duluan. Apalagi ini satu party.” Ujarnya kaget heran.

*bruk

Benturan kecil tapi terdengar. Hanya orang dengan bakat petarung spesialis pedang yang peka akan suara. Sontak ia langsung melempar sesuatu, mengarah pada pintu kamar utama.

*prak!

Reflek partnernya yang bukan main, membuatnya terkejut dua kali lipat. Sekaligus khawatir.

“tunggu… ini hotel! Kamu lempar apa tadi, sampai pintunya jebol!” Ujarnya seraya bangkit dari ranjang, mulai mengecek pintu.

Namun partnernya mencegah, “kalau bukan kamu, terus siapa?” Ujarnya menyapu setiap sudut pandangan kamar.

“pintu kamar harusnya terkunci, lemparan batu tadi harusnya tidak membuat pintu kamar terbuka… kalau terbuka, artinya tadi ada yang masuk.” Ujarnya lagi serius.

 

***

Pagi-pagi sudah membuat keributan. Yuki yang selalu awas, nampaknya kalau ada seorang yang menyergap hendak membunuhnya, pelakunya mungkin sudah kalah start oleh persiapan kesiagaan si Yuki.

Ia bangun lebih dulu, mungkin sebenarnya kami bangun bersamaan tapi Yuki terkejut melihat ada hidangan siap sedia dia samping ranjang. Tepatnya di lantai kayu ini, penginapan.

“mungkin pelayan penginapan?”

“nggak, nggak mungkin!” Ketus Yuki.

Aku terkekeh, meringis heran seraya melihat dua mangkuk kayu dengan beberapa potong daging sapi masak penuh.

“Jangan dimakan dulu Irma!” Cegah Yuki.

Melihat sekilas, potongan daging sapi ini benar-benar matang atau masak dan siap untuk dimakan. Kalau di minecraft, tidak mungkin ini terjadi. Biasanya mob memberikan sesuatu pada pemain itu seperti serigala yang sudah jinak, tiap harinya memberi kiriman item atau barang yang random dengan ia menggigitnya dan membawanya ke majikannya.

Tapi kalau di dunia ini, villager saja punya kemampuan interaksi yang sama seperti manusia. Ini bisa jadi ada maksud tersendiri.

“Yuki, di mana tim-nya Ian?”

“Mereka… sebagian member mereka kan jaga malam… ditambah lagi mereka juga sudah punya basecamp sendiri kok.” Yuki menjelaskan.

“siapa yang menginap di sini selain kita?”

“um… sebelumnya aku nggak lihat ada daftar penghuni lain selain aku sama Irma doang.”

Aku berguman, memikirkan sesuatu. Yuki melihatku memasang wajah serius, ia sedikit panik dan khawatir “apa… ada orang masuk ya?”

“kalau ada orang lain, mungkin aku ragu. Tapi kamu kan tadi bilang kalau pintu kamar sudah dikunci, ndak mungkin lah ya ada pemilik penginapan ini buka pintu kamar yang sudah dipesan. Apalagi ini minecraft sudah realistis, etika sudah diperhitungkan.” Ujarku bangkit, membuka menu, memunculkan perlengkapan seperti biasanya.

Melihatku melangkah keluar, Yuki menyeru “hari ini mau ngapain Ir?”

“mau nambang atau cari permintaan tugas. Mungkin aja bisa dapat barang hadiah kayak pedangmu.”

Yuki melirik dua mangkuk, “jangan dimakan, aku nggak bisa jamin itu aman atau nggak. Lagian di inventori aku punya daging banyak, tunggu sebentar mau aku panasin dulu.” Ujarku seraya menyulut api di furnace/pengapian. Sembari menyiapkan prosesi masak.

Melihat Yuki mengambil langkah mendekat, aku mencegah “sek... kali ini biar aku sendiri. Walaupun di tas aku punya banyak stok daging, tapi kalau mubazir kayak kemarin, eman.”

Ia mundur, merengut. “Padahal mau tak bantu lo..”

Aku menggeleng, “kali ini ndak usah. Nanti, ada momen di mana aku butuh bantuan.”

Yuki menyeru, “pas hunting kan?” Ujarnya semangat.

“nah itu tau.”

Ia kembali merengut, padahal sebelumnya ia sudah pasang wajah ceria sesaat.

“boooo…..”

 

Kegiatan pagi hari berlangsung seperti biasanya. Villager kembali beraktifitas normal, di mana aku mengisi hari untuk memenuhi permintaan tugas dari salah penduduk pengrajin kayu dan turunannya. Yakni meminta beberapa potongan kayu oak dengan menebang beberapa pohon oak di dekat desa.

Karena tugas ini menjurus dalam hal tebang-menebang, si Yuki mengundurkan diri. Hal ini disebabkan ia mengaku tidak berguna karena bakat yang dimilikinya tidak mendukung. Akhirnya Reina, cewek pengguna kapak jadi pilihan untuk membantu agar tugas ini segera cepat selesai.

*prak

Wanita berambut pendek, Reina. Baru kenal tapi langsung bisa humble & enjoy.

“Irma, nanti yang sana biar aku yang nebang.” Ujarnya menyeka rambut poni dahi.

Aku mengangguk cepat. “kalau gitu, yang bagian ini aku ya..” Ujarku lanjut menebang.

 

Si Reina menebang cekatan. Ia dapat menumbangkan satu pohon ukuran sedang dalam sekali tebas, tapi memangkas cukup banyak stamina.

“pernah main rpg sebelumnya?” Reina berujar.

“rpg? Pernah. Lah Reina?”

Ia menancap kapak batunya pada dahan pohon besar, “pernah lah. Aku ikut jadi beta tester ini karena ingin main game rpg yang nuansanya berbeda..”

“dulu di rpg, suka sama kapak?” Tanyaku lagi.

“maaf? Kapak?” Ia merespon heran.

Ia tidak paham, “maksudku.. biasanya aku perhatikan, sebagian cewek itu milih job yang tidak keras atau cenderung serang menyerang.. misal job sebagai healer atau mage..” Ujarku menjelaskan.

Reina mengangguk paham, “oh itu… aku milih kapak jadi alat utama karena… ya memang jalannya begitu.”

“dari awal memang sudah niat untuk pakai kapak?”

“bukan.. bukan gitu..” Ia mengelak, menolak.

Kemudian mengambil napas sekilas, berujar “ya.. awalnya mau nyoba pakai pedang juga. Karena namanya juga game kayak gini, ciri khas untuk bisa bertahan hidup kan pakai pedang. Apalagi ini game minecraft. Bunuh naga aja pakai pedang atau panah…”

Ia menjeda sekilas, terpotong tanpa alasan. “hm… ya karena apa?”

“karena… emang ngga bakat pakai pedang lah.” Jawabnya seraya tertawa, mencabut kapak yang nancap tadi di salah satu dahan besar.

“lah kamu, kenapa juga milih bakat penambang? Kan laki-laki biasanya punya hasrat atau potensi ingin punya semua.. kan? Kan??” Ia menanya balik.

“kalau aku boleh bilang, sistem di sini itu memang tergantung sama potensi diri sendiri… aku berkali-kali pakai pedang dan kapak, malahan aku pakai kapak tambang ini hanya sebatas kalau nambang. Itu saja, hasilnya tahu-tahu bakat miner muncul.”

Reina berguman, “berarti temen-temen yang main di sini, yang sudah punya talenta.. itu kiranya sesuai sama potensinya?”

Aku mengangkat kedua tangan, “ya.. entah, mungkin gitu… ini asumsiku sendiri sih..”

“soalnya untuk masuk ke dunia ini, alatnya saja sudah kayak mindai isi kepala.. Mungkin saja alat vr ini bisa membaca potensi dan menerapkannya dalam game..” Tambahku lagi.

*prak

“hm hm iya ya.. baru ingat kalau aku masuk ke dunia ini, alatnya itu sampai melingkar menutupi kepala..” Ujar Reina, ia mengangkat alis memberikan ekspresi teringat sesuatu.

“tapi ini hanya game… kamu tahu, game ya tetep aja game…”

Reina tertawa, “ahaha… iya lah.. namanya game juga harus dinikmati.. apalagi masa beta, semua orang belum nyoba, kita sudah nyoba ambil start duluan…”

 

***

Yang dilakukannya menyalahi aturan.

Tugas mutlak yang diperintahkan atau sudah jadi mendarah daging olehnya adalah sebagai objek yang peka dan sensitif agresif.

Objek yang tidak menaati aturan, akan mendapatkan peringatan yang mengganggu objek itu sendiri.

“kuhh… aku lapar..” Ujarnya, memutar perut.

*sret

Ikatan lepas, hanya dengan melingkar kedua tangan, melakukan trik kecil nan simpel, lalu poof! Lepas.

“dia bahkan tidak tahu cara menali yang rumit dan benar…” Ujarnya bangkit berdiri.

“ikatannya bahkan bisa ditiru dalam sekali praktek… maksudnya apa dia, bukannya tawanan harus diikat erat dan dijaga?”

“tapi apa ada sesuatu, kenapa ia tidak mengikat simpul mati?”

“kenapa ia hanya mengikat simpul pita, yang hanya dengan satu utas tali ditarik maka lepas seutuhnya?”

Sepanjang ia mengomel, mengobrol pada diri sendiri. Mencoba menganalisa situasi. Namun, tadi yang awalnya pikirannya penuh dengan rasa heran kebingunan, tiba-tiba sumpek dan ingin berontak.

“…pedang, kapak, kapak… di mana kapakku? Di mana kapakku??!” Ia menyeru berteriak.

“di luar sana ada penduduk desa, dia harus dimusnahkan!” Seru ia lagi.

Karena ia bebas, seketika langsung mencari cara agar dapat keluar.

“kamar… kamar… keluar. Kapak, tidak.. tidak perlu kapak.. pakai kepalan tangan sudah cukup itu. Mereka tidak pakai armor atau pelindung rompi semacamnya…”

Entah, sesuatu nampaknya membisiki dan merasuk pikirannya. Sehingga dia langsung bertingkah ganas.

*brak

Tapi keganasannya seolah terkurung tidak dapat terlontar lampiaskan. Pintu dengan durabilitas nyaris setara dengan besi, menghalangi.

“pintu ini, engsel besi… ketahanan tidak mungkin tertembus dengan dorongan biasa…” Ujarnya dengan mata memindai tiap sisi pintu, seolah-olah ia memang melakukan analisa.

“tidak ada waktu, tidak ada waktu… penduduk desa, ada… terlihat!”

*brak!

Terlalu tergesa, ia mundur lalu mencoba mendorong, memukul pintu agar dapat dobrak keluar. Namun, kekuatan dorong dan pukulan olehnya kalah telak dengan ketahanan engsel pintu yang terbuat dari besi.

Ia seketika melutut, mengerang “ah… sakit…” dengan wajah menahan sakit nyeri karena menabrak objek keras tanpa pelindung.

“mereka sudah makan belum ya? aku belum dikasih makan..”

 

*ceklek

Karena malam hari, tidak ada sesuatu yang dapat diburu. Ia memilih untuk keluar sebentar, menghajar satu ekor sapi yang kebetulan berkeliaran di luar pedesaan.

“ini harusnya lebih dari cukup..”

Perlahan, hati-hati ia mengiris dan mulai mengolah daging hasil buruan. Pelan-pelan, senyap tapi pasti jadi. Ia sudah berlatih dan menonton banyak video edukasi tentang cara memasak, di mana ia dapat menjamin hasil masakannya layak untuk di makan dan punya cita rasa yang lezat.

“bagaimana cara memanggil mereka?”

“akang? Agan? Sis? Kaka? Kakanda?”

Lagi-lagi ia mengomel sendiri selagi di depannya terlelap dua insan sedang beristirahat terkulai merebah di ranjang.

“Kakanda… mungkin ini bagus..”

 

Setelah meletakan hidangan, ia kembali ke sel miliknya. Di salah satu bacaan yang ia baca, adalah tetap mengutamakan etika dan sadar diri.

“entah aku mungkin sekarang jadi apa, besok dieksekusi atau bebas.. mungkin saja.”

“karena sekarang statusnya aku sebagai… mungkin sebagai tawanan… maka bertingkah seperti tawanan..” Ujarnya membuka pintu perlahan dan menutupnya kembali.

 

***

Usai menebang, mendapatkan cukup bahan untuk nanti laporan ke villager yang memberikan quest. Imbalan beberapa biji emerald di dapat. Karena aku dan Reina sebelumnya pernah main minecraft, kami sempat berpikir, “ini emerald bakal worth nggak ya di sini?”

Maksudnya apa di sini emeraldnya hanya bisa dipakai untuk mata uang alias sebagai material utama untuk jual beli.

 

Mengingat sebelumnya si pemanah, Lenka. Ia berujar akan emosinya yang entah kenapa. Intinya ia memintaku untuk melakukan jaga malam bersamanya. Entah, yang satu ini jujur aku masih aneh dan belum bisa membaca ekspresi sifatnya. Pendiam, cukup misterius dan aku rasa hanya Ian yang sering berusaha untuk mengobrol dengannya.

Seperti biasanya, Lenka mengambil posisi. Ia berada di menara pengintai atau watch tower. Sebelum itu ia meminta untuk berpatroli di bawah, yakni berada di permukaan. Aku menolak, alasan karena ia memiliki talenta pemanah/archer di mana kemampuan penglihatannya sudah ditingkatkan karenanya.

“ah semoga ini berjalan cepat… ndak enak aku sama si Yuki.” Gumanku.

Sejujurnya, kami melakukan shift jaga malam ini sempat terjadi adu argumen. Di mana kalau hanya dua orang yang berjaga, maka kemungkinan adanya raid atau serangan/ambush itu sulit dihindari karena hanya dua orang yang melakukan jaga malam.

Namun, di samping itu tim Ian seperti Reina, Fardan. Mereka ternyata begadang cukup lama, dan ini memasuki hari ketiga. Bila mereka bersikeras untuk tidak tidur atau skip malam, kemungkinan besar akan muncul mob hostile dengan wujud seperti ikan talang namun terbang layaknya kelelawar.

Pemain minecraft pasti tahu mob tersebut, yang hanya muncul dipicu ketika ada pemain yang tidak tidur selama lebih dari tiga hari atau terkena efek insomnia sehingga tidak dapat tidur alias skip malam.

Kala aku bermain minecraft, belum pernah ketemu sama phantom. Ya, nama mob hostile tadi adalah phantom. Di namakan phantom yang mungkin artinya hantu, dikaitkan dengan tidur tidak tenang karena dihantui sesuatu. Mungkin itu sih, hanya persepsi. Kalian boleh percaya atau tidak.

“Iruma.”

Lenka memanggil, suaranya berasal dari belakang. Artinya ia turun dari menara pengintai/watch tower.

“ada apa? apa ada mob?” Responku segera.

Ia menggeleng, “tidak.. aku lihat tadi, sepanjang area yang sudah ditancapkan sama obor.. ndak ada mob hostile yang lewat atau kelihatan..”

“zombi zombi?” Tanyaku lagi, meyakinkan. Tidak mungkin tiada malam tanpa adanya zombi.

Sembari menunjuk busur panahnya, “beberapa sudah aku bereskan, lewat tembakan jarah jauh.”

“oalah sip sip.” Ujarku mengacungkan jempol.                                                                              

 

Melakukan jaga malam tapi tidak terikat party. Jadi semisal aku atau Lenka melucuti senjata menyerang sesama, kemungkinan bisa terjadi. Entah, kalau misalnya satu party terus kebal sesama tim atau tidak.

“ini hari keberapa semenjak uji beta?” Ujarku menyeletuk tiba-tiba sembari memandangi langit penuh bintang.

Lenka menggumam, “hm… kalau dihitung dari awal… ini masuk hari ketujuh kali ya?”

“hari ketujuh? Cepet banget.” Jawabku cepat.

Mengambil puluhan batang anak panah kemudian membuka menu, “ngga terasa, karena dinikmati.” Ujarnya seraya memasukkan puluhan batang anak panah ke dalam inventorinya melalui fitur transfer di menu.

“tujuh hari… itu berapa tugas sudah kelewat? Kebayang pas kuliah. Tugas bejibun…”

Lenka menyunggingkan senyum, “ini berarti Iruma biasanya aktif di perkuliahan ya?”

Pertanyaan Lenka memancing flashback masa-masa kuliah. Walaupun saat ini sudah tahap akhir dan tinggal misi final, kenangan serta perjuangan untuk bisa bertahan tetap masih mengenang.

“ya.. kalau aktif mungkin nggak sih. Hanya saja, ya.. gimana ya aku bilangnya…” Ujarku ragu.

“lah kenapa? Memangnya kenapa? Apa itu hal yang tabu?”

Aku menggeleng, “bukan, bukan gitu… tapi gimana ya?”

Lenka berguman sejenak, kemudian berujar “ah di perkuliahan Iruma punya banyak fans ya?”

Raut muka avatar ini mungkin mendeskripsikan demikian. Meski hanya ekspilisit singkat, tapi Lenka nampaknya bisa membaca raut muka dan berhasil menebak.

“ya.. kalau fans sih nggak, tapi aktif kalau ada yang mancing doang. Hehe”

“mancing doang? Kayak gimana, seperti aktif kalau ada yang tanya gitu?”

Aku menangguk, “yep. Seperti itu, banyak yang tanya kepada saya. Padahal saya sendiri ngerasa kurang dan belum punya pengalaman dan pengetahuan mumpuni.. aneh.” Ujarku, mata seraya terus menyapu tiap pandangan. Barang kali ada purwarupa orang-orangan berdiri lunglai berwarna semu hijau.

Lenka kaget, “loh. Kok aneh, kan harusnya…”

Aku memotong, “bukan, bukan aneh yang tanya.. tapi akunya, sudah tahu jadi patokan kalau ada persoalan. Tapi belum berusaha untuk farming, grinding, group boosting, dan lain-lainnya untuk naikin statistik.”

Ia tertawa, “ahahah, ini istilah farming, grinding, sampai group boosting.. berarti Iruma sering main game ini…”

“Laki-laki biasanya zaman sekarang banyak sekali yang main game, meskipun nggak hobi tapi sebatas untuk nyalurkan bosan…” Ujarku, setelah berujar melirik Lenka. Ia nampaknya sedari tadi tidak melepas pandangan dan terus melirik aku.

Mungkin skill pasif yang ia miliki punya kemampuan insting atau perasaan kalau ada serangan atau ancaman kali ya?

Karena ia tidak henti menyorot, timbul rasa canggung. Untuk mengatasinya, akhirnya mau tidak mau aku harus melanjutkan topik. Tidak mungkin rasanya jaga malam tapi canggung-canggungan. Setidaknya mengobrol ringan untuk killing time.

“Lenka tahu, artinya Lenka pernah main game.. dan paham yang aku ucapin, berarti main gamenya sudah lama banget.. iya?”

Ia berguman, memutar pandangannya melirik satu titik. Mulai berpikir sejenak kemudian menjawab “ya.. kalau main game itu nggak begitu. Tapi langsung paham aja, karena istilah farming ndak mungkin dikaitkan sama dunia pertanian. Ya artinya istilah itu pasti ada hubungannya sama dunia game.”

Aku terkejut mendengar penjelasannya, “weh logikamu jalan banget. Pasti di sekolah top frag yo?”

Ia terkekeh, merunduk sekilas “heheh. Udah lulus sekolah aku. Ini masih suffer di perkuliahan.”

“weh masa?” Ujarku kaget.

Lenka mengangguk cepat, ia tidak berujar.

“maaf maaf. Aku kira… oiya ya, avatar di sini masih bisa di modifikasi.. hehe, maaf banget Len.” Ujarku segera meminta maaf. Aku salah mengira kalau Lenka yang fisiknya 30 persen lebih pendek dibandingkan aku.

Padahal kalau kuliah, tinggi badanku ini sudah terhitung pendek banget. Bahkan ucapan kalau aku masih duduk di bangku SMA atau masih kuliah semester awal itu tidak jarang terjadi. Hal ini bukan berarti aku yang tidak bertambah tinggi, tapi artinya adalah tubuh ini awet muda :v

Lenka menggeleng cepat, “nggak. Ini nggak dimodifikasi. Avatar ini langsung konversi otomatis.”

Mendengar Lenka menjawab singkat, menambah rasa canggung.

Resiko canggung sampai pagi, akhirnya aku mengaku kalau ini avatar yang aku gunakan adalah tubuh asli atau tidak ada mod, jadi langsung konversi otomatis. “ah ok ok. Sama, ini juga avatar konversi langsung otomatis. Ndak aku modifikasi atau setting.”

Menurutku, mengakui kalau avatar ini adalah konversi otomatis cukup bahaya di dunia maya. Apalagi ini sudah seperti dunia nyata, di mana semua bisa berinteraksi bebas dengan avatar mereka masing-masing. Cukup beresiko semisal mengucap kalau avatar ini adalah konversi otomatis.

Karena kita tidak tahu, lawan bicara atau di komunitas ini semuanya protagonis.

 

Setelah mengakui kalau avatar yang aku gunakan ini juga konversi otomatis. Momentum hening terjadi, selama kurang lebih hampir tiga sampai lima menit diam.

“tentang yang tadi, di sekolah, maksudku di kuliah… melihat cara pikirmu kayak gitu, artinya di kuliah juga top frag kan?” Tanyaku lagi, menyangkut tentang pola pikirnya yang kritis, ia bisa cepat paham akan istilah yang bisa dibilang asing kalau belum main game secara mendalam.

Ia menggeleng, sudah lima menit yang lalu. Ia melepas pandangan, kembali fokus memandang hutan dan pemandangan luar desa. Matanya awas akan mob hostile semisal muncul.

“tunggu… maksudnya top frag?” Ujarnya setelah diam lima detik.

Ia tidak tahu top frag?

“top frag… maksudnya itu seperti jadi nomor satu atau termasuk orang-orang yang punya skill lebih dari teman-temannya..” Aku menjelaskan, sepertinya istilah top frag ini gagal dipahami. Artinya bisa jadi ambigu atau sulit dipaparkan bila dilihat dari unsur bilingual.

Setelah mendengar penjelasanku, Lenka paham. Ia berujar “oh itu.. nggak, justru aku di kuliah malah sering tanya-tanya.”

“tanya-tanya, art—“

“bukan berarti tanya-tanya itu paham terus aktif di kuliah… tanya ini karena beneran nggak paham dan harus tanya, minta orang lain menjelaskan ulang.” Ujar Lenka segera memotong.

Dan hening terjadi.

 

[Yukina: Hello.]

Di tengah menunggu dan mengawasi, muncul notifikasi. Yuki mengirim pesan langsung, sontak aku membukanya. Sebelumnya sudah nebak kalau Yuki pasti akan mengirim pesan, entah cepat atau lamban.

[Iruma: Helo.]

Belum satu menit, Yuki membalas,

[Yukina: Masih lama?]

Ia belum tidur, entah ini jam berapa. Sudah sepekan kiranya aku di sini tapi belum bisa bikin jam dengan menggabungkan redstone dan gold.

[Iruma: Wait, ini belum tidur beneran ini?]

[Yukina: Aku tanya, masih lama?]

[Iruma: Ya, masih lama lah. Namanya juga shift jaga, sampai pagi lah.]

[Yukina: oh.]

 

[Yukina: hati-hati.]

[Iruma: Maksudte?]

[Yukina: ya.. hati-hati ae..]

[Iruma: Bayangkan coba, dah tahu aku ini kadang bisa jadi penakut yang akut, malah ditakut-takutin.]

[Yukina: Ndak.. maksudku hati-hati itu dijaga poin wareg-nya jangan sampai drop. Nanti kayak aku kemarin, pulang-pulang tahu-tahu tinggal 10 persenan.]

[Iruma: iya deng. Sek.]

 

Melihat si Yuki mengingatkan poin wareg, aku lupa kapan terakhir makan. Ingatku beberapa saat ketika tengah menebang sama Reina.

Poin wareg: 18%

[Iruma: Anjer, tinggal 18 persen!1!]

[Yukina: Gimana?]

[Yukina: Lah iya kan… cepet, makan.]

[Iruma: btw, kok bisa cepet banget yo. Biasanya kalau poin wareg tinggal 30 persen kebawah, itu kerasa lapar e.]

[Yukina: Itu efek di malam hari. Apalagi ini kamu jaga malam ya kan. Jadi rasa laper itu sudah ketutup sama hawa-hawa antusias untuk siap nebas mob.]

[Yukina: Tapi tunggu, ini kamu jaga malam, kan ndak jadi penyerang utama kan? Yang penyerang utama kan Lenka. Kok bisa ya? wkwkw.]

[Iruma: Nggak mungkin lah, aku ganti talent hanya untuk jaga malam. Jaganya mungkin dua atau tiga hari sekali, tapi sensasi ganti talent-nya yang males.]

 

[Yukina: oiya. Lenka. Ajak sekalian, aku yakin ia mungkin lebih lapar dibanding kamu. Skill pasifnya archer itu bisa jadi nguras tenaga.]

[Yukina: Sante, aku izinin. Kamu boleh ngasih makan Lenka :v]

[Iruma: dahlah, nggak paham aku.]

 

Melihat aku mengetuk-ngetuk udara atau maya, Lenka berujar “lagi setting inventori? Dari tadi aku lihat kamu kayak nulis-nulis maya.”

“ah.. ini, si Yuki. Ia menceritakan pengalaman shift jaga malam kemarin..”

Lenka menangkupkan dagu, “oh.”

Begitu menemukan potongan daging sapi, sisa kemarin tapi durabilitasnya masih layak dimakan. Aku berujar, “syukurlah masih ada potongan daging… Lenka, mau daging nggak? Yuki tadi cerita kalau pas jaga malam, itu nguras stamina pastinya poin wareg juga turun. Jadi, ini aku ada potongan daging, mau?”

Lenka cepat berujar, “mau. Aku mau.”

Karena ia mengiyakan, setuju. Maka, setidaknya untuk memberi sensasi hangat aku harus membuat furnace atau pengapian.

Melihat aku mulai membuat pengapian, Lenka berujar “Iruma, ada apa?”

“hm? Ah ini, mau aku panggang ke api sedikit, ya setidaknya ada sensasi hangat, nggak dingin..”

“pakai furnace? Kenapa nggak pakai fire camp?” Ujar Lenka.

“fire camp?”

“iya.”

Fire camp atau api kemah, versi lain furnace tapi lebih difokuskan untuk membakar atau memasak makanan dengan memberi hawa panas oleh api yang disulut.

“ide bagus.” Ujarku mengiyakan.

 

Model menggunakan fire camp adalah dengan menaruh daging atau ikan yang hendak dimasak pada dekat api, tepatnya diletakan saja di batang dahan yang melingkari api.

“eh jangan, jangan di tempelkan situ..” Lenka menyentak begitu melihat aku hendak meletakan potongan daging ini di areal dahan yang melingkari api.

Karena bingung, aku menggeleng sana-sini seolah hendak mengucap “kalau nggak taruh sini, terus taruh mana?”

Lenka bangkit, “ah… sini aku contohin..”

Ia mengeluarkan tiga sampai empat batang. Kemudian dipatahkan sedikit sisi, lalu menancapkan dua batang di antara api kemah. Kemudian meminta potongan daging tadi untuk ditusuk seperti sate, barulah di tanggalkan di atas api, dengan mengandalkan dua pilar batang yang berdiri di antara ujung.

Melihat cara Lenka yang dicontohkannya, lebih mirip seperti praktek barbeque.

“oalah bbq maksudnya..” Ujarku menyimpulkan.

Lenka menyeka poni, “iya. Kalau ditaruh situ, ya tetap bisa sih. Tapi di minecraft ini kita nggak tahu apa ada bakteri atau apalah yang biasanya muncul kalau kurang higienis ya kan?”

Aku terkekeh, lagi pula kalau semisal ada. Hal ini akan membuat beban resource yang dimuat. Apalagi kalau dicontohkan, satu sendok saja sudah mengandung puluhan atau ratusan bakteri. Resiko kalau ditambahkan di dunia ini, akan menyiksa resource dan membunuh para programer yang membuat rentetan kode perintah pemrograman untuk menggerakkan tiap sel individu bakteri.

Belum lagi kalau tiap individu bakteri membelah dan membentuk individu yang baru, dengan pribadi sifat yang berbeda-beda. Aku yakin proyek ini akan menyiksa para programer.

 

Proses memasak selesai, Lenka menyerobot. Ia langsung mengambil beberapa daging yang ditusuk layaknya sate, lalu menunjukkan gestur membuka menu. Aku tidak yakin, karena Lenka tidak satu party. Tampilan panel menu Lenka tidak terlihat karenanya.

“eh?” Ujarnya kaget.

“ada apa?”

“kamu bisa buat mangkuk atau piring? aku kehabisan material, ndak bisa bikin.”

Mengingat tadi aku sempat farming, mengambil cukup banyak kayu oak. Pastinya bisa. “ok ok. Tunggu,” Ujarku segera.

 

Jadi, ini yang pertama kalinya. Di mana aku hanya menyediakan bahan, lalu orang lain yang mengolah dan menyajikan. Lenka, ia yang memasak sampai menyajikan. Belum sempat aku terima kasih, Lenka buru-buru memakan potongan daging yang telah dibagi rata olehnya. Ia mungkin memang sudah lapar banget.

 

***

“Untung saja aku punya beberapa makanan di storage. Irma lupa ngasih jatah makan malam untuk mbak.. siapa namanya?”

“ar… rrr….t”

Dia mengerang, tiap kali disodorkan potongan daging ayam. Berkali-kali ia menolak. Yukina, ia harus memberinya asupan makanan atau wanita tawanan ini akan mati kelaparan.

Melihat respon tawanan yang menyeruak berusaha berontak, Yuki berujar “eh jangan gitu. Aku tanya, siapa namamu? Apa pillager di sini juga punya nama seperti villager juga?”

Yuki kembali menyuapi sepotong demi sepotong, meskipun ia berusaha menolak tapi begitu daging masuk ke mulut, ia buru-buru mengunyah dan menelan.

“kamu ini, nolak-nolak tapi begitu masuk ke mulut langsung buru-buru dikunyah. Lapar banget kan kamu?” Ujar Yuki melihat tingkah tawanannya.

“semalam, poin waregku juga di bawah standar rata-rata. Malas untuk makan, sendirian.. nggak enak ya kan makan sendiri.. ya kan? Kan?”

Yuki kembali menyuapi tawanannya. Kali ini tawanannya tidak menolak, langsung melahap.

“eh eh.. langsung dimakan hihihi, mau nih ya..” Ujarnya menggasak.

Ia merunduk, bersembunyi di balik poni rambutnya yang berantakan. Sambil mengunyah, tanpa berkomentar.

 

Ditengah-tengah ia menyuapi tawanannya, ia berujar. Berbicara untuk dirinya, meskipun secara tidak langsung ia seolah curhat dengan wanita yang duduk sila dengan kedua tangan terkekang.

“hm… apa malam ini aku maju aja ya? Kemarin aku jaga malam juga akhirnya aku izin skip karena lapar nggak tertahan dan malu kalau mau minta temen-temennya Ian…”

Mendengar wanita pengguna pedang ganda mengoceh diri sendiri, dia hanya menaikkan dagu meliriknya sekilas. Lalu melanjutnya mengunyah.

“kenapa coba aku nggak boleh ikut.” Ujarnya lagi. Pillager yang diikat ini hanya menoleh menatapnya, lalu sejenak kemudian ia membuka mulut.

Yukina cepat merespon, ia menyodorkan kembali sepotong daging menuju mulut cewek pillager ini. Lalu lanjut berujar, “nggak boleh ikut, alasannya dua orang cukup dan agar impas. Kemarin sudah shift jaga, lalu gantian gitu ceritanya…”

“…um.” Ia mengangguk.

Begitu ia tahu kalau pillager yang disuapinya mengangguk berguman seolah ia memang menyimak apa yang diujarkannya, Yuki langsung berujar intensif “hah? Kamu menyimak?”

Tawanan pillager ini sontak langsung kaget, ia kembali merunduk. Bersembunyi di balik poni rambutnya seraya mengunyah.

Yuki menghela napas lega, ia menyunggingkan senyum lalu melanjutkan curhatannya.

“ya… shift jaga malam itu gimana ya… gampang-gampang susah. Tapi sepanjang malam, di sini belum pernah ketemu endermen.”

Pillager itu sontak terkejut, ia seolah kaget begitu Yuki mengucap nama mob yang sebenarnya netral, tapi kalau terpicu atau kena trigger bisa menjadi buas nyaris tak terkalahkan.

“hm? Kamu kaget, kenapa? Apa kamu, kalian para mob itu terhubung antar mob lain?” Tanya Yuki penasaran melihat tingkah tawanannya yang tiba-tiba kaget terkejut.

Seperti biasanya, ia hanya merunduk lalu mencoba kembali mengunyah. Tapi mendapati daging telah habis ia telan, ia menggigit bibir. Yuki mengetahuinya, sontak ia kembali menyodorkan daging ayam dan dia langsung merespon melahapnya.

Di samping pillager yang ia tawan ini melahap daging, Yuki dalam pikirannya seolah memulai imajinasinya.

“Endermen.. belakangan ini, aku belum lihat endermen. Terakhir pas merantau cari pedesaan. Kalau di sini belum, bagaimana kalau—“

[72%] Iruma, Ore Seeker Lv. 52

“heh? apa tadi perasaanku aja ya, baris hp-nya Iruma nurun 20 persen atau hanya kompilasi perlahan nurun?”

[69%] Iruma, Ore Seeker Lv. 52

“anjer.”

 

Ia bermain cukup lama. Bahkan saking telitinya, ia cukup hafal akan tipikal serangan mob. Mulai dari poin berkurangnya health sampai taktik modenya.

“mbak. Dugaanmu benar mbak. Kayaknya ada endermen ini. Baris hp-nya Iruma nurun drastis tiba-tiba. Talenta yang ia pakai saat ini penambang, ndak ada efek tambahan attack, hanya insting untuk bertahan hidup. Apa lagi Lenka, pemanah. Pasti ada yang micu endermen sampai akhirnya ia menyerang mereka berdua.” Yuki berujar panjang lebar.

“aku mau keluar. Ini, daging-daging ayam ini habiskan.. Aku yain kalo aku keluar kamar. Kamu pasti bisa melepas itu ikatan.. ya kan?” Ia meletakan piring yang berisi potongan daging ayam lalu membuka menu, mengambil peralatan untuk bersiap.

 

Kemampuan fokus Yukina semakin membaik semenjak ia menggunakan slot talenta keduanya diisi dengan bakat pedang/swordman. Hasilnya kemampuan fokus meningkat, cekatan, dan terbukanya kemampuan menggunakan dua pedang.

Namun disamping kelebihan yang ia dapat, tetap ada kekurangan. Di mana ia mungkin tidak menyadari, tapi Iruma mengetahuinya sejak awal ia menggunakan dua pedang.

Yakni ceroboh, teledor. Karena ia begitu cekatan, ditambah lagi kemungkinan ia memberikan serangan beruntun sangat tinggi, karena ia menggunakan dua pedang. Hal ini memicu terjadinya lalai atau ceroboh.

Kejadian simpel yang sering terjadi adalah, ia sering kehabisan stok stamina karena terlalu banyak mengeluarkan skill. Walaupun sebenarnya kalau ia menyerang sekedar menebas tanpa menggunakan skill itu bisa, namun pengguna pedang mungkin kurang mengena bila menebas tanpa adanya efek cahaya/light effect.

“Sapi, Sapi… tadi, Domba.. Ayam..” Gumannya seraya setengah berlari. Mencoba melatih fokus, sembari berlari ia berusaha meningkatkan pendengaran dengan memadukan fokus.

 

Kecepatan larinya bertambah mendapati baris nyawa partnernya terus menurun.

Di tengah perjalanan ia mencoba mengirim pesan singkat untuk partnernya, tapi tidak segera dilihat atau dibaca. Artinya saat ini terjadi peperangan atau pertarungan.

 

*vwomp!

Hampir sampai menuju pintu luar. Langkah Yuki terhenti, suara khas yang ia dengar dan ia kenal. Ia diam sejenak. Untuk menunggu suara tersebut muncul, harapannya ia dapat mengetahui dari mana suara teleport khas endermen.

*vwomp!

“ok. Arah 2.” Seraya menarik salah satu pedangnya yang menggantung di pinggang. Lalu lanjut berlari.

“jaga malam dua orang itu gila. Apalagi Lenka itu pemanah, ia pasti reflek mengarahkan bidikannya ke mata endermen.” Gumannya seraya berlari.

Sesampainya di luar area pedesaan. Area di mana pemain harus jaga malam. Yuki kembali diam, meskipun ada beberapa mob hostile seperti zombi, skeleton dari kejauhan. Ia berusaha mengabaikannya. Kalau semisal ada skeleton yang melepas panah, ia sudah mempersiapkan reflek untuk menepisnya.

*spang

Suara tali pegas dilepas, panah melucut. Yuki merespon segera, dan mengayun pedang.

Namun Yuki meleset, ia rupanya salah arah. Di mana harusnya ia menebas sisi kiri, namun refleknya berbalik. Al hasil panah melesat dan menancap di bahu kanan.

Bahu kanan tertembak panah, poin health akan berkurang bila terlalu banyak—

“yap. I knew that..” Ujarnya memotong monolog sistem, memberitahukan kalau ia tertembak.

[94%] Yukina, Warrior Lv. 56

“satu panah kok ngurangnya sampai 6 persen loh.. sakit banget.” Ujar Yuki mencabut panah yang menancap di bahu kanan.

 

*vomp!

Suara teleport terdengar. Yuki menoleh reflek, ia harus membiasakan ini. Karena terkadang informasi tidak terulang dua kali atau tiga kali. Ia harus melatih terus fokus, meskipun bila ia memaksimalkan fokus pada pendengaran maka bagian lain seperti reflek menepis pedang bila ada serangan akan berkurang.

“oi Iruma. Di mana kamu.” Ujar Yuki.

Kali ini ia berlari, mengarah jam 2. Sesuai perkiraan yang ia tahu.

 

*vwommp!

Suara terdengar, namun lebih samar. Seolah menjauh. Yuki mencoba kembali fokus, namun satu skeleton nampaknya mendekat dan mendapati ada objek yang berada di radius tembak.

Sontak, Yuki melepas pedang dan menepis seperti biasanya. Lalu mengambil dash, membabat habis beberapa mob hostile yang tersebar di dekatnya.

*vomp!

Tengah ia sedang tebas-menebas, suara teleport kembali terdengar. Ia mengeluh kesal, “uh. Napa sih munculnya pas lagi duel. Suaranya ke-distorsi sama sayat-sayatan pedang uh.”

*vwomp!

Muncul terdengar kembali. Namun fokus Yuki terlambat, sumber suara tidak terkejar olehnya.

“kalau kemampuan fokus ini aku fokuskan ke pendengaran. Reflek pedang ini mungkin bakal drop.”

Suara panah lagi-lagi melesat, Yuki sontak reflek menepis. Kali ini ia menepis tanpa menggerakkan seluruh badan. Hanya sebatas mengayunkan tangan, tebasan satu tangannya cukup tepat dan kuat untuk mengiris batang panah berdiameter tipis.

[98%] Yukina, Warrior Lv. 56

“proses healingnya mayan cepet. Ini mungkin bisa…” Ujar Yuki.

Ia memulai fokus. Melepas semua reflek, hanya berfokus pada pendengaran. Di tempat yang terbuka, resiko sangat tinggi. Terlebih untuk ia fokus, mata harus terpejam sejenak sampai target terdengar dan mulai melacak.

*spang

Panah melesat namun meleset, tidak mengenainya. Yuki menggumam “tunggu… tunggu… keep focus sampai ambience endermen kembali muncul..”

*splat *splat!!

“tunggu.. just wai—“

*splat!

“hold.”

*splat!!

“c’mon..”

*splat! *splat!!

 

*splat!

 

*vwomp!

Mata terbuka, ia menyeru “arah 9, 20 meter.” Seraya menarik dua pedang sekaligus dan segera membabat mereka, para tengkorak tulang belulang yang senantiasa melepas panah selama lima detik.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.