MINECRAFTER VOL. 5 - Bab 15: Afterparty
Bab 15: Afterparty
Semua
penduduk kembali beraktifitas seperti biasanya. Tidak ada ancaman, rasa
khawatir atau pun takut. Semuanya kembali normal, para penjual buah membuka
dagangannya dan mulai berinteraksi. Begitu pula dengan penjual lainnya, tidak kalah
dengan si pandai besi yang mulai memukul-mukul besi untuk dibuat kerajinan yang
berarti.
Mereka yang
berjaga, biasanya memilih untuk tetap menerjang terjaga. Tidak menyahur tidur,
atau bisa dikatakan terus trabas maju melakukan aktifitas tanpa tidur. Hanya
dengan menjaga statistik stamina dan poin wareg, itu sudah cukup menjaga agar
avatar tetap eksis.
Bangun,
bagi mereka yang melakukan skip malam.
Tidak hanya
mereka berdua, semua pemain yang mempunyai bed/ranjang dapat melakukan skip
malam. Dalam artian mereka tidur, dan bangung ketika cahaya yang biasanya
mereka sebut matahari ini meninggi memancarkan cahaya mentari yang terik
perlahan.
“ahh Iruma!
Kamu baik banget, sampai repot-repot begini!”
Salah satu
menyeru tapi tetap menjaga intonasi agar tidak keluar sampai luar kamar
penginapan.
Karena
hanya dia dengan partner-nya, ia sontak langsung terbangun. Di samping ia
terbangun karena settingan default, ia juga terpicu oleh suara
partner-nya.
“jam..
oiya. Lupa..” Gumannya seraya mengucek kedua mata. Hal ini bukan karena ia
merasa gatal atau ada sesuatu yang mengganjal kedua matanya, tetapi umumnya
karena reflek. Dunia ini meskipun terlihat sekilas seperti kompleks realistis,
tapi kalau dilihat lebih dalam dan detil masih ada seuatu yang kurang.
“Irma, kamu
baru bangun? Bohong ah.” Puji partnernya seraya mengguncang tubuh avatarnya.
Ia bangkit
dari tidur, kesadaran masih terombang-ambing. Tapi status keadaannya adalah
terbangun, alias tidak tidur. “maksudnya? Mana bisa di sini bangun duluan…
biasanya juga bangun barengan..” Ujarnya mengelak pujian partner.
“masa? Lah
kalau bukan kamu terus ini… yang nyiapin ini siapa?” Ujarnya seraya menunjuk
dua set mangkuk berisi potongan daging masak tertata rapi.
“heh?
bukan. Bukan aku oi. Kan tadi malam aku tidurnya sama, lagian mana bisa bangun
duluan. Apalagi ini satu party.” Ujarnya kaget heran.
*bruk
Benturan
kecil tapi terdengar. Hanya orang dengan bakat petarung spesialis pedang yang
peka akan suara. Sontak ia langsung melempar sesuatu, mengarah pada pintu kamar
utama.
*prak!
Reflek
partnernya yang bukan main, membuatnya terkejut dua kali lipat. Sekaligus
khawatir.
“tunggu…
ini hotel! Kamu lempar apa tadi, sampai pintunya jebol!” Ujarnya seraya bangkit
dari ranjang, mulai mengecek pintu.
Namun
partnernya mencegah, “kalau bukan kamu, terus siapa?” Ujarnya menyapu setiap
sudut pandangan kamar.
“pintu
kamar harusnya terkunci, lemparan batu tadi harusnya tidak membuat pintu kamar
terbuka… kalau terbuka, artinya tadi ada yang masuk.” Ujarnya lagi serius.
***
Pagi-pagi sudah
membuat keributan. Yuki yang selalu awas, nampaknya kalau ada seorang yang
menyergap hendak membunuhnya, pelakunya mungkin sudah kalah start oleh
persiapan kesiagaan si Yuki.
Ia bangun
lebih dulu, mungkin sebenarnya kami bangun bersamaan tapi Yuki terkejut melihat
ada hidangan siap sedia dia samping ranjang. Tepatnya di lantai kayu ini,
penginapan.
“mungkin
pelayan penginapan?”
“nggak,
nggak mungkin!” Ketus Yuki.
Aku
terkekeh, meringis heran seraya melihat dua mangkuk kayu dengan beberapa potong
daging sapi masak penuh.
“Jangan
dimakan dulu Irma!” Cegah Yuki.
Melihat
sekilas, potongan daging sapi ini benar-benar matang atau masak dan siap untuk
dimakan. Kalau di minecraft, tidak mungkin ini terjadi. Biasanya mob memberikan
sesuatu pada pemain itu seperti serigala yang sudah jinak, tiap harinya memberi
kiriman item atau barang yang random dengan ia menggigitnya dan
membawanya ke majikannya.
Tapi kalau
di dunia ini, villager saja punya kemampuan interaksi yang sama seperti
manusia. Ini bisa jadi ada maksud tersendiri.
“Yuki, di
mana tim-nya Ian?”
“Mereka…
sebagian member mereka kan jaga malam… ditambah lagi mereka juga sudah punya
basecamp sendiri kok.” Yuki menjelaskan.
“siapa yang
menginap di sini selain kita?”
“um…
sebelumnya aku nggak lihat ada daftar penghuni lain selain aku sama Irma
doang.”
Aku
berguman, memikirkan sesuatu. Yuki melihatku memasang wajah serius, ia sedikit
panik dan khawatir “apa… ada orang masuk ya?”
“kalau ada
orang lain, mungkin aku ragu. Tapi kamu kan tadi bilang kalau pintu kamar sudah
dikunci, ndak mungkin lah ya ada pemilik penginapan ini buka pintu kamar yang
sudah dipesan. Apalagi ini minecraft sudah realistis, etika sudah
diperhitungkan.” Ujarku bangkit, membuka menu, memunculkan perlengkapan seperti
biasanya.
Melihatku
melangkah keluar, Yuki menyeru “hari ini mau ngapain Ir?”
“mau nambang
atau cari permintaan tugas. Mungkin aja bisa dapat barang hadiah kayak
pedangmu.”
Yuki
melirik dua mangkuk, “jangan dimakan, aku nggak bisa jamin itu aman atau nggak.
Lagian di inventori aku punya daging banyak, tunggu sebentar mau aku panasin
dulu.” Ujarku seraya menyulut api di furnace/pengapian. Sembari
menyiapkan prosesi masak.
Melihat
Yuki mengambil langkah mendekat, aku mencegah “sek... kali ini biar aku
sendiri. Walaupun di tas aku punya banyak stok daging, tapi kalau mubazir kayak
kemarin, eman.”
Ia mundur,
merengut. “Padahal mau tak bantu lo..”
Aku
menggeleng, “kali ini ndak usah. Nanti, ada momen di mana aku butuh bantuan.”
Yuki
menyeru, “pas hunting kan?” Ujarnya semangat.
“nah itu
tau.”
Ia kembali
merengut, padahal sebelumnya ia sudah pasang wajah ceria sesaat.
“boooo…..”
Kegiatan
pagi hari berlangsung seperti biasanya. Villager kembali beraktifitas normal,
di mana aku mengisi hari untuk memenuhi permintaan tugas dari salah penduduk
pengrajin kayu dan turunannya. Yakni meminta beberapa potongan kayu oak dengan
menebang beberapa pohon oak di dekat desa.
Karena
tugas ini menjurus dalam hal tebang-menebang, si Yuki mengundurkan diri. Hal
ini disebabkan ia mengaku tidak berguna karena bakat yang dimilikinya tidak
mendukung. Akhirnya Reina, cewek pengguna kapak jadi pilihan untuk membantu
agar tugas ini segera cepat selesai.
*prak
Wanita
berambut pendek, Reina. Baru kenal tapi langsung bisa humble & enjoy.
“Irma,
nanti yang sana biar aku yang nebang.” Ujarnya menyeka rambut poni dahi.
Aku mengangguk
cepat. “kalau gitu, yang bagian ini aku ya..” Ujarku lanjut menebang.
Si Reina
menebang cekatan. Ia dapat menumbangkan satu pohon ukuran sedang dalam sekali
tebas, tapi memangkas cukup banyak stamina.
“pernah
main rpg sebelumnya?” Reina berujar.
“rpg?
Pernah. Lah Reina?”
Ia menancap
kapak batunya pada dahan pohon besar, “pernah lah. Aku ikut jadi beta tester
ini karena ingin main game rpg yang nuansanya berbeda..”
“dulu di
rpg, suka sama kapak?” Tanyaku lagi.
“maaf?
Kapak?” Ia merespon heran.
Ia tidak
paham, “maksudku.. biasanya aku perhatikan, sebagian cewek itu milih job yang
tidak keras atau cenderung serang menyerang.. misal job sebagai healer atau
mage..” Ujarku menjelaskan.
Reina
mengangguk paham, “oh itu… aku milih kapak jadi alat utama karena… ya memang
jalannya begitu.”
“dari awal
memang sudah niat untuk pakai kapak?”
“bukan..
bukan gitu..” Ia mengelak, menolak.
Kemudian
mengambil napas sekilas, berujar “ya.. awalnya mau nyoba pakai pedang juga.
Karena namanya juga game kayak gini, ciri khas untuk bisa bertahan hidup kan
pakai pedang. Apalagi ini game minecraft. Bunuh naga aja pakai pedang atau
panah…”
Ia menjeda
sekilas, terpotong tanpa alasan. “hm… ya karena apa?”
“karena…
emang ngga bakat pakai pedang lah.” Jawabnya seraya tertawa, mencabut kapak
yang nancap tadi di salah satu dahan besar.
“lah kamu,
kenapa juga milih bakat penambang? Kan laki-laki biasanya punya hasrat atau
potensi ingin punya semua.. kan? Kan??” Ia menanya balik.
“kalau aku
boleh bilang, sistem di sini itu memang tergantung sama potensi diri sendiri…
aku berkali-kali pakai pedang dan kapak, malahan aku pakai kapak tambang ini
hanya sebatas kalau nambang. Itu saja, hasilnya tahu-tahu bakat miner
muncul.”
Reina
berguman, “berarti temen-temen yang main di sini, yang sudah punya talenta..
itu kiranya sesuai sama potensinya?”
Aku
mengangkat kedua tangan, “ya.. entah, mungkin gitu… ini asumsiku sendiri sih..”
“soalnya
untuk masuk ke dunia ini, alatnya saja sudah kayak mindai isi kepala.. Mungkin
saja alat vr ini bisa membaca potensi dan menerapkannya dalam game..” Tambahku
lagi.
*prak
“hm hm iya
ya.. baru ingat kalau aku masuk ke dunia ini, alatnya itu sampai melingkar
menutupi kepala..” Ujar Reina, ia mengangkat alis memberikan ekspresi teringat
sesuatu.
“tapi ini
hanya game… kamu tahu, game ya tetep aja game…”
Reina
tertawa, “ahaha… iya lah.. namanya game juga harus dinikmati.. apalagi masa
beta, semua orang belum nyoba, kita sudah nyoba ambil start duluan…”
***
Yang
dilakukannya menyalahi aturan.
Tugas
mutlak yang diperintahkan atau sudah jadi mendarah daging olehnya adalah
sebagai objek yang peka dan sensitif agresif.
Objek yang
tidak menaati aturan, akan mendapatkan peringatan yang mengganggu objek itu
sendiri.
“kuhh… aku
lapar..” Ujarnya, memutar perut.
*sret
Ikatan
lepas, hanya dengan melingkar kedua tangan, melakukan trik kecil nan simpel,
lalu poof! Lepas.
“dia bahkan
tidak tahu cara menali yang rumit dan benar…” Ujarnya bangkit berdiri.
“ikatannya
bahkan bisa ditiru dalam sekali praktek… maksudnya apa dia, bukannya tawanan
harus diikat erat dan dijaga?”
“tapi apa
ada sesuatu, kenapa ia tidak mengikat simpul mati?”
“kenapa ia
hanya mengikat simpul pita, yang hanya dengan satu utas tali ditarik maka lepas
seutuhnya?”
Sepanjang
ia mengomel, mengobrol pada diri sendiri. Mencoba menganalisa situasi. Namun,
tadi yang awalnya pikirannya penuh dengan rasa heran kebingunan, tiba-tiba
sumpek dan ingin berontak.
“…pedang,
kapak, kapak… di mana kapakku? Di mana kapakku??!” Ia menyeru berteriak.
“di luar
sana ada penduduk desa, dia harus dimusnahkan!” Seru ia lagi.
Karena ia
bebas, seketika langsung mencari cara agar dapat keluar.
“kamar…
kamar… keluar. Kapak, tidak.. tidak perlu kapak.. pakai kepalan tangan sudah
cukup itu. Mereka tidak pakai armor atau pelindung rompi semacamnya…”
Entah,
sesuatu nampaknya membisiki dan merasuk pikirannya. Sehingga dia langsung
bertingkah ganas.
*brak
Tapi
keganasannya seolah terkurung tidak dapat terlontar lampiaskan. Pintu dengan
durabilitas nyaris setara dengan besi, menghalangi.
“pintu ini,
engsel besi… ketahanan tidak mungkin tertembus dengan dorongan biasa…” Ujarnya
dengan mata memindai tiap sisi pintu, seolah-olah ia memang melakukan analisa.
“tidak ada
waktu, tidak ada waktu… penduduk desa, ada… terlihat!”
*brak!
Terlalu
tergesa, ia mundur lalu mencoba mendorong, memukul pintu agar dapat dobrak
keluar. Namun, kekuatan dorong dan pukulan olehnya kalah telak dengan ketahanan
engsel pintu yang terbuat dari besi.
Ia seketika
melutut, mengerang “ah… sakit…” dengan wajah menahan sakit nyeri karena menabrak
objek keras tanpa pelindung.
“mereka
sudah makan belum ya? aku belum dikasih makan..”
*ceklek
Karena
malam hari, tidak ada sesuatu yang dapat diburu. Ia memilih untuk keluar
sebentar, menghajar satu ekor sapi yang kebetulan berkeliaran di luar pedesaan.
“ini
harusnya lebih dari cukup..”
Perlahan,
hati-hati ia mengiris dan mulai mengolah daging hasil buruan. Pelan-pelan,
senyap tapi pasti jadi. Ia sudah berlatih dan menonton banyak video edukasi
tentang cara memasak, di mana ia dapat menjamin hasil masakannya layak untuk di
makan dan punya cita rasa yang lezat.
“bagaimana
cara memanggil mereka?”
“akang?
Agan? Sis? Kaka? Kakanda?”
Lagi-lagi
ia mengomel sendiri selagi di depannya terlelap dua insan sedang beristirahat
terkulai merebah di ranjang.
“Kakanda…
mungkin ini bagus..”
Setelah
meletakan hidangan, ia kembali ke sel miliknya. Di salah satu bacaan
yang ia baca, adalah tetap mengutamakan etika dan sadar diri.
“entah aku
mungkin sekarang jadi apa, besok dieksekusi atau bebas.. mungkin saja.”
“karena
sekarang statusnya aku sebagai… mungkin sebagai tawanan… maka bertingkah
seperti tawanan..” Ujarnya membuka pintu perlahan dan menutupnya kembali.
***
Usai
menebang, mendapatkan cukup bahan untuk nanti laporan ke villager yang
memberikan quest. Imbalan beberapa biji emerald di dapat. Karena aku dan Reina
sebelumnya pernah main minecraft, kami sempat berpikir, “ini emerald bakal worth
nggak ya di sini?”
Maksudnya
apa di sini emeraldnya hanya bisa dipakai untuk mata uang alias sebagai
material utama untuk jual beli.
Mengingat
sebelumnya si pemanah, Lenka. Ia berujar akan emosinya yang entah kenapa.
Intinya ia memintaku untuk melakukan jaga malam bersamanya. Entah, yang satu
ini jujur aku masih aneh dan belum bisa membaca ekspresi sifatnya. Pendiam, cukup
misterius dan aku rasa hanya Ian yang sering berusaha untuk mengobrol
dengannya.
Seperti
biasanya, Lenka mengambil posisi. Ia berada di menara pengintai atau watch
tower. Sebelum itu ia meminta untuk berpatroli di bawah, yakni berada di
permukaan. Aku menolak, alasan karena ia memiliki talenta pemanah/archer
di mana kemampuan penglihatannya sudah ditingkatkan karenanya.
“ah semoga
ini berjalan cepat… ndak enak aku sama si Yuki.” Gumanku.
Sejujurnya,
kami melakukan shift jaga malam ini sempat terjadi adu argumen. Di mana kalau
hanya dua orang yang berjaga, maka kemungkinan adanya raid atau serangan/ambush
itu sulit dihindari karena hanya dua orang yang melakukan jaga malam.
Namun, di
samping itu tim Ian seperti Reina, Fardan. Mereka ternyata begadang cukup lama,
dan ini memasuki hari ketiga. Bila mereka bersikeras untuk tidak tidur atau
skip malam, kemungkinan besar akan muncul mob hostile dengan wujud seperti ikan
talang namun terbang layaknya kelelawar.
Pemain
minecraft pasti tahu mob tersebut, yang hanya muncul dipicu ketika ada pemain
yang tidak tidur selama lebih dari tiga hari atau terkena efek insomnia
sehingga tidak dapat tidur alias skip malam.
Kala aku
bermain minecraft, belum pernah ketemu sama phantom. Ya, nama mob hostile tadi
adalah phantom. Di namakan phantom yang mungkin artinya hantu, dikaitkan dengan
tidur tidak tenang karena dihantui sesuatu. Mungkin itu sih, hanya persepsi.
Kalian boleh percaya atau tidak.
“Iruma.”
Lenka
memanggil, suaranya berasal dari belakang. Artinya ia turun dari menara
pengintai/watch tower.
“ada apa?
apa ada mob?” Responku segera.
Ia
menggeleng, “tidak.. aku lihat tadi, sepanjang area yang sudah ditancapkan sama
obor.. ndak ada mob hostile yang lewat atau kelihatan..”
“zombi
zombi?” Tanyaku lagi, meyakinkan. Tidak mungkin tiada malam tanpa adanya zombi.
Sembari
menunjuk busur panahnya, “beberapa sudah aku bereskan, lewat tembakan jarah
jauh.”
“oalah sip sip.” Ujarku mengacungkan jempol.
Melakukan
jaga malam tapi tidak terikat party. Jadi semisal aku atau Lenka melucuti
senjata menyerang sesama, kemungkinan bisa terjadi. Entah, kalau misalnya satu
party terus kebal sesama tim atau tidak.
“ini hari
keberapa semenjak uji beta?” Ujarku menyeletuk tiba-tiba sembari memandangi
langit penuh bintang.
Lenka
menggumam, “hm… kalau dihitung dari awal… ini masuk hari ketujuh kali ya?”
“hari
ketujuh? Cepet banget.” Jawabku cepat.
Mengambil
puluhan batang anak panah kemudian membuka menu, “ngga terasa, karena
dinikmati.” Ujarnya seraya memasukkan puluhan batang anak panah ke dalam
inventorinya melalui fitur transfer di menu.
“tujuh
hari… itu berapa tugas sudah kelewat? Kebayang pas kuliah. Tugas bejibun…”
Lenka
menyunggingkan senyum, “ini berarti Iruma biasanya aktif di perkuliahan ya?”
Pertanyaan
Lenka memancing flashback masa-masa kuliah. Walaupun saat ini sudah tahap akhir
dan tinggal misi final, kenangan serta perjuangan untuk bisa bertahan tetap
masih mengenang.
“ya.. kalau
aktif mungkin nggak sih. Hanya saja, ya.. gimana ya aku bilangnya…” Ujarku
ragu.
“lah
kenapa? Memangnya kenapa? Apa itu hal yang tabu?”
Aku
menggeleng, “bukan, bukan gitu… tapi gimana ya?”
Lenka
berguman sejenak, kemudian berujar “ah di perkuliahan Iruma punya banyak fans
ya?”
Raut muka
avatar ini mungkin mendeskripsikan demikian. Meski hanya ekspilisit singkat,
tapi Lenka nampaknya bisa membaca raut muka dan berhasil menebak.
“ya.. kalau
fans sih nggak, tapi aktif kalau ada yang mancing doang. Hehe”
“mancing
doang? Kayak gimana, seperti aktif kalau ada yang tanya gitu?”
Aku
menangguk, “yep. Seperti itu, banyak yang tanya kepada saya. Padahal saya
sendiri ngerasa kurang dan belum punya pengalaman dan pengetahuan mumpuni..
aneh.” Ujarku, mata seraya terus menyapu tiap pandangan. Barang kali ada
purwarupa orang-orangan berdiri lunglai berwarna semu hijau.
Lenka
kaget, “loh. Kok aneh, kan harusnya…”
Aku
memotong, “bukan, bukan aneh yang tanya.. tapi akunya, sudah tahu jadi patokan
kalau ada persoalan. Tapi belum berusaha untuk farming, grinding, group
boosting, dan lain-lainnya untuk naikin statistik.”
Ia tertawa,
“ahahah, ini istilah farming, grinding, sampai group boosting.. berarti Iruma
sering main game ini…”
“Laki-laki
biasanya zaman sekarang banyak sekali yang main game, meskipun nggak hobi tapi
sebatas untuk nyalurkan bosan…” Ujarku, setelah berujar melirik Lenka. Ia
nampaknya sedari tadi tidak melepas pandangan dan terus melirik aku.
Mungkin
skill pasif yang ia miliki punya kemampuan insting atau perasaan kalau ada
serangan atau ancaman kali ya?
Karena ia
tidak henti menyorot, timbul rasa canggung. Untuk mengatasinya, akhirnya mau
tidak mau aku harus melanjutkan topik. Tidak mungkin rasanya jaga malam tapi
canggung-canggungan. Setidaknya mengobrol ringan untuk killing time.
“Lenka
tahu, artinya Lenka pernah main game.. dan paham yang aku ucapin, berarti main
gamenya sudah lama banget.. iya?”
Ia
berguman, memutar pandangannya melirik satu titik. Mulai berpikir sejenak
kemudian menjawab “ya.. kalau main game itu nggak begitu. Tapi langsung paham
aja, karena istilah farming ndak mungkin dikaitkan sama dunia pertanian. Ya
artinya istilah itu pasti ada hubungannya sama dunia game.”
Aku
terkejut mendengar penjelasannya, “weh logikamu jalan banget. Pasti di sekolah top
frag yo?”
Ia
terkekeh, merunduk sekilas “heheh. Udah lulus sekolah aku. Ini masih suffer di
perkuliahan.”
“weh masa?”
Ujarku kaget.
Lenka
mengangguk cepat, ia tidak berujar.
“maaf maaf.
Aku kira… oiya ya, avatar di sini masih bisa di modifikasi.. hehe, maaf banget
Len.” Ujarku segera meminta maaf. Aku salah mengira kalau Lenka yang fisiknya
30 persen lebih pendek dibandingkan aku.
Padahal
kalau kuliah, tinggi badanku ini sudah terhitung pendek banget. Bahkan ucapan
kalau aku masih duduk di bangku SMA atau masih kuliah semester awal itu tidak
jarang terjadi. Hal ini bukan berarti aku yang tidak bertambah tinggi, tapi
artinya adalah tubuh ini awet muda :v
Lenka
menggeleng cepat, “nggak. Ini nggak dimodifikasi. Avatar ini langsung konversi
otomatis.”
Mendengar
Lenka menjawab singkat, menambah rasa canggung.
Resiko
canggung sampai pagi, akhirnya aku mengaku kalau ini avatar yang aku gunakan
adalah tubuh asli atau tidak ada mod, jadi langsung konversi otomatis. “ah ok
ok. Sama, ini juga avatar konversi langsung otomatis. Ndak aku modifikasi atau
setting.”
Menurutku,
mengakui kalau avatar ini adalah konversi otomatis cukup bahaya di dunia maya.
Apalagi ini sudah seperti dunia nyata, di mana semua bisa berinteraksi bebas
dengan avatar mereka masing-masing. Cukup beresiko semisal mengucap kalau
avatar ini adalah konversi otomatis.
Karena kita
tidak tahu, lawan bicara atau di komunitas ini semuanya protagonis.
Setelah
mengakui kalau avatar yang aku gunakan ini juga konversi otomatis. Momentum
hening terjadi, selama kurang lebih hampir tiga sampai lima menit diam.
“tentang
yang tadi, di sekolah, maksudku di kuliah… melihat cara pikirmu kayak gitu,
artinya di kuliah juga top frag kan?” Tanyaku lagi, menyangkut tentang
pola pikirnya yang kritis, ia bisa cepat paham akan istilah yang bisa dibilang
asing kalau belum main game secara mendalam.
Ia
menggeleng, sudah lima menit yang lalu. Ia melepas pandangan, kembali fokus
memandang hutan dan pemandangan luar desa. Matanya awas akan mob hostile
semisal muncul.
“tunggu…
maksudnya top frag?” Ujarnya setelah diam lima detik.
Ia tidak
tahu top frag?
“top frag…
maksudnya itu seperti jadi nomor satu atau termasuk orang-orang yang punya
skill lebih dari teman-temannya..” Aku menjelaskan, sepertinya istilah top frag
ini gagal dipahami. Artinya bisa jadi ambigu atau sulit dipaparkan bila dilihat
dari unsur bilingual.
Setelah
mendengar penjelasanku, Lenka paham. Ia berujar “oh itu.. nggak, justru aku di
kuliah malah sering tanya-tanya.”
“tanya-tanya,
art—“
“bukan
berarti tanya-tanya itu paham terus aktif di kuliah… tanya ini karena beneran
nggak paham dan harus tanya, minta orang lain menjelaskan ulang.” Ujar Lenka
segera memotong.
Dan hening
terjadi.
[Yukina:
Hello.]
Di tengah
menunggu dan mengawasi, muncul notifikasi. Yuki mengirim pesan langsung, sontak
aku membukanya. Sebelumnya sudah nebak kalau Yuki pasti akan mengirim pesan,
entah cepat atau lamban.
[Iruma:
Helo.]
Belum satu
menit, Yuki membalas,
[Yukina:
Masih lama?]
Ia belum
tidur, entah ini jam berapa. Sudah sepekan kiranya aku di sini tapi belum bisa
bikin jam dengan menggabungkan redstone dan gold.
[Iruma:
Wait, ini belum tidur beneran ini?]
[Yukina:
Aku tanya, masih lama?]
[Iruma:
Ya, masih lama lah. Namanya juga shift jaga, sampai pagi lah.]
[Yukina:
oh.]
[Yukina:
hati-hati.]
[Iruma:
Maksudte?]
[Yukina:
ya.. hati-hati ae..]
[Iruma:
Bayangkan coba, dah tahu aku ini kadang bisa jadi penakut yang akut, malah
ditakut-takutin.]
[Yukina:
Ndak.. maksudku hati-hati itu dijaga poin wareg-nya jangan sampai drop. Nanti
kayak aku kemarin, pulang-pulang tahu-tahu tinggal 10 persenan.]
[Iruma:
iya deng. Sek.]
Melihat si
Yuki mengingatkan poin wareg, aku lupa kapan terakhir makan. Ingatku beberapa
saat ketika tengah menebang sama Reina.
Poin
wareg: 18%
[Iruma:
Anjer, tinggal 18 persen!1!]
[Yukina:
Gimana?]
[Yukina:
Lah iya kan… cepet, makan.]
[Iruma:
btw, kok bisa cepet banget yo. Biasanya kalau poin wareg tinggal 30 persen
kebawah, itu kerasa lapar e.]
[Yukina:
Itu efek di malam hari. Apalagi ini kamu jaga malam ya kan. Jadi rasa laper itu
sudah ketutup sama hawa-hawa antusias untuk siap nebas mob.]
[Yukina:
Tapi tunggu, ini kamu jaga malam, kan ndak jadi penyerang utama kan? Yang
penyerang utama kan Lenka. Kok bisa ya? wkwkw.]
[Iruma:
Nggak mungkin lah, aku ganti talent hanya untuk jaga malam. Jaganya mungkin dua
atau tiga hari sekali, tapi sensasi ganti talent-nya yang males.]
[Yukina:
oiya. Lenka. Ajak sekalian, aku yakin ia mungkin lebih lapar dibanding kamu.
Skill pasifnya archer itu bisa jadi nguras tenaga.]
[Yukina:
Sante, aku izinin. Kamu boleh ngasih makan Lenka :v]
[Iruma:
dahlah, nggak paham aku.]
Melihat aku
mengetuk-ngetuk udara atau maya, Lenka berujar “lagi setting inventori? Dari
tadi aku lihat kamu kayak nulis-nulis maya.”
“ah.. ini,
si Yuki. Ia menceritakan pengalaman shift jaga malam kemarin..”
Lenka
menangkupkan dagu, “oh.”
Begitu
menemukan potongan daging sapi, sisa kemarin tapi durabilitasnya masih layak
dimakan. Aku berujar, “syukurlah masih ada potongan daging… Lenka, mau daging
nggak? Yuki tadi cerita kalau pas jaga malam, itu nguras stamina pastinya poin
wareg juga turun. Jadi, ini aku ada potongan daging, mau?”
Lenka cepat
berujar, “mau. Aku mau.”
Karena ia
mengiyakan, setuju. Maka, setidaknya untuk memberi sensasi hangat aku harus
membuat furnace atau pengapian.
Melihat aku
mulai membuat pengapian, Lenka berujar “Iruma, ada apa?”
“hm? Ah
ini, mau aku panggang ke api sedikit, ya setidaknya ada sensasi hangat, nggak
dingin..”
“pakai
furnace? Kenapa nggak pakai fire camp?” Ujar Lenka.
“fire
camp?”
“iya.”
Fire camp
atau api kemah, versi lain furnace tapi lebih difokuskan untuk membakar
atau memasak makanan dengan memberi hawa panas oleh api yang disulut.
“ide
bagus.” Ujarku mengiyakan.
Model
menggunakan fire camp adalah dengan menaruh daging atau ikan yang hendak
dimasak pada dekat api, tepatnya diletakan saja di batang dahan yang melingkari
api.
“eh jangan,
jangan di tempelkan situ..” Lenka menyentak begitu melihat aku hendak meletakan
potongan daging ini di areal dahan yang melingkari api.
Karena
bingung, aku menggeleng sana-sini seolah hendak mengucap “kalau nggak taruh
sini, terus taruh mana?”
Lenka
bangkit, “ah… sini aku contohin..”
Ia
mengeluarkan tiga sampai empat batang. Kemudian dipatahkan sedikit sisi, lalu
menancapkan dua batang di antara api kemah. Kemudian meminta potongan daging
tadi untuk ditusuk seperti sate, barulah di tanggalkan di atas api, dengan
mengandalkan dua pilar batang yang berdiri di antara ujung.
Melihat
cara Lenka yang dicontohkannya, lebih mirip seperti praktek barbeque.
“oalah bbq
maksudnya..” Ujarku menyimpulkan.
Lenka
menyeka poni, “iya. Kalau ditaruh situ, ya tetap bisa sih. Tapi di minecraft
ini kita nggak tahu apa ada bakteri atau apalah yang biasanya muncul kalau
kurang higienis ya kan?”
Aku terkekeh,
lagi pula kalau semisal ada. Hal ini akan membuat beban resource yang dimuat.
Apalagi kalau dicontohkan, satu sendok saja sudah mengandung puluhan atau
ratusan bakteri. Resiko kalau ditambahkan di dunia ini, akan menyiksa resource
dan membunuh para programer yang membuat rentetan kode perintah pemrograman
untuk menggerakkan tiap sel individu bakteri.
Belum lagi
kalau tiap individu bakteri membelah dan membentuk individu yang baru, dengan
pribadi sifat yang berbeda-beda. Aku yakin proyek ini akan menyiksa para
programer.
Proses
memasak selesai, Lenka menyerobot. Ia langsung mengambil beberapa daging yang
ditusuk layaknya sate, lalu menunjukkan gestur membuka menu. Aku tidak
yakin, karena Lenka tidak satu party. Tampilan panel menu Lenka tidak terlihat
karenanya.
“eh?”
Ujarnya kaget.
“ada apa?”
“kamu bisa
buat mangkuk atau piring? aku kehabisan material, ndak bisa bikin.”
Mengingat
tadi aku sempat farming, mengambil cukup banyak kayu oak. Pastinya bisa. “ok
ok. Tunggu,” Ujarku segera.
Jadi, ini
yang pertama kalinya. Di mana aku hanya menyediakan bahan, lalu orang lain yang
mengolah dan menyajikan. Lenka, ia yang memasak sampai menyajikan. Belum sempat
aku terima kasih, Lenka buru-buru memakan potongan daging yang telah dibagi
rata olehnya. Ia mungkin memang sudah lapar banget.
***
“Untung
saja aku punya beberapa makanan di storage. Irma lupa ngasih jatah makan malam
untuk mbak.. siapa namanya?”
“ar…
rrr….t”
Dia
mengerang, tiap kali disodorkan potongan daging ayam. Berkali-kali ia menolak.
Yukina, ia harus memberinya asupan makanan atau wanita tawanan ini akan mati
kelaparan.
Melihat
respon tawanan yang menyeruak berusaha berontak, Yuki berujar “eh jangan gitu.
Aku tanya, siapa namamu? Apa pillager di sini juga punya nama seperti villager
juga?”
Yuki kembali
menyuapi sepotong demi sepotong, meskipun ia berusaha menolak tapi begitu
daging masuk ke mulut, ia buru-buru mengunyah dan menelan.
“kamu ini,
nolak-nolak tapi begitu masuk ke mulut langsung buru-buru dikunyah. Lapar
banget kan kamu?” Ujar Yuki melihat tingkah tawanannya.
“semalam,
poin waregku juga di bawah standar rata-rata. Malas untuk makan, sendirian..
nggak enak ya kan makan sendiri.. ya kan? Kan?”
Yuki
kembali menyuapi tawanannya. Kali ini tawanannya tidak menolak, langsung
melahap.
“eh eh.. langsung
dimakan hihihi, mau nih ya..” Ujarnya menggasak.
Ia
merunduk, bersembunyi di balik poni rambutnya yang berantakan. Sambil
mengunyah, tanpa berkomentar.
Ditengah-tengah
ia menyuapi tawanannya, ia berujar. Berbicara untuk dirinya, meskipun secara tidak
langsung ia seolah curhat dengan wanita yang duduk sila dengan kedua tangan
terkekang.
“hm… apa
malam ini aku maju aja ya? Kemarin aku jaga malam juga akhirnya aku izin skip
karena lapar nggak tertahan dan malu kalau mau minta temen-temennya Ian…”
Mendengar
wanita pengguna pedang ganda mengoceh diri sendiri, dia hanya menaikkan dagu
meliriknya sekilas. Lalu melanjutnya mengunyah.
“kenapa
coba aku nggak boleh ikut.” Ujarnya lagi. Pillager yang diikat ini hanya
menoleh menatapnya, lalu sejenak kemudian ia membuka mulut.
Yukina
cepat merespon, ia menyodorkan kembali sepotong daging menuju mulut cewek
pillager ini. Lalu lanjut berujar, “nggak boleh ikut, alasannya dua orang cukup
dan agar impas. Kemarin sudah shift jaga, lalu gantian gitu ceritanya…”
“…um.” Ia
mengangguk.
Begitu ia
tahu kalau pillager yang disuapinya mengangguk berguman seolah ia memang
menyimak apa yang diujarkannya, Yuki langsung berujar intensif “hah? Kamu
menyimak?”
Tawanan
pillager ini sontak langsung kaget, ia kembali merunduk. Bersembunyi di balik
poni rambutnya seraya mengunyah.
Yuki
menghela napas lega, ia menyunggingkan senyum lalu melanjutkan curhatannya.
“ya… shift
jaga malam itu gimana ya… gampang-gampang susah. Tapi sepanjang malam, di sini
belum pernah ketemu endermen.”
Pillager
itu sontak terkejut, ia seolah kaget begitu Yuki mengucap nama mob yang
sebenarnya netral, tapi kalau terpicu atau kena trigger bisa menjadi
buas nyaris tak terkalahkan.
“hm? Kamu
kaget, kenapa? Apa kamu, kalian para mob itu terhubung antar mob lain?” Tanya
Yuki penasaran melihat tingkah tawanannya yang tiba-tiba kaget terkejut.
Seperti
biasanya, ia hanya merunduk lalu mencoba kembali mengunyah. Tapi mendapati
daging telah habis ia telan, ia menggigit bibir. Yuki mengetahuinya, sontak ia
kembali menyodorkan daging ayam dan dia langsung merespon melahapnya.
Di samping
pillager yang ia tawan ini melahap daging, Yuki dalam pikirannya seolah memulai
imajinasinya.
“Endermen..
belakangan ini, aku belum lihat endermen. Terakhir pas merantau cari pedesaan.
Kalau di sini belum, bagaimana kalau—“
[72%]
Iruma, Ore Seeker Lv. 52
“heh? apa
tadi perasaanku aja ya, baris hp-nya Iruma nurun 20 persen atau hanya kompilasi
perlahan nurun?”
[69%]
Iruma, Ore Seeker Lv. 52
“anjer.”
Ia bermain
cukup lama. Bahkan saking telitinya, ia cukup hafal akan tipikal serangan mob.
Mulai dari poin berkurangnya health sampai taktik modenya.
“mbak.
Dugaanmu benar mbak. Kayaknya ada endermen ini. Baris hp-nya Iruma nurun
drastis tiba-tiba. Talenta yang ia pakai saat ini penambang, ndak ada efek
tambahan attack, hanya insting untuk bertahan hidup. Apa lagi Lenka,
pemanah. Pasti ada yang micu endermen sampai akhirnya ia menyerang mereka
berdua.” Yuki berujar panjang lebar.
“aku mau
keluar. Ini, daging-daging ayam ini habiskan.. Aku yain kalo aku keluar kamar.
Kamu pasti bisa melepas itu ikatan.. ya kan?” Ia meletakan piring yang berisi
potongan daging ayam lalu membuka menu, mengambil peralatan untuk bersiap.
Kemampuan
fokus Yukina semakin membaik semenjak ia menggunakan slot talenta keduanya
diisi dengan bakat pedang/swordman. Hasilnya kemampuan fokus meningkat,
cekatan, dan terbukanya kemampuan menggunakan dua pedang.
Namun
disamping kelebihan yang ia dapat, tetap ada kekurangan. Di mana ia mungkin
tidak menyadari, tapi Iruma mengetahuinya sejak awal ia menggunakan dua pedang.
Yakni
ceroboh, teledor. Karena ia begitu cekatan, ditambah lagi kemungkinan ia
memberikan serangan beruntun sangat tinggi, karena ia menggunakan dua pedang.
Hal ini memicu terjadinya lalai atau ceroboh.
Kejadian
simpel yang sering terjadi adalah, ia sering kehabisan stok stamina karena
terlalu banyak mengeluarkan skill. Walaupun sebenarnya kalau ia menyerang
sekedar menebas tanpa menggunakan skill itu bisa, namun pengguna pedang mungkin
kurang mengena bila menebas tanpa adanya efek cahaya/light effect.
“Sapi,
Sapi… tadi, Domba.. Ayam..” Gumannya seraya setengah berlari. Mencoba melatih
fokus, sembari berlari ia berusaha meningkatkan pendengaran dengan memadukan
fokus.
Kecepatan
larinya bertambah mendapati baris nyawa partnernya terus menurun.
Di tengah
perjalanan ia mencoba mengirim pesan singkat untuk partnernya, tapi tidak
segera dilihat atau dibaca. Artinya saat ini terjadi peperangan atau
pertarungan.
*vwomp!
Hampir
sampai menuju pintu luar. Langkah Yuki terhenti, suara khas yang ia dengar dan
ia kenal. Ia diam sejenak. Untuk menunggu suara tersebut muncul, harapannya ia
dapat mengetahui dari mana suara teleport khas endermen.
*vwomp!
“ok. Arah
2.” Seraya menarik salah satu pedangnya yang menggantung di pinggang. Lalu
lanjut berlari.
“jaga malam
dua orang itu gila. Apalagi Lenka itu pemanah, ia pasti reflek mengarahkan
bidikannya ke mata endermen.” Gumannya seraya berlari.
Sesampainya
di luar area pedesaan. Area di mana pemain harus jaga malam. Yuki kembali diam,
meskipun ada beberapa mob hostile seperti zombi, skeleton dari kejauhan. Ia
berusaha mengabaikannya. Kalau semisal ada skeleton yang melepas panah, ia
sudah mempersiapkan reflek untuk menepisnya.
*spang
Suara tali
pegas dilepas, panah melucut. Yuki merespon segera, dan mengayun pedang.
Namun Yuki
meleset, ia rupanya salah arah. Di mana harusnya ia menebas sisi kiri, namun
refleknya berbalik. Al hasil panah melesat dan menancap di bahu kanan.
Bahu
kanan tertembak panah, poin health akan berkurang bila terlalu banyak—
“yap. I
knew that..” Ujarnya memotong monolog sistem, memberitahukan kalau ia
tertembak.
[94%] Yukina, Warrior Lv. 56
“satu panah kok ngurangnya sampai 6 persen
loh.. sakit banget.” Ujar Yuki mencabut panah yang menancap di bahu kanan.
*vomp!
Suara
teleport terdengar. Yuki menoleh reflek, ia harus membiasakan ini. Karena
terkadang informasi tidak terulang dua kali atau tiga kali. Ia harus melatih
terus fokus, meskipun bila ia memaksimalkan fokus pada pendengaran maka bagian
lain seperti reflek menepis pedang bila ada serangan akan berkurang.
“oi Iruma.
Di mana kamu.” Ujar Yuki.
Kali ini ia
berlari, mengarah jam 2. Sesuai perkiraan yang ia tahu.
*vwommp!
Suara
terdengar, namun lebih samar. Seolah menjauh. Yuki mencoba kembali fokus, namun
satu skeleton nampaknya mendekat dan mendapati ada objek yang berada di radius
tembak.
Sontak,
Yuki melepas pedang dan menepis seperti biasanya. Lalu mengambil dash,
membabat habis beberapa mob hostile yang tersebar di dekatnya.
*vomp!
Tengah ia
sedang tebas-menebas, suara teleport kembali terdengar. Ia mengeluh kesal, “uh.
Napa sih munculnya pas lagi duel. Suaranya ke-distorsi sama sayat-sayatan
pedang uh.”
*vwomp!
Muncul
terdengar kembali. Namun fokus Yuki terlambat, sumber suara tidak terkejar
olehnya.
“kalau
kemampuan fokus ini aku fokuskan ke pendengaran. Reflek pedang ini mungkin
bakal drop.”
Suara panah
lagi-lagi melesat, Yuki sontak reflek menepis. Kali ini ia menepis tanpa
menggerakkan seluruh badan. Hanya sebatas mengayunkan tangan, tebasan satu
tangannya cukup tepat dan kuat untuk mengiris batang panah berdiameter tipis.
[98%] Yukina, Warrior Lv. 56
“proses healingnya mayan cepet. Ini mungkin
bisa…” Ujar Yuki.
Ia memulai fokus. Melepas semua reflek, hanya
berfokus pada pendengaran. Di tempat yang terbuka, resiko sangat tinggi.
Terlebih untuk ia fokus, mata harus terpejam sejenak sampai target terdengar
dan mulai melacak.
*spang
Panah melesat namun meleset, tidak mengenainya.
Yuki menggumam “tunggu… tunggu… keep focus sampai ambience endermen kembali
muncul..”
*splat
*splat!!
“tunggu..
just wai—“
*splat!
“hold.”
*splat!!
“c’mon..”
*splat!
*splat!!
*splat!
*vwomp!
Mata
terbuka, ia menyeru “arah 9, 20 meter.” Seraya menarik dua pedang sekaligus dan
segera membabat mereka, para tengkorak tulang belulang yang senantiasa melepas
panah selama lima detik.
Tidak ada komentar: