MINECRAFTER VOL. 5 - Bab 16: Tag Nama

 

Bab 16: Tag Nama

 

Beberapa momentum sebelum pemanggilan.

Seperti biasanya, mereka terus melakukan eksplorasi akan informasi. Entah apapun itu, karena pemerintah memberikan izin untuk mengakses sumber informasi yang diberikan maka, sebelum memulai perintah/tugas mengapa tidak santai-santai?

Kata santai kami dapatkan secara otodidak. Melalui beberapa artikel dan informasi yang kami dapatkan. Di mana setelah banyak melakukan sesuatu, maka alangkah baiknya untuk beristirahat sementara untuk mengembalikan stamina dan semangat yang perlahan menurun.

Begitu juga, saat membaca & memahami beberapa informasi yang didapat. Banyak kosa-kata yang kami pelajari, dan mulai mengenai satu sama lain.

“komunikasi.”

“komunikan.”

“komunikasi?”

“proses komunikasi?”

“...interaksi.”

Seperti itu, kami baru menyadari akan interaksi juga sama seperti komunikasi antar kedua belah pihak atau lebih setelah beberapa baris pleton diberangkatkan.

“mereka. Berangkat.”

“mereka. Belum mengenal komunikasi.”

“rugi.”

 

Perlahan kami memanggil satu sama lain. Namun karena kosa-kata yang didapat masih apa adanya, belum ada apanya. Maka kami mencoba, mencari cara untuk cara kami memulai komunikasi. Sebuah proses memulai komunikasi, interaksi.

“cara komunikasi, interaksi.”

“bicara. Bicara?”

“berbicara.”

“mengucapkan.”

Tanpa kami sadari, perlahan kami mulai berkembang dengan menggali sumber informasi yang tersedia.

“kamu. Kamu.”

“kamu?”

“aku?”

“saya?”

“kamu.”

Perlahan demi perlahan. Praktek demi praktek. Kami mulai memahami cara berinteraksi, cara berkomunikasi. Saling mengobrol entah itu ada artinya atau tidak. Bahkan tiada hari tanpa mengobrol, sering kali kami tidak punya topik. Akhirnya kami berusaha mencari cara untuk mendapatkan topik pembicaraan.

“siapa.”

“siapa?”

“siapa namamu?”

“namaku?”

“—“

 

***

Karena shard cluster kami terhubung antara satu sama lain, maka tidak jarang kami bisa mendeteksi atau merasakan adanya cluster lain yang terdeteksi. Interaksi tergantung pada tujuan awal, main frame di mana sudah menetap dalam kepribadian objek.

Sebagai hostile, musuh, agresif, lawan.

Terlebih sekarang berada di tempat di mana banyak shard cluster yang diperintahkan secara otomatis menyerang. Villager. Objek pasif, yang memiliki sifat tidak menyerang atau bahkan mereka seolah pasrah nan pasif.

Tanpa perintah, secara otomatis akan bergerak sendiri. Mengingat main frame objek sebagai hostile, maka reflek sebagai hostile yang sudah ditetapkan berdasarkan informasi utama tentang apa itu hostile bersumber dari data minecraft, berjalan otomatis.

“aku tidak bermaksud menyerang, tapi main frame ini absolut. Bagaimana cara mengubahnya?”

“tidak mungkin aku menyerang objek yang memberikan kesempatan hidup lagi peduli. Meskipun main frame sebagai hostile, main logic tetap jalan.”

Ikatan simpul tali lepas dalam dengan sedikit tenaga untuk mengekang tangan. Benar yang dikatakan oleh perempuan dengan dua pedang di pinggang, simpul ikat kekangan ini lemah sekali.

“mereka percaya kalau aku tidak memberontak, dan dapat berubah tidak agresif.”

Beberapa potong daging tersisa, karena rasa lapar dan eman kalau tidak dimakan. Maka, tanpa menunggu sontak langsung melahapnya.

 

Melihat kondisi bulan, ini tengah malam. Bila dikonversikan dalam angka jam digital, maka berkisar pukul 1. Artinya saat ini tepat waktunya untuk berburu, mencoba menghidangkan kembali untuk mereka.

Mengingat saat ini, kondisi adalah tawanan yang identik dengan pelayan. Mungkin lebih buruk dibanding itu. Bagiku tidak masalah, mereka merawatku dengan baik. Meskipun kasus seperti ini jarang terjadi, pernah mendapat informasi acak yang kebetulan melintas dalam radar.

Di mana objek yang ditugaskan menjadi hostile tapi ketika di lapangan, ia kalah telak namun mereka tidak segera menyudahinya. Lebih buruk, mendengar cerita singkat yang ia broadcast melalui cercahan komunikasi shard cluster antar objek, nyaris mengubah mindset akan lawan asli abadi kami. Yakni pemain, player.

Mereka memperlakukan objek hostile yang ditawan tersebut tidak manusiawi. Semisal aku belum membaca artikel tentang kemanusiaan dan manusiawi, mungkin aku bisa menyimak kisahnya sampai akhir. Tapi karena memori akan kemanusiaan nan manusiawi ini terekam kuat, aku tidak kuasa.

Karena yang satu ini lebih parah. Tidak, satu orang, bergerombol seperti party.

 

Sejujurnya, sejak ayunan kapak mini ditepis oleh perempuan pengguna pedang. Rasanya aku sudah melihat akhir, maksudku aku berguman “ini.. bad ending. Aku akan berakhir seperti cluster anonim yang mem-broadcast kisah singkatnya dalam aliran shard cluster antar objek variabel.”

Namun, kenyataannya tidak. Mereka berdua memperlakukan objek yang seharusnya hostile, tapi diberlakukannya seperti objek passive.

Sayang aku tidak dapat membagikan kisahku yang langka terjadi ini. Karena untuk dapat mem-broadcast kisah atau informasi, Syarat utama adalah musnahnya objek variabel. Dengan kata lain mati. Seingatku, sesaat setelah poin hp (kami menyebutnya poin kehidupan) mencapai titik nol. Maka secara otomatis objek diberi waktu singkat untuk memberikan feedback atau umpan balik, di mana nantinya feedback/umpan balik ini akan dikirim ke pemerintah pusat.

Lalu proses perjalanan pesan feedback ini akan melintas di tiap shard cluster. Bila ada objek variabel yang kebetulan melintas, ia akan merasakan seperti bisikan melintas dalam main logika miliknya. Dari situlah, aku kebetulan mengetahui informasi yang kompleks tapi tidak kuat aku menyimak sampai selesai.

“mereka berdua orang baik. Aku yakin itu.”

 

***

“Iruma!” Teriak Yuki mendapati partnernya sedang kewalahan.

Mereka berdua, Iruma & Lenka sedang berusaha keras melawan mob dengan tinggi dua kali lipas manusia biasa. Tangan panjang sepanjang sampai lurut, raut muka datar tapi kalau sedang agresif jadi menakutkan. Mata bergelimang cahaya ungu.

Semua pemain minecraft pasti tahu, kalau dia adalah endermen. Mob netral tapi dipandang agresif.

 

Tidak ada waktu untuk bertanya tentang apa yang terjadi. Yuki menarikl dua bilah pedangnya sekaligus, tanpa menunggu perintah ia maju seraya mengaktifkan skill pasif nan agresif. Ini artinya ia benar-benar mengoptimalkan bakat/talenta yang dimilikinya warrior, yakni dual wielding/pengguna ganda.

[51%] Iruma, Ore Seeker Lv. 52

Sesosok hitam berparas tubuh tinggi tiada henti mengejar dan menyerang Iruma. Ia memukuli dan memberikan tendangan. Bila dilihat dari luar mungkin seolah tidak menunjukkan kalau serangan tersebut itu sakit atau ber-damage.

Nyatanya endermen hanya memukul satu dua kali dapat menyebabkan hilangnya sekian persen baris hp pemain.

“melihat posisi Irma. Artinya ia sudah menahan serangan endermen berkali-kali. Talenta Ore Seeker miliknya menaikkan poin ketahanan sehingga ia bisa bertahan dan tidak terlempar karena serangannya.” Guman Yuki, ia mulai menyerang.

*syat *syat

Dua gerakan. Yuki menggunakan dua pedang, jadi hakikatnya empat sayatan di bagian punggung belakang. Yuki memberi ukiran simbol ‘=’ dengan formasi huruf x.

Endermen sontak menoleh cepat mendapati ada objek asing yang memberi serangan tiba-tiba.

“Belum selesai komboku.. tunggu—“

Yuki mengiris vertikal melebar. Dua pedangnya memberikan damage fatal sehingga membuat endermen terbelah karenanya. Hal ini artinya poin hp dari endermen pun sirna. Wajah Iruma pun terlihat setelah tubuh tinggi endermen ambruk.

 

Tubuh siaga, namun terlihat beberapa luka syatan dan memar karena pukulan. Iruma tetap mempertahankan posisi siaga bertahan menggunakan belati sepanjang tangan siku.

Iruma hendak berujar, Yuki menolak cepat. Ia mengambil posisi Iruma sebagai bertahan seraya berujar “Ceritanya nanti aja. Dah kubilang, dua orang itu kurang.. nggak ada dps lagi. Tapi gimana kok bisa trigger endermen coba?”

Ia tidak berkomentar, hanya mengangguk sekilas dan membuka menu. Mulai mengisi baris hp dengan memakan sesuatu.

 

*vwomp

“Lenka. Lenka mana?” Tanya Yuki cepat, ia menoleh sana-sini tapi tidak melihat sesosok perempuan dengan busur panah sebagai senjata utamanya.

“Ia kena damage cukup banyak, tapi sekarang sudah aman.” Ujar Irma sembari mengunyah potongan daging masak.

Salah satu skeleton kebetulan maju dan mendapati mereka berdua dalam radar serangnya. Ia sontak langsung menarik pegas busur dan melepas panah, dan seperti biasanya Yuki menepis panah yang ia lontar dengan mudahnya. Satu tangan, tanpa menoleh, merubah posisi kaki ataupun tubuh. Hanya melirik sekilas lalu, klang!

“maksudnya? Kena damage banyak? Kok bisa, dia nge-trigger endermennya kan?” Seru Yuki sembari menepis beberapa panah yang dilontarkan skeleton. Mereka berdatangan, mendapati salah satu menemukan objek yang dapat diserang, meningat main-logic mereka saling berhubungan.

Iruma menggeleng, “entah aku—“

“ya… kalau ndak dia siapa lagi coba. Aku yakin Iruma ndak sebodoh itu menatap mata endermen di minecraft vr yang benar-benar realisits nan sulit ini. Iruma bukan tipikal yang suka ambil resiko…” Yuki memotong. Di akhir dialog ia merangsek maju, melepas dash dan membabat beberapa skeleton yang menggerombol.

Lima detik, sekian skeleton yang mengerumun mereka berdua dari jarak yang cukup (bagi radar tembak mereka). Terbabat habis oleh dua bilah pedang milik Yukina. Lantas ia kembali ke posisi awal, di depan partner selagi ia mengisi stamina.

“shift jaga malam dua orang… apa lagi Lenka, ia belum pernah main minecraft sebelumnya.. resiko Iruma..” Ujar Yuki.

 

[82%] Iruma, Ore Seeker Lv. 52

“gimana? Sudah baikan?”

Ia mengangguk seraya mengusap mulut dengan punggung tangan. “poin wareg sama stamina sudah penuh. Tinggal nunggu regenerasi.” Ujarnya seraya menarik belati.

Kembali ke posisi tegap, Iruma menggenggam kuat belati di tangan kanan dan siap siaga sewaktu-waktu ada mob hostile yang menyergap. “maaf ya Yuki. Jadi merepotkan gini.”

Yuki menoleh sekilas, ia merunduk lalu kembali fokus. “ya.. kalau mau shift jaga malam… jangan dua orang doang. Ini, ini bukan minecraft yang biasanya!”

“jadi.. tadi kamu belum tidur?”

“belum lah. Kamu lupa kasih jatah makan buat si cewek tawanan, dan juga aku. Untung aja aku punya beberapa makanan, hadiah imbalan dari quest.” Respon Yuki cepat.

 

“di depan, sekitar 20 meter ada beberapa mob hostile. Babat sekalian, aku mau dengar cerita tadi. Apa yang terjadi tadi.” Ujar Yuki, memberi isyarat kalau 20 meter jauh ke depan terdapat beberapa mob hostile yang spawn dan berkeliaran.

*crek

Iruma menaik belati, menangkupkannya dalam kepalan tangan. “formasi seperti biasa. Ya kan?”

“of course.” Begitu juga Yuki, ia sudah dari tadi siaga dengan dua pedangnya yang siap kapan saja dengan refleknya yang membuatnya seperti superhuman.

 

Sesaat kemudian, shift jaga malam berlangsung seru. Meskipun sebenarnya bakat penambang dengan petarung tidak berkaitan, bahkan statistik kemampuan mereka berkebalikan. Namun Iruma, ketua party (sekalipun hanya dua orang) ia memilih menggunakan belati untuk dapat menyelaraskan pergerakan dan serangan si Yuki.

“Irma!”

“Slice edge, seperti biasanya.”

Satu jadi tameng, satu menyerang ketika lawan mendapat stun. Begitu juga sebaliknya. Resiko model formasi ini adalah bila salah satu gagal kombo atau terkena stun, maka berantakan sudah bila sisanya tidak dapat meng-handle serangan yang seharusnya terus berantai beruntun.

Ditambah lagi mereka berdua tidak ada yang menggunakan tameng/shield. Satu-satunya cara untuk menangkis serangan secara fisik adalah parry. Yakni menggunakan pedang/belati/pisau untuk menepis atau menangkis serangan fisik.

“apa kamu pernah berpikir kalau witch di sini seperti game-game fantasi?” Yuki berujar kala mereka berdua tengah seru serang-menyerang dan bertahan.

“maksudnya?”

Yuki mengambil napas, lalu berujar “kalau witch di sini menyerangnya model kekuatan magis, mungkin tangkisan/parry kita ndak bakal mempan.”

“keep in mind, ini minecraft berbeda dengan aslinya. Di versi aslinya, minecraft tidak seserius ini.”

“seserius?”

Iruma terdiam sejenak. Ia teringat kembali tujuan awal terjun mengikuti program uji beta. Yakni karena proses riset pengerjaan hasil akhir untuk program studinya.

“… maksudku biasanya yang namanya game, itu bagaimanapun tetap saja game. Harus dinikmati.”

 

“yah bukannya emang gitu ya kan?” Ujar Yuki setelah memberikan serangan final dengan dua pedangnya.

Melihat sekitar area luar, cukup bersih dan tidak ada mob hostile yang bermunculan. Yuki menarik kembali topik, “ok. Saatnya kamu cerita sama aku. Apa yang terjadi sampai kalian. I-ru-ma dan Len-ka bisa kena serangan endermen yang seharusnya mob ini netral.”

Iruma mengangkupkan belati, ia jatuh duduk setelah lama berdiri dan berlari “ceritanya ndak panjang..”

 

***

Akhirnya proses shift jaga malam berlangsung lancar, meskipun tengah malam sempat terjadinya ambush, serangan tiba-tiba dan kewalahan lalu si Yuki datang membenah menyelamatkan.

Ini mungkin pertama kalinya aku berhutang kepadanya. Karena bila aku mati, baris hp menyentuh titik nol maka kemungkinan besar aku tidak akan respawn lagi dan kembali pulang, terbangun. Rentetan cerita yang aku alami belum cukup tebal untuk sekelas skripsi yang biasanya mereka para pemburu nilai dan pengetahuan membuatnya setebal seperti kamus yang dibuat oleh John E. Coll dan Hassan Sadily.

Mungkin bagaimanapun, si Yuki aku akui. Ia saat ini, yang aku kenal. Pemain uji beta yang cukup kuat untuk meng-carry kawan dan juga jadi penyerang utama. Sekalipun ia sering sesekali ceroboh dan bertingkah kekanak-kanakan.

“Iruma, Iruma!”

“ya. Irma disini.”

“kemarin-kemarin, kamu ingat nggak yang aku minta tolong ke kamu. Mencari villager yang bisa meracik ramuan?”

Aku berguman, “meracik ramuan… itu kalau di minecraft, diistilahkan cleric. Kalau di sini mungkin beda. Ada apa?”

“ya.. kamu bisa bedakan kan? Villager ini itu dia ahli dibidang pandai besi, terus kalau yang satunya dibidang daging jagal, dan lain-lain.. kan? Kan?”

“ya.. bisa, ada apa memangnya?”

Yuki terkekeh, “nanti aku kasih tahu. Penting cari orangnya dulu. hehe.”

Rencana si Yuki terkadang melampaui batas logika, tidak dapat diperkirakan. Tahu-tahu begini, seolah melebihi ekspektasi.

 

“oi bocah!” Sapa kang Blacksmith. Kebetulan kami melintas, ia mendapati kami dan menyapa.

“kang!” Responku menoleh segera.

“bagaimana dagger yang aku poles kemarin? Nyaman?” Tanya kang Blacksmith. Ia menyeka tirai ruko miliknya.

Mendengar kang pandai besi menanyakan hasil karya miliknya, segera aku tarik belati dari sarung dan memperlihatkan kepada si pandai besi, “ini kang. Nyaman banget, apa lagi belati ini bisa ditarik keluar untuk respon siaga kalau ada serangan tiba-tiba.”

Kang Blacksmith memegang dagger yang terbuat dari batu, tapi telah dipoles olehnya diberi beberapa material metalik pada bilah tajam belati. Ia berujar “tapi bagaimanapun ini hanya dagger. Apalagi terbuat dari batu, kau bocah tetap harus bisa pakai pedang! Apalagi kamu itu laki-laki.”

Aku terkekeh, “bagian pedang sudah diambil sama si Yuki.” Ujarku menunjuk-nunjuk Yuki.

Ia merespon senyum tawa tanpa suara.

“tapi ngomong-ngomong… pedang apa yang digunakan pasanganmu?” Ujar kang pandai besi setengah berbisik mendekat telinga. Oi, kau ini bisik-bisik. Ia itu warrior. Kemampuan fokusnya bisa multifungsi sampai ke pendengaran! Oi!

“ya.. tanyain ajalah kang!” Bisik aku membalas.

Yuki melihat tingkah aku dan kang Blacksmith, aku yakin si Yuki tahu apa yang kami bicarakan. Bahkan sampai kang Blacksmith menutupi mulutnya ketika berbisik pelan langsung ke telingaku.

“kau tahu. Aku buruk kalau komunikasi sama wanita.”

Mendengar itu, Yuki tertawa kecil “ah kalian ini.. aku pakai dua pedang. Satu, pedang Besi Kinasih. Satunya lagi, pedang Batu yang dibuat sama Irma.” Ujarnya sembari menunjukkan dua bilah pedang yang tadinya menggantung di pinggang.

Sontak kang Blacksmith terkejut, ia tidak mengira bahwa Yuki mendengar bisikan kami berdua. Aku yang sudah terbiasa, tertawa.

 

“kinasih? Ini, ini… kamu dapat dari mana?” Kang Blacksmith terperangai kaget seraya melihat tekstur pedang panjang berwarna silver keputihan mengkilap.

Yuki berguman, lalu menjawab “aku mendapatkannya dari villager. Ya, sama seperti dagger batu metalik Iruma juga. Yang kamu poles.”

“di mana kamu mendapatkannya? Maksudku, village di daerah mana?” Ujar kang Blacksmith antusias.

Yuki terkekeh, “dimana? Ehhh… di mana ya? apa di sini mengenal sistem nama daerah atau peta?” Ujarnya bingung.

“haha, maksudnya di daerah mana? Kadang ada desa yang tempatnya dekat danau atau pesisir laut, atau mungkin di tengah gurun pasir.”

“oalah… waktu itu, dekat hutan yang banyak pohon oak!” Yuki menjawab antusias.

“kalau dekat hutan yang banyak oak-nya.. Berarti biome-nya hutan oak? Ya kan?”

Kang Blacksmith mengangguk, “ya. Nampaknya desa itu, aku tidak tahu kabarnya bagaimana sekarang. Terakhir aku dengar, pertahanan desa itu jebol karena para pahlawan yang menetap di sana tidak punya kemampuan yang cukup kuat untuk menahan serangan malam oleh para zombi dan skeleton.

“tunggu-tunggu. Maksudnya? Jadi desa itu hancur?”

“ya, kalau hancur mungkin.. entah aku tidak tahu. Karena kalau ada desa, lalu ada orang asing yang menginap di situ. Resiko desa akan serangan zombi dan monster lain, itu meningkat.”

Aku dan Yuki, reflek saling melirik.

“Jadi, ada kemungkinan mereka, orang-orang asing yang tinggal di sana tidak punya pertahanan yang cukup untuk menahan serangan para monster ketika malam hari.” Jelas kang Blacksmith.

Kala kang Blacksmith masih sibuk melihat-lihat arsitektur pedang besi kinasih milik Yuki, ia menyenggol pinggang dan berbisik.

“Irma.”

“ya?”

“Apa kamu memikirkan apa yang aku pikirkan?”

“yep.”

“orang-orang asing. Itu maksudnya pemain/player kan?”

“yep.”

“menahan serangan monster kala malam hari. Itu tujuan awal dari shift jaga malam kan?”

“yep.”

“mau lanjut mengembara?”

“yeet!”

 

Kang Blacksmith berujar, “ini pedang yang hebat. Durabilitas dan kemampuannya bisa beregenerasi dan meningkat.”

“durabilitas bisa regenerasi?” Ujarku heran. Tidak ada cara lain untuk memperbaiki poin durabilitas ketahanan pedang atau alat lainnya, kecuali dengan menempanya kembali dan menggabungkan unsur materal yang sama.

“kemampuan bisa regenerasi?” Tanya Yuki pula.

“apa kalian baru tahu? Pedang dengan nama ‘kinasih’ adalah salah satu pedang yang langka dan sulit diperoleh. Karena kualitas pedang ini bergantung pada pengguna atau pemakainya.” Ujar si pandai besi.

Ia meluruskan pedang besi mengkilap milik Yuki, lalu lanjut berujar “pedang ini bisa menjadi tajam namun juga lembut, bergantung pada pemiliknya nona.”

“ok. Ini gila. Sampai pedang pun ada kepribadiannya sendiri pula.” Gumanku pelan, sangat pelan.

Meskipun begitu, si Yuki. Ia menyenggol, namun tidak berujar.

“tunggu-tunggu, kalau semisal itu pedang, durabilitasnya bisa regenerasi sendiri.. kenapa waktu itu punyamu bisa patah?” Ujarku kaget teringat peristiwa pedang Yuki patah dan aku menambalnya dengan material seadanya.

Kang Blacksmith, ia terkejut “apa? pedang ini pernah patah? Di mana bekas patahannya?” Seraya meraba tiap sisi pedang Yuki.

Aku menunjuk bagian tengah di bilah tajam pedang, tertera bekas tambalan, ukiran yang terpotong oleh suatu bagian yang kusam. Jujur waktu itu aku menggunakan material seadanya, meskipun sama-sama terbuat dari besi, tapi pengalaman tempa-menempa masih di bawah standar.

“ah ini. Ini. Aku mengerti..” Ujar si pandai besi.

“belum pernah aku mendengar pedang ‘kinasih’ bisa patah.” Si Pandai besi heran.

“apa memang pedang ‘kinasih’ itu konon tahan lama atau gimana kang?”

“jarang aku mendengar pemilik pedang kinasih mendapati pedangnya sampai patah. Kalaupun rusak karena durabilitas berkurang, itu umumnya karena si pedang belum mengenali pemiliknya.” Jelas si pandai besi.

Ok. Sekarang tambah gila lagi. Kita sebagai pengguna, pemain juga harus melakukan koneksi interaksi spiritual dengan pedang atau alat-alat kita. Semisal penguji beta belum pernah memainkan game rpg, ia mutlak kebingungan karena harus mengikuti prosedur seperti ini demi mendapatkan peforma yang optimal.

Yuki melirik, tatapannya seolah ia tahu apa yang aku gumankan.

“maksudnya? Si pedang belum mengenali pemiliknya?” Tanya Yuki spontan.

Ia mengangguk, “yap. Biasanya seperti itu. Kamu sudah menggunakan pedang ini cukup lama bukan? harusnya otomatis ia akan mengenalimu, menyesuaikan pola serangan, strategi, dan lain-lainnya.”

“aku memakai ini sejak awal masuk ke sini.” Guman Yuki.

Aku mendengarnya, meskipun samar tapi cukup jelas. “awal main. Dapat pedang yang langka, nice. Hoki amat hidupmu mbak!” Candaku lepas.

“ya.. siapa yang tahu, aku masuk langsung interaksi sama villager. Ngobrol-ngobrol, terus curhat sana-sini. Dan tahu-tahu eh ada tugas atau quest. Ikut, jalani. Kebetulan gampang, dikasih deh gift senjata itu.” Ujarnya panjang.

Aku menoleh, “apa? baru masuk langsung interaksi villager. Maksudmu ngobrol gitu? Sampai curhat segala..”

“iya. kan kamu sudah tahu kan? Ai di sini itu intelejennya mirip seperti manusia. Perempuan manapun kalau ngobrol dan lawan bicaranya itu interaktif, pasti betah lama.”

“hm hm…. Awal yang bagus.. Jadi ingat aku spawn di sini itu di tengah hutan. Cari-cari kayu, batu, bikin rumah, alat. Semuanya solo sendiri.” Gumanku seraya mengangguk-angguk.

Yuki tertawa kecil, menyembunyikan senyum ejek “… ppft. Sendirian. Kasian.”

 

“seperti yang aku katakan tadi. Pedangnya belum mengenali pemiliknya. Tapi umumnya pedang yang punya ciri khas yang unik, ia akan mengenali pemilik/penggunanya dengan diguanaknnya terus-menerus.”

Yuki menoleh, “Irma. Aku sering pakai pedang ini ya kan?”

“dia bahkan tidak mempelajari skill atau talenta lain kecuali pedang memedang.” Ujarku cepat.

Ia menyeru, “booo!”

Kembali ke topik, karena penasaran. Pertanyaan “kalau misalnya objek benda seperti pedang saja ada kayak sistemasi pemilik. Maka objek hidup juga punya kan?” terlontar.

Yuki sontak langsung semangat. Ia tahu objek pembicaraan ini merujuk pada tawanan yang ia dapatkan ketika menepis serangan pillager yang berlangsung ia menawan seseorang.

“bisa. Tentu saja bisa, hanya saja untuk memberikan label pemilik harus dilakukan oleh seorang yang andil dalam bidang jalin kontrak.” Si pandai besi menjelaskan.

“jalin kontrak? Maksudmu seperti perjanjian—“

Si pandai besi memotong, “ya. Betul sekali.”

“Jadi kayak perjanjian pemilik dan pelayan seperti itu?” Sahut Yuki antusias.

“ahahaha… tidak perlu sedetil itu. Untuk melakukannya kamu hanya perlu nama.” Si Pandai besi tertawa seraya menjelaskan.

Yuki berguman, “nama… nama… maksudnya tag nama?”

name tag.” Sahutku bersamaan.

Ia menjentikkan jari, “ya betul sekali. Apa kalian lagi punya hewan dan ingin menjinakkannya?”

“ya.. bisa dibilang begitu ehehe..” Ujar Yuki terkekeh mengangguk.

“itu bukan binatang woi.” Gumanku pelan, dan selalu. Sangat pelan. Namun Yuki dapat mendengarnya, ia menyenggol siku.

“kalau begitu. Nona perlu tag nama, lalu menuliskan nama di anvil dan memulai prosesi penamaan.”

Yuki mengangguk antusias. Ia menyimak baik-baik. Sedangkan aku, sudah memperkirakan kalau proses meletakkan tag nama pada hewan atau villager sekalipun itu punya kelebihan tersendiri di sini.

Walau sebenarnya di minecraft aslinya, tag nama hanya digunakan untuk menamai objek dan mencegahnya dari hilang dari penghapusan mob di beberapa tempat untuk mencegah lag.

 

Melihat si Yuki antusias, dalam pikirannya seolah tergambar jelas apa yang akan ia rencanakan setelah ini. Si pandai besi berujar, “bila kamu mau membuat tag nama, aku bisa menawarkan jasa untuk menuliskan namanya dengan anvil milikku.”

Aku tertawa, “terima kasih kang. Tapi yang jadi pertanyaannya, apa tag nama itu bisa di-craft?”

“hehe, kalau itu… kamu harus mulai bertualang atau berdagang.” Ujar si pandai besi.

Rupanya di minecraft vr ini sama, name tag tidak dapat dibuat/craft. Mungkin bisa, tapi si pandai besi tidak mengungkapkannya. Aku ragu kalau minecraft yang sudah mengalami banyak perubahan dan tambahan mods. Tapi tidak ada editan untuk dapat membuat tag nama sendiri.

“kalau begitu terima kasih kang! Aku akan mengabari kamu nanti.” Ujar Yuki seraya menarik tanganku memberikan isyarat untuk segera mendapatkan barang yang konon gampang-gampang-susah untuk didapatkan.

Si pandai besi menyunggingkan senyum senang, “dan lagi… kalau bisa carikan material besi atau metal lainnya. Aku bisa membenahi pedang batumu yang kusam itu!”

Aku terkekeh dan berguman, “ah ya ya.. harusnya begitu. Pedang itu bahkan aku buat karena kepepet, si Yuki bahkan tidak mau menggantinya.” Dan seperti biasanya, Yuki mendengarnya. Ia menyiku dada spontan.

 

Setelah Yuki menemukan solusi untuk si pillager yang ditangkapnya ketika raid kemarin-kemarin. Ian mengirim pesan, tentang kemarin dan keadaan Lenka.

“siapa Ir?” Tanya Yuki melihat beberapa menu panel melayang.

“ini. Ian. Dia men-dm. Setelah ini, aku mau menjenguk Lenka. Kemarin ia terluka lumayan parah. Sepertinya pemanah tidak punya kemampuan regenerasi yang cukup seperti penambang dan petarung.”

Yuki menyimak, ia mengangguk setuju. “Ok. Kalau gitu ayo.”

 

***

“Iruma?”

Lenka menyahut kaget, mendapati kami masuk.

Saat ini kondisi Lenka belum pulih keseluruhan. Lukanya masih terlihat dan belum sepenuhnya pulih kembali. Pimpinan partynya, Ian ia bingung kondisi partner pemanahnya masih belum segera pulih.

“ya, Iruma di sini.” Ujarku memberi absen.

Begitu juga si Yuki, ia turut memberi sapa “Lenka. How do u do?”

 

Karena saat ini aku tidak satu party dengan Lenka. Baris hp miliknya tidak terlihat, hanya sebatar indikator pemain. Itu saja. Selebihnya tidak, di minecraft ini cukup menjaga privasi antar pemain. Di antaranya seperti menyembunyikan nama/nickname kecuali sudah terdaftar dalam daftar teman.

“Iruma. Maaf ya kemarin. Aku tidak tahu kalau endermen bila di—“

Aku memotong, “dah dah. Semua sudah selesai. Lagi pula ini cuma game. Log out, nanti tetap bakal ketemu sama kawan beta tester lainnya.”

Lenka menyahut “benarkah?”

Aku mengangguk, “yap. Kita semua juga betatester. Semua punya identitas, nanti juga kelihatan dan bisa ketemu.”

Lenka menghela napas lega. Kemudian si Yuki mengambil percakapan.

“kapan kita berburu slime lagi?” Ujar si Yuki tertawa.

Cewek pemanah ini menyunggingkan senyum, “hehe. Kalau ajak aku, nanti rencananya kacau. Kemarin waktu hunting slime. Hasilnya malah debat sendiri dan kacau.”

Yuki tertawa ringan, “haha. Itu cuma slime doang. Lagi pula sama seperti yang dikatakan Irma. Ini cuma game, easy sis.”

“kalian punya mind-set yang sama ternyata.” Ujar Ian. Ia menunggu bersandar di tembok tempat penginapan.

“benarkah?” Ujar Yuki

Bersamaan “itu tidak sengaja.” Ujarku pula.

“satunya penambang dan petarung. Apa itu bisa saling berkaitan?” Tanya Ian, ia menggumam sejenak. Mencoba membayangkan hubungan antara kapak tambang dengan belati atau pedang.

Al hasil ia menyerah dan berujar, “ah imajinasiku bahkan tidak bisa membayangkannya ketika dua talenta yang beda tujuan dan fungsi ketika bertarung.”

Yuki dan Aku terkekeh tertawa, “well. Itu sudah resiko. Satu party harus saling melengkapi.”

“tidak, tapi bagaimana kalian bertarung? Aku lihat kalian begitu kompak ketika membabat zombi atau skeleton ketika malam dan raid kemarin.” Tanya Ian penasaran.

Kali ini si Yuki unjuk gigi, ia memilih untuk menjelaskan. Karena dari awal, pola serangan yang sering kami gunakan, si Yuki-lah yang memimpin kalau dalam hal tarung bertarung.

“jadi, karena Irma punya poin ketahanan yang lebih dibandingkan aku. Maka, Iruma jadi tameng atau pion yang mengecoh musuh.” Ujar Yuki simpel.

Ian terkejut, “tunggu. Jadi, Iruma berarti jadi umpan? Ya kan?” Ujarnya seraya melirik kami berdua.

“ya.. kadang yang memberi serangan final atau jadi umpan. Tapi seringnya jadi umpan sih.” Aku menjelaskan detil cara kami menyerang.

Yuki menyenggol, “dan si Iruma sudah nyaman model kayak gitu. Jadi tidak perlu dipermasalahkan. Ya kan? Kan?”

Tidak ada cara lain selain mengiyakan.

“ya ya.. whatever.”

 

***

Alhasil prosesi pencarian untuk mendapatkan tag nama berlangsung singkat dan benar-benar keberuntungan.

Si Yuki berhasil melakukan diplomasi untuk barter dengan beberapa item yang dimilikinya untuk mendapatkan beberapa barang yang dapat didagangkan. Dari awal, si Yuki yang memimpin. Aku hanya ikut sana-sini menyimak semua usaha yang dilakukannya untuk mendapatkan satu tag nama.

“Iruma.. name tag! Name tag!!” Seru Yuki mendapati secarik kertas yang tidak biasa. Tapi mereka menyebutnya sebagai name tag.

“wujud name tag di sini bahkan berbeda dengan minecraft. Di sini seperti kertas yang punya daya magis atau sakral tertentu.” Ujarku melihat secarik kertas yang nampak usang. Tapi memiliki maksud tertentu.

Yuki menarik lengan seraya berujar “Ayo langsung ke si kang pandai besi! Malam ini dia harus kita namai!”

Lagi-lagi, tidak ada pilihan lain selain mengiyakan.

 

Melihat Yuki menunjukkan tag nama kepada si pandai besi. Ia terkejut heran, “di mana kamu mendapatkan ini? Apa kalian habis menaklukkan dungeon?”

Yuki menjentikkan jarinya seraya menggesek, memberi isyarat akan uang/harta. Anehnya si pandai besi langsung paham.

Pandai besi langsung menyiapkan anvilnya dan hendak memulai proses penamaan, tiba-tiba si Yuki mencegahnya.

Ia berujar “tunggu. Ini, ini.. Iruma. Namanya siapa enaknya ini?”

“loh. Aku kira kamu sudah memikirkannya.”

Yuki menggeleng cepat, “beloom!”

“hadeuh.”

Tanpa melihat situasi, kami spontan ribut. Mendebatkan tentang nama yang bagus untuk tawanan. Rupanya pemberian nama adalah sesuatu yang penting dan vital, hal tersebut sama pemikirannya dengan Yuki. Ia berencana untuk menamainya nama yang memiliki arti yang kuat.

Tetapi di sisi lain, melihat ia adalah seorang wanita. Bagaimana pun ia harus mempunyai nama yang feminim. Entah apapun itu, yang terpenting punya arti khas seperti wanita.

“kalau kalian masih memperebutkan nama, bagaimana kalau kalian tanyakan langsung ke hewan yang ingin kalian beri nama?” Usul si pandai besi, melihat kami terus debat mencari nama yang sesuai.

Kami saling pandang, “menanyainya langsung? Maksudnya?” Tanya Yuki heran.

“ya. Menanyainya langsung. Maksudnya kalian siapkan beberapa nama, lalu sebutkan nama satu-satu. Lalu tunggu respon binatang yang ingin kalian namai tadi. Bila ia memperlihatkan tingkah yang seolah setuju. Maka itulah nama yang sesuai.” Jawab si pandai besi.

Minecraft di sini sungguh beda. Sampai untuk cara penamaan mob pun ada etikanya sendiri.

 

“apa? apa itu??!”

Si pandai besi menyeruak kaget bukan main. Ia gemetar, hawa merinding membunuh keberanian serta tubuh kekarnya yang bisa membuat orang mempunyai mindset bahwa ia adalah seorang tanker.

“apa ini??” Seru si pandai besi lagi. Kali ini ia mengangkat palu godam dan siap menghantam.

Kami menghadang, “tunggu kang.. dia bukan musuh.. kuulangi lagi dia bukan musuh.” Ujar si Yuki mencoba menenangkan kang blacksmith yang sudah takut bukan main.

Hal ini mungkin tingkah yang wajar. Karena bagaimanapun si pandai besi ini adalah seorang villager, alias mob berjenis passive. Ia tidak memiliki kemampuan untuk bertarung, mengingat dirinya adalah mob passive. Kecuali admin atau game master mengubah otoritasnya menjadi mob neutral seperti endermen.

“tidak, itu musuh! Itu musuh!” Seru si pandai besi seraya melangkah mundur perlahan.

“ini bisa gawat kalau ia keluar dari penginapan ini. Ia pasti segera mengumumkan kalau di desa ini ada mob hostile.” Ujarku pada si Yuki dengan suara pelan seperti gumaman.

Yuki membuka menu, “kamu buat dinding pembatas agar sekiranya akang pandai besi itu tidak terasa terancam. Setelah itu kita coba mulai komunikasi sama si cewek pillager itu.” Gumannya pelan.

Aku mengangguk cepat, dan memulai membangun dinding sementara berbahan kayu. Si pandai besi mundur beberapa langkah, mendapati dinding pembatas mulai terbangun. Rasa gemetarannya mulai menurun, dan emosi takutnya mulai menurun stabil.

 

Selanjutnya kami memulai komunikasi dengan tawanan. Cewek pillager, yang kami ikat dengan simpul pita. Sebenarnya simpul tali ini bisa lepas, mudah sekali. Tapi Yuki dan Aku sudah bersiap untuk kejadian yang tidak diinginkan. Yakni menahan serangan berontak olehnya dan berusaha keras agar tidak memberikan serangan balik yang dapat melukainya.

Si Yuki mencoba berinteraksi, sedangkan aku melepas simpul tali. Sementara si pandai besi melirik kami dari balik tembok pembatas.

“mbak e?”

Ia memberontak begitu simpul tali lepas, namun kecekatan Yuki cukup untuk menahan dash yang dikeluarkannya spontan dan menahan hantaman tubrukannya.

“…art!” Ujarnya mengerang. Yuki mendekapnya.

“well.. hello.. siapa namamu?” Aku mencoba berinteraksi.

Ia memberontak, berusaha melepas dekapan si Yuki.

“mbak. Sis? Aduh apa cara manggil yang pas ini?” Tanyaku bingung.

Yuki balik mengerang, “ah, cepetan Irma. Aku kayaknya ndak bisa nahan lebih lama lagi.. berontakannya terlalu kuat.”

[97%] Yukina, Warrior Lv. 56

---[83%] Stamina

“stamina-mu drop terus dari tadi. Artinya kamu nggak kuat nahan, gantian. Biar aku yang nahan, kamu coba tanyakan!” Pintaku cepat.

“hah? Kamu? Tapi, tapi kan—“

“oi cepetan Yuki. Kalo stamina habis, poin hp nanti yang ikut drop!” Ujarku cepat.

Yuki melepas dekapan, cewek pillager ini menyeruak maju. Karena tidak punya waktu untuk bersiap, maka tidak ada cara lain. Selain menubruknya sampai jatuh terguling. Dan mendekap segera memulai mengunci gerakan.

 

Melihat Aku terguling-guling seraya berusaha merangkul si cewek tawanan ini. Yuki meringis risih, ia berujar “ini kalau ada fitur screenshot. Mungkin bisa jadi bukti kalau beta tester ini melanggar moral.”

“Yuki!”

Ia tertawa sekilas, “ahaha oke oke.. aku mulai.” Ujarnya mulai berlutut.

Menyeka rambut tawanan, Yuki pun dapat melihat jelas wajah dan raut muka tawanan.

“kedua matanya terbuka lebar. Pupilnya sedikit mengecil.” Yuki mendeksripsikan.

“mulutnya terbuka. Kayaknya ia mau mengucapkan sesuatu Irma..”

Aku yang sudah sibuk sendiri mengunci tubuh tawanan berujar, “bodo. Aku nggak lihat!”

“kamu jangan endus-endus rambutnya loh. Kotor, nanti kita mandikan biar bersih.” Ujar Yuki seraya menggerai rambut pendek tawanan.

“jadi gini. Kami mau menamai kamu, siapa namamu?” Tanya Yuki dekat.

“… ar!” Ujarnya mengerang. Terus memberontak berusaha melepas kunci dekapan.

“siapa? Siapa? Ada apa?” Tanya Yuki lagi. Berusaha memperjelas apa yang diucapkan oleh tawanan.

Ia menjawab mengerang, seraya menggeliat terus agar kunci dekapan terlepas.

Poin ketahananku cukup untuk mengunci gerakannya. Perlahan staminaku terkuras bila ia berontak cukup banyak. Talenta Ore Seeker nampaknya meningkatkan cukup banyak poin ketahanan.

“siapa namamu?”

Ia menjawabnya dengan mengerang, sesekali ia memberontak. Tapi perlahan menurun.

“siapa namamu?” Tanya Yuki lagi.

Kali ini ia tidak menjawab, tidak mengerang, memberontak masih tapi tidak seseru tadi. Mulai menurun.

“Iruma. Pandangannya melemah. Apa ia kelaparan?” Ujar Yuki yang bertatapan langsung oleh tawanan.

“kalau ia kelaparan mungkin tidak, ia mungkin kehabisan stamina karena terlalu banyak nge-dash tapi stuck kehadang.” Ujarku seraya terus mengunci gerakan tawanan.

Gerakannya menurun perlahan. Hal ini terasa jelas, karena aku merangkul mulai melonggar. Tidak seketat tadi, artinya ia mulai menurunkan keagresifannya.

“Iruma Iruma!! Pandangan matanya mulai melemah! Ia kehabisan stamina!”

 

***

Stamina tidak mencukupi untuk melakukan dash!

Stamina berada titik nol. Memulai pemulihan.

Poin wareg tidak mencukupi, pengurangan hp dimulai.

(Ah sepertinya aku akan mati dalam kondisi konyol. Di mana mereka hendak menyelamatkan tapi aku menolak dan bersikeras untuk kabur.)

 

“Yuki! Yukina! Cepat berikan sepotong makanan atau apapun itu yang bisa dimakan!”

“tapi aku, aku.. tunggu..”

(Apa yang mereka lakukan? Kondisi seperti ini, masih bersikeras untuk menyelamatkanku? Bukannya nanti kalau laki-laki yang bertubuh kekar itu sadar kalau aku adalah hostile, seluruh desa akan mengumumkan bahaya ancaman?)

“Yukina!”

“Tunggu! Irma! Aku nggak punya stok makanan apapun di storage!”

Kunci dekapan melonggar, “Nggak punya? Duh. Sebentar, aku keluarkan beberapa makanan.” Ia mengusap vertikal maya, nampaknya membuka menu dan mengambil sesuatu.

“Yuki!”

“oke oke.”

Karena stamina dan wareg benar-benar kopong/kosong, maka bila tubuh bergerak ongkosnya adalah poin kehidupan akan terkuras. Hal ini jarang terjadi kecuali ada pemain atau objek yang bodoh, terus keras kepala bergerak dan melakukan sesuatu sampai poin wareg & staminanya terkuras habis tidak punya stok cadangan untuk mengisi.

“Baringkan kepalanya di atas bed!”

“Ok!”

“hati-hati..”

 

HP: 23%

*Starving level 3

(Aku tidak punya poin wareg yang cukup untuk memulihkan poin kehidupan semenjak aku ditangkap oleh mereka. Perlahan menurun, nampaknya momen ini adalah akhir, poin kehidupan menginjak angka nol/zero).

“Kang! Kamu punya potion atau semacamnya?”

“potion maksudnya?”

“semacam ramuan atau apapun yang bisa meningkatkan beberapa stamina secara instan!”

“mungkin, aku tidak yakin untuk ini.. Tapi ramuan ini dari penjual peramun. Bagaimana?”

“seharga apa itu? Agar aku bisa punya?”

“kamu mau bertualang dungeon? Ini, ramuan seharga… mungkin kamu bisa menukar 3 besi batangan untukku. Biar nanti aku yang mengurus transaksi ini ke penjual peramun itu. Bagaimana?”

Tanpa ragu, ia membuka menu “Deal, deal.”

 

“aku tidak yakin itu dapat memulihkanmu ketika masa-masa galat. Tapi kamu membeli sepaket berisi 10 botol. Tidak ada salahnya mencoba satu bukan?”

Ia mengangguk cepat, “sip. Terima kasih kang.”

“bagaimana binatang kalian? Apa penamaan—“

“masih, tunggu proses. Kami akan segera memberi kabar!” Ujarnya berpaling, lalu kembali berujar “kang!”

 

HP: 18%

(Well. My time has com—

*gulp!

Sesuatu masuk, mengalir kedalam langsung menyegarkan ruang kerongkongan sampai perut. Hawa hangat menjalar ke seluruh tubuh, memberikan setruman semangat dibarengi dengan naiknya statistik poin stamina.

Hal ini membuat avatar ini dapat bergerak kembali.

“guaah!!”

Mereka sontak kaget, dibarengi rasa lega.

“Dia terbangun cepat! Potion yang kamu berikan langsung bekerja!!” Seru pasangannya. Entah siapa itu namanya, aku lupa. Tapi aku bisa mengingat kalau mereka selalu bersama.

Melihat kedua tanganku yang mulai gemetar, mengisyaratkan kalau hendak segera melakukan skill, ia langsung berujar “tidak tidak tidak mbak e. Kamu jangan langsung kaget dan reflek nge-dash atau spam skill pasif sana-sini.. sementara kamu tenang dulu…”

Main frame, sebagai hostile.

Main frame, sebagai hostile.

(uh, kamu bilang tenang-tenang. Tapi ini ndak bisa tenang).

Seperti biasanya, begitu avatar mempunyai stok stamina yang cukup. Reflek menyerang karena main objektif sebagai hostile, selalu terjadi.

Untung mereka berdua cukup kuat untuk menahan tubuh avatar ini agar tetap berbaring, tidak beranjak atau pun menyeruak berontak.

“sebelumnya aku minta maaf. Kami tidak bisa berinteraksi kalau kamu masih terus mengeluarkan skill pasifmu. Kami akan memberikan ramuan pelumpuh.”

Mulut botol kecil didekatkan, perlahan turun cairan ramuan. Bagiku tidak apa-apa. Ritual penamaan ini aku yakin berlangsung lancar nantinya, aku dapat memberikan pelayanan optimal untuk mereka.

*gulp

Weakness Lv. 2

 

Mereka memberikan potion, ramuan yang memberikan efek lemas sehingga aku tidak bisa menggerakkan tubuh untuk sementara waktu. Di mana mereka mendapatkan ramuan itu? Untuk membuatnya harus memfermentasikan mata laba-laba dan merebusnya dengan peramu—

Ah sudahlah, yang terpenting tubuh ini tidak memberontak sendiri karena perintah awal sebagai hostile. Maka biasanya secara otomatis akan terus menyerang dan agresif bila mendapati ada objek yang menjadi pemicu.

Kali ini adalah mereka berdua.

 

“siapa namamu?”

“…a”

Aku tidak bisa berujar! Potion ini melemahkan semua tubuh secara fisik! Bagaimana ini?

“Iruma, sepertinya potion yang kamu berikan terlalu tinggi dosisnya!”

Tidak, seharusnya tidak. Potion weakness level dua, hanya sebatas tubuh yang lemas lumpuh. Tapi tidak melumpuhkan bagian voice.

“Ar.” Aku berusaha berujar, meskipun hasilnya suaranya parau.

“Iruma! Iruma!”

Perempuan ini berpaling. Nampaknya ia menemui pasangannya.

 

Tapi tunggu, semisal kemampuan bicaraku tiba-tiba pulih sebelum tubuh ini pulih pula. Siapa namaku?

Sebelumnya aku ingat, peristiwa di mana aku berada. Belum diberi perintah utama, main frame masih bersih. Alias suci. Aku bisa mengatakan seperti ini setelah belajar banyak hal, terutama mempelajari bilingual, tata bahasa dan seterusnya secara otodidak.

“namamu—“

Tidak, aku tidak bisa mengingatnya. Dia yang memberiku nama sebelum watak dan perintah utama disuntikkan.

“namamu a—“

Kala itu main frame masih bersih, belum ada apa-apa. Yang aku tahu mungkin tidak ada. Hanyalah kosong atau hampa.

 

“semua simbol pasti punya nama. Tidak mungkin dalam dunia pemrograman, adanya variabel tapi tanpa nama. Yang terjadi adalah prosesnya akan kacau karena sistem tidak bisa mengenali.”

“hebat banget. Dari mana kamu tahu ilmu itu?”

“jurusanku mempelajari itu.”

Simbol? Sebelumnya aku pernah tahu, kalau simbol ada hubungannya dengan objek atau variabel. Begitu rumit, aku tidak begitu paham.

Tanpa ragu, ia menggantikan posisi perempuan. Kali ini perempuan itu menyingkir dan berada di sampingnya. Kedua tangannya membelai tangan kananku yang terkulai lemas karena efek dari potion.

Diangkatnya pelan-pelan lalu dituntunnya untuk melambai dan mengusap sesuatu yang maya.

(apa mungkin dia mengisyaratkan untuk membuka menu?)

*ding

(tampilan menu, terbuka?!)

Aku membuka menu dengan bantuan uluran tangan laki-laki ini. Beberapa jendela maya terbentang mengambang.

“logikanya masih berjalan. Artinya kita bisa berinteraksi dengannya. Tapi karena efek dari ramuan yang tadi aku kasih, tubuhnya lemas.” Ujarnya seraya kembali merebahkan tangan kanan yang lemas.

“loh loh. Kok bisa? Jangan bilang tadi kamu pakai tangannya dia buat buka menu? Itu tadi kan gestur untuk buka menu!”

“Ya.. kamu kira yang bisa buka menu kayak gini hanya pemain doang? Melihat para villager, kecerdasan mereka, pasti mereka dapat menentukan apapun yang ingin ia putuskan. Makanya sistem memberikan fitur menu pula pada mereka.” Ujar si laki-laki dengan poni nyaris menutupi mata kanannya.

“mana—“

“jangan tanya mana menunya. Dia belum satu party sama kita, makanya tampilan menunya nggak kelihatan. Tapi raut mukanya kelihatan terkejut begitu aku membuat gestur membuka menu.” Potongnya cepat.

Perempuan itu terkekeh.

 

“ok. Sekarang, aku yakin logika kamu masih berjalan. Dan karena kamu diperintahkan sebagai hostile. Maka tidak heran ketika kamu bertemu atau ada sesuatu atau objek yang berada dalam radius, pasti langsung bersikap agresif.”

Artinya dia sudah paham kalau sikap agresif yang kadang kebetulan dan timbul tenggelam ini muncul karena sebab main frame hostile tersebut.

“Karena kamu saat ini berada di dekat kami. Si Yuki, Kami mengajakmu untuk bergabung menjadi keluarga. Ya, keluarga. Menjadi partner. Saling bantu-membantu.”

(Kata-kata ini sama. Mirip seperti yang dikatakan oleh pemerintah. Hanya saja waktu itu, suaranya feminim.)

“Siapa namamu?”

“Siapa namaku?”

Perempuan di sampingnya terkejut melihat aku berujar. Nampaknya ia ingin mengucapkan sesuatu, tapi segera dicegah oleh laki-laki ini.

“yap. Nama. Instance name? atau mungkin symbol string? Kalian pasti punya nama. Tidak mungkin di sistem vr yang modern ini, objek tidak memiliki nama.”

(instance name, string. Aku mengingatnya. Jadi itu namaku. Pemerintah memberiku nama sebelum aku diberi perintah utama sebagai hostile.)

(“…sekarang namamu Artes…”)

“—Artes.”

“Artes?”

“Artes.”

Ia mengangguk paham. Lalu berujar, “pandai besi!”

“heyo. Aku sudah tahu. Tunggu sebentar!” Seru seorang di balik dinding— Kayu?

 

Tubuh masih terkulai lemas karena efek ramuan. Kondisi terbaring telentang di atas ranjang. Sepasang objek, tidak maksudku pemain ini mengerumun. Mereka menatap, tatapannya terlihat gembira, senang, lega.

Mengapa mereka terlihat gembira? Padahal sebentar lagi, tim mereka akan terdapat anggota yang beban.

“cara memasangnya tinggal kamu tempelkan tag itu di salah satu bagian tubuhnya. Untuk lokasinya…”

Si pandai besi mengangkat kedua tangan, memberi isyarat tidak tahu menahu.

“…terserah kamu bocah.”

“Yukina..”

“—tapi sebelum kamu menempelkan tag itu. Aku tidak yakin itu berhasil atau tidak, melihat yang ingin kamu beri tag itu sepertinya bukan hewan biasa. Jadi, bersiaplah!”

Mereka saling pandang, pasangan ini. Lalu berbisik sekilas, sontak perempuan itu mengambil gestur membuka menu, dan memunculkan satu bilah pedang di pinggangnya.

 

“Artes. Kami mau menempelkan tag, ini akan jadi momen yang akan kamu ingat.”

Aku tidak bisa berujar, maka menjawab dengan anggukkan sekilas. Mereka paham.

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.