MINECRAFTER VOL. 7 - BAB 23: HILANG HITUNGAN/LOST COUNT
Bab 23: Hilang Hitungan/Lost Count
Siang, masih terhitung pagi. Tapi aku sudah menganggap ini
siang, matahari sudah meninggi dan sinar teriknya sudah cukup membuat pandangan
silau.
Suara percikan air tersebar rata sepanjang danau. Aku berani
menebak kalau di dalamnya pasti banyak ikan.
“Aku
bosan.”
Yuki berujar tiba-tiba. Ia memecah keheningan setelah cukup
lama berdiam menanti kail pancing ditarik.
Aku menoleh, “Kalau
gitu kenapa ndak ikut Ian sama Rena? Mereka lagi berburu juga kok.”
Yuki menggeleng segera, “nggak.”
“Kau
khawatir kalau ada penyerangan mendadak? Ini masih pagi loh, lagi pula mana ada
mob hostile yang spawn didepan mata kecuali Creeper.”
“Ya
itu. Aku khawatir itu!”
Celoteh Yuki cepat.
Aku menarik kail pancing dan melemparnya kembali pada titik
yang berbeda. “Ada
Artes sama Lenka. Penglihatannya Lenka yang tajam pasti sudah reflek untuk
narik pegas panahnya kalau ada creeper.”
Yuki merengut sekilas, “lagian kenapa harus berburu ikan? Kan ada daging sapi atau domba
yang berkeliaran liar di sekitar sini..” Protesnya.
“Itu
buat kamu. Talentamu mendukung, kalau aku sama Artes nggak begitu.”
“Kan
kamu bisa ganti slot talentanya..”
Aku menyunggingkan senyum, “ntar Artes gimana? Kita hidup nomaden
gini harus saling jaga—“
“Raden!
Raden!! Aku dapat Ikan Raden!!!”
Artes menyeru tiba-tiba. Sepertinya umpannya berhasil.
Sontak aku segera berdiri dan berujar pada si Yuki meminta tolong untuk menjaga
kail pancing, “Yuki
Yuki. Tolong jaga kailku sebentar. Aku mau bantu Artes narik.”
Ia merespon anggukkan paham. “Umm oke oke.”
*splash!
Al hasil, hasil umpan Artes berhasil mengaitkan sekitar lima
ikan berukuran besar bersamaan.
“Feww.. pantas saja tadi berat.” Ujar Artes menyeka dahi dan
mulai memisahkan ikan dari kail pancingnya.
...
“Irma,
Irma... kayaknya ini punyamu dapet juga deh.” Ujar Yuki, ia tampak menahan tubuh menjaga keseimbangan agar
tidak tertarik jatuh.
“Beneran?
Ayo tarik! Tarik Yuki!” Ujarku menyeru.
“Bilang doang gampang...” Ujar Yuki seraya menahan kail
pancing yang terus menarik.
“Tarik terus Yuki!” Ujarku lagi menyemangati.
“Kalau
gitu, bagaimana dengan in—“
“—whoaaa!!”
*byur
“Heh?”
Semua terpana menyaksikan. Si Yuki yang dikenal wanita
pedang, dapat membuka kemampuan dua pedang. Kini ia tercebur kalah kuat dengan
tarikan ikan dari kail pancing.
*blup *blup *blup
“Irumaaa!!”
Artes, Aku, dan Lenka yang kebetulan ia membawa hasil
tangkapan ikannya tertawa lepas. Tidak kuasa menahan tawa melihat yang terjadi.
*brup *blupp
“Oi oi. Jangan bilang kamu nggak bisa berenang!” Ujarku
panik melihat Yuki tidak kunjung berdiri menepi. Meninggalkan beberapa
gelembung dipermukaan air.
“Raden,
kayaknya benar deh.. kak Yuki—“
*splash
“Oi
tolong! Ini bukan ikan biasa! Ini cumi cumi! Tolonmg—“
Yuki kembali tenggelam setelah menampakkan diri ke
permukaan.
“Oke,
Itu artinya bukan pertanda bagus..” Ujarku menarik pedang besi dan berdiri untuk segera menolong
Yuki.
“Hati-hati
Iruma, sepertinya itu bukan cumi-cumi biasa. Ulur ke permukaan, Aku persiapkan
panah!” Lenka
menyahuti. Ia mengambil perannya seperti biasanya. Pemanah.
“Aku
juga ingin membantu Raden menolong Kak Yuki! Gunakan aku sebagai tameng
penahan! Ketahananku cukup untuk menahan mengingat aku seorang Barbarian!”
Artes tak mau kalah.
“Siap.
Aku mengandalkan kalian berdua!”
Seruku dan mencebur.
Yang jadi prioritas adalah Yuki. Bila ia kehabisan stok
napas, hp miliknya akan terkuras drastis. Saat ini baris nyawa Yuki belum
kelihatan berkurang, tapi maksudku bagaima mungkin ada gurita yang besar sampai
bisa mengekang Yuki sedangkan ia punya—
*brashh!!
Ledakan air di tengah danau. Diameter kurang lebih sekitar
empat meter. Terlihat jelas monster dengan tangan kaki yang aku ngga bisa
bedakan mana perbedaan antara keduanya.
*splash
“IRUMAAA!!!”
Yang jelas dua diantaranya membelit lilit Yukina sampai
terikat kuat.
“Dia bisa ngangkat Yuki? Pakai dua tangan tentakelnya??” Aku
terkejut.
Yuki geram, “nggak
usah banyak mikir. Cepat tolong lepasin ini!!” Ia rupanya menyadari aku bengong karena mikir.
*crek
“At
your service, hupp!!”
*slash *slash
Satu lompatan, dua kali tebasan, mendarat seperti tarian. Sulur
tentakel langsung terpotong rapi dan si Yuki terlepas jeratan lalu jatuh.
“Hopp!” Ujarku sigap menangkap Yuki yang jatuh dari
ketinggian cukup.
…
“Mana ada gurita segede ini ada di minecraft.” Ujarku seraya menurunkan
Yuki.
“Yuki,
coba kamu...”
Ia seolah tidak mendengar, dua tangannya menggerayangi
sekujur tubuh pakaian yang basah kuyup.
Tanpa pikir panjang, aku segera membuka menu dan mengambil
jaket kulit katun dan berujar, "ini ini. Cepat ganti buat nutupin yang
basah!"
Yuki menggeleng dan kembali ke mode fokus “nggak nggak ada apa-apa. Lagipula kamu
juga udah sering lihat beginian.”
“Hei.” Celotehku.
*sring
“Entah
ini kalau dibunuh dapat daging atau nggak. Yang jelas pasti dapat ink sac!!” Seru Yuki sambil menarik
satu bilah pedang dipinggangnya.
(Ah iya. Squid juga punya drop item berupa tinta. Nantinya
bisa di-craft jadi pena buat nulis buku)
Diikuti dengan irama desing pedang pula, aku dan Yuki maju
memulai serangan beriringan.
Pertama Yuki maju duluan dan memberikan tiga sampai lima hit
serangan tebas. Hal ini seketika perhatiannya teralih dan tertuju pada si Yuki.
Begitu gurita ukuran medium ini menyulurkan kail-kail
tentakel pada si Yuki, kini giliran aku menyerang.
Satu pedang, terbuat dari besi gelap karena kualitas besinya
tercampur dengan arang (persetan, yang terpenting pedang ini cukup tajam untuk
serangan basis duet seperti ini) aku memulai serangan kedua setelah si Yuki.
*slash
Dibarengi dash, melesat maju mengiris. Slant atau identik
dengan tebasan mengiris sambil dash.
Alhasil tiga tentakel yang tadi mengejar Yuki pun terpotong
diikuti dengan sayatan tato horizon di bagian tubuh gurita.
“Lenka!” Aku menyeru.
Ia tidak berujar, menjawab dengan anggukan sambil menarik
kuat panah yang sudah dari tadi ia bidik pada gurita.
*vung *ctapp
Begitu menancap, panah memancarkan cahaya redup.
“Heh??
Irma awas!”
*bamm!!!
Proyektil eksplosif. Menancap dan langsung memulai hitungan
mundur untuk meledak. Meski daya ledaknya tidak selebar dinamit, tapi daya
kerusakannya bisa fatal bila menancap dalam tepat di daerah vital lawan.
Alhasil, tinta hitam mencuat menyebar.
“Hei
Lenka! Panahmu tadi hampir kena Iruma!!” Seru Yuki.
Lenka meringis, responnya tidak berujar. Ia mengambil tiga
anak panah dan kembali menyesuaikan sudut.
“Artes!” Aku menyeru
Ia segera merespon, “ok! Raden!”
Beberapa langkah Artes mendekat, ia akan mengaktifkan skill
Agro pengalih perhatian. Sehingga potensi hate mob pada dirinya akan meningkat.
Ini memberikan efek mob hostile akan mengincar dirinya.
“Setelah
gurita ini berhasil ditarik, harusnya panah Lenka dapat menusuk memberikan
serangan final.”
Gumanku.
“Seharusnya begitu. Tapi kayaknya ini mob nggak hostile deh.”
Ujar Yuki.
“Nggak hostile? Tadi kamu lihat dicekik-kan?”
“Tapi perasaanku nggak mengatakan kalau gurita ini mob
hostile..”
*drap *drap
"Skill pengalih agro, aktif!" Artes melapor.
…
*zruuttt *grab!
“Tuh
kan!! Ngga ada efek! Squidy ini nggak hostile!!!” Seru Yuki begitu tentakel cumi-cumi
melilit dirinya kembali.
“Kalau
nggak hostile terus apa mbak ee!”
Aku membalas sambil berusaha melepas jeratan tentakel
“Skill
pengalihnya nggak berhasil. Bagaimana ini Raden?” Artes panik. Ia merasa tidak berguna
karena pengalih Agro adalah satu-satunya yang sering bermanfaat dalam situasi
mendesak.
“Sementara,
Artes menyingkir. Semoga tiga panah ini bisa kena tiga objek sekaligus.” Ujar
Lenka, ia menarik tiga panah dalam genggaman dan siap dilepas.
“Dia berencana membunuh kita! Aaaa!” Yuki histeris, tubuhnya meronta-ronta.
“Yuki,
diam sebentar. Nanti panahnya Lenka bisa kena kamu!”
Hembusan tenang, kemudian dilepas. Suara udara mengiris
lesat terdengar tipis. Tiga panah dalam genggaman dilepas horizontal.
*vung *splat *splat
Serangan final diambil oleh Lenka.
…
Radius tertentu, warna berubah gelap hitam. Setelah serangan
tiga panah beruntun memberikan damage final dan hewan yang disebut squid oleh
si Yuki pun sirna.
“Uuu...
badanku belepotan tinta semua..”
Keluh Yuki. Ia menggerai rambut panjang yang masih basah kuyup.
“Maaf
Yukina, Iruma. Tadi nggak ada pilihan lain. Jadi kotor hitam semua..” Ujar
Lenka.
Artes
menghampiri, ia tiba-tiba mengambil botol minum kecil miliknya dan menyirati
cairan ke baju kerah yang aku pakai.
“Ada apa
Artes?”
“Um... ini,
ngga bisa hilang pakai air biasa. Mungkin pakai air hangat bisa.” Ujar Artes
sambil menggosok kecil.
“Bagaimana
kalau nanti malam ke lereng? Kemarin-kemarin aku menemukan geyser yang pas buat
berendam. Sekalian refreshing..”
“Kalau
Raden yang usul aku ikut.”
“Lenka ikut
ya”
Yuki
melirik sejenak. “Di mana tempatnya? Kok aku nggak pernah lihat?”
“Ada.
Tempatnya nggak kelihatan kalau dilihat sekilas dari jauh. Yang terpenting
untuk masalah mob, ntar bisa ditancapin obor sana-sini. Penerangan setidaknya
bisa mengurangi potensi spawn mob hostilenya.”
Yuki
mengangguk sekilas setuju.
…
Perjalanan
pulang. Kembali ke posko shelter yang kami buat kecil-kecilan. Hanya
berpenghuni dua party. Yakni Aku, Yukina, Artes, Lenka dan party-nya sekalian.
Lalu,
bagaimana dengan base camp yang dibangun, dihuni oleh puluhan orang para penguji
beta?
Basecamp
tersebut terpecah belah setelah adanya propaganda, perselisihan sampai akhirnya
berujung pada bencana atau tragedi berkedok keselamatan.
Entah, apa
yang terjadi kala itu adalah adanya sekelompok orang yang berpikir 'berada di
sini artinya memendekkan nyawa usia disia-sia'
Mereka yang
berpikir tersebut punya rencana untuk menyelamatkan hal tersebut pada para
penguji beta yang masih ragu dan tidak berani melakukan suicide untuk log out.
Kamu tahu,
beban mental dan rasa realistis yang tidak dapat dipungkiri. Meskipun ini semua
hanyalah game belaka, tapi sensasi ketika bertarung, menambang, berinteraksi
rasanya nyaris sulit dibedakan antara dunia nyata atau maya.
Analisisku
menganggap karena mindset para penguji beta (termasuk aku) menganggap ini semua
kalau mati maka berakhir sudah.
Rasanya
cukup menakutkan kalau mengambil pisau atau pedang, kemudian menusukkan ke awak
diri sendiri. Membiarkan baris hp terus berkurang, sampai pandangan berangsur
buyar, dan... entah. Aku belum sampai ke ranah itu, baru sampai nyawa tinggal
sekarat saja seperti mau mendekati kematian. Baru sadar setelah pasca peristiwa
dan menyadari kembali kalau ini semua hanyalah game.
Kembali ke
cerita basecamp tadi. Jadi setelah banyak yang terpengaruh, akhirnya sebagian besar
dari mereka mulai menyerang satu sama lain.
Pemicu
seperti ini pernah terjadi ketika ada seorang yang mengajak duel dengan si
Yuki. Berakhir kalah, si Yuki menang. Namun si lawan tidak terima, ia menyerang
Yuki dari belakang. Karena reflek Yuki lebih cepat nan sigap, serangannya
terpantung mengarah ke objek randon. Naasnya mengenai salah satu pemain yang
kebetulan sedang menonton kejadian sengit tersebut.
“Reena!”
“Oi Lenka!”
Di samping
aku tidak mau mati dengan cara dibunuh sia-sia, aku berharap ada cara untuk
keluar tetapi masih membawa ingatan dan memori kenangan yang aku lakukan
sepanjang masa gameplay.
“Bagaimana
mancingnya? Kami mendapatkan daging domba, dan beberapa ayam.” Ujar Ian.
Aku
mengangkat sebaket ember air berisi beberapa ikan, “lancar. Ada sekitar delapan
ikan. Lumayan buat makan malam nanti.”
“Iruma,
Yukina. Kenapa kalian kena...”
“Gurita.
Cumi-cumi. Squid.” Yukina memotong.
***
Jadi
intinya ketika tragedi saling bunuh berkedok menyelamatkan tersebut terjadi di
basecamp, aku memilih untuk kabur menyelamatkan diri (maksudku menyelamatkan
avatar ini).
Si Yuki
kala itu bersikeras untuk ikut, aku tidak tahu kenapa.
“Yuki
dengar. Tempat ini sudah gila. Aku mau pergi dari sini!”
“Raden. Aku
ikut!” Artes menyeru.
“Apa yang terjadi?
Kok tiba-tiba begini?”
“Seperti
biasa. Berkedok menyelamatkan. Tapi emang pada hakikatnya itu menyelamatkan
sih..”
(Hanya saja
kalau aku keluar, log out dari sini dan bangun dalam kondisi nge-blank. Sama
saja nggak ada effort-nya)
“Aku ikut
Iruma.” Ujar Yuki mantap.
*brak
Setelah
berunding lama, mereka para eksekutor menemukan shelter rumah kami. Diantara
para tetangga sepertinya berhasil dibabat (diselamatkan).
*brak!
“Hei di
dalam ini ada orangnya! Cepat bantu aku menyelamatkan mereka!”
“Dih
menyelamatkan dari mana.” Gumanku pelan.
“...Yuki,
ingat jangan serang siapa pun. Yang hanya bisa dilakukan, bertahan. Menangkis
semua serangan mereka.” Aku menambahi.
Ia
mengangguk "oke.”
“...dan
kamu Artes..”
Si Artes
merespon “um?”
“Kau.. ikut
di belakangku aja. Nanti biar Yukina yang mengurus serangan mereka.”
“Hei Apa??
Itu tidak adil!”
...
*prakk
Hantaman
kapak berukuran sedang membuat hancur pintu kayu setelah berkali-kali
mendapatkan serangan. Begitu mendapati ada ruang di dalam, mereka langsung
menyeru “keluar dan kemari. Aku selamatkan ka—“
*bukk
“—uhook!!?”
(Skill
dash. Perpaduan keduanya. Seorang penambang dengan petarung pedang.
Menghasilkan dorongan yang tidak biasa dan memberikan efek knockback sekaligus
stun yang cukup)
Sontak dua
orang yang kebetulan mengerumun jalur keluar, mereka terpental mundur karena
tubrukan dash oleh Yuki dan Aku.
“Selamatkan
dari mananya, di sini kalian tetap saja kriminal! Sana kontak GM mengadu, itu
baru menyelamatkan!” Ujar Yuki ketika berpapasan sekilas.
“Masih ada
orang! Cepat selamatkan dia! Keluarkan dia dari neraka ini!” Salah satu orang
menyeru. Menunjuk arah ke kami bertiga.
“Raden, ini
gawat Raden!!”
Artes
panik.
“Yuki, ke
arah sini. Tempat keluar base camp, masalah mob hostile nanti malam kita pikir
nanti. Yang penting keluar dari sini dulu!” Ujarku pelan.
Ia, Yuki
merespon setuju. Dan mulai berlari mengikuti aku.
Sekitar dua
orang melihat kami kabur. Ia langsung histeris menyeru “ada tiga orang kabur!!”
“Cepat
selamatkan mereka!!” Ujar salah satu dari mereka, seruannya memicu para
penggila lainnya untuk segera mengejar kami.
“Hei
berhenti! Kalian harus keluar!” Seru mereka yang ikut mengejar.
“Bisa tidak
sih tidak memakai kedok selamat untuk membunuh?!” Keluh Yuki.
Baris depan
ada yang mencegah, sengaja menunggu momen yang pas untuk kemudian ia muncul
tiba-tiba dan menghempaskan belati tajam.
*trang!
Reflek
seketika, terlatih bisa karena terbiasa. Belati panjang yang dibuat seadanya
diarahkan ke yang paling depan. Artinya aku.
Untungnya
reflek aku dapat menahannya sekilas dan membiarkan Yuki mengurus sisanya.
“Yuki!”
“Jangan
bunuh mereka katamu. Ok, aku akan menyisakan 1 persen hp untuknya.” Respon Yuki
sambil meneruskan serangan tangkisan sambil mengukir beberapa sayatan kilat di
tubuh penyerang dadakan ini.
...
Kondisi
basecamp kacau, rumah dibakar, tempat porak-poranda, entah kemana saja para
penguji beta yang masih waras. Maksudku mereka yang kabur memilih untuk tidak
mengakhiri kehidupannya di sini di tangan para penggil ini, di mana mereka?
Apa mereka
sudah terpengaruh? Karena pikiran sumpek, akhirnya mau nggak mau harus
menerima.
“Iruma sisi
kanan!!”
“Ah oke
oke.”
*trang
*klang!
Serangan
dadakan tiba-tiba muncul. Dari kanan kiri, depan belakang. Intinya mereka
beranggapan kalau yang dilakukannya ini adalah proses penyelamatan.
“Raden!
Raden! Ada yang pakai kapak! Hati-hati!” Artes menyeru melihat ada beberapa
kerumunan yang menyanggul kapak besar di bahu.
Artinya
mereka kemungkinan besar bertalenta Barbarian. Serangan satu hit, kemungkinan
fatal tinggi, kerusakan kritis juga tinggi. Namun proses serangannya dapat
mudah terbaca, ditambah lagi perlu waktu interval momen untuk serangan kedua.
(Datang!)
*blunt
*krakk!
Dagger
metalik rusak.
“Apa? Dia
bisa menahan hantaman kapak besar ini hanya pakai dagger? Nggak mungkin!” Ujar
penyerang kaget
(Terimakasih
kang Blacksmith. Ini artinya sudah saatnya aku ganti)
*klang!
Tenaga
sisa-sisa, memukul mundur tekanan si penyerang. Lalu menyeru, “Yuki!”
Ia segera
mengambil start lari dan menyerang kala lawan sedang terpental mundur dan membuat
ukiran gores cukup dalam di bagian dada.
...
Cukup jauh
mengembara. Tanpa kompas, hanya berbekal insting dan hasrat untuk kabur. Yang
terpenting sudah jauh dari lokasi basecamp yang sudah jadi mengerikan itu.
Tengah
perjalanan bertemu sekelompok party. Mereka sedang beristirahat, duduk dan
beberapa ada yang tiduran meskipun beralaskan tanah.
“Bukannya
itu party-nya Ian yah?” Tanya Yuki. Ialah yang pertama mengetahui.
“Iyo. Tapi
kena ia di sini juga?” Jawabku memicingkan mata.
…
Rupanya Ian
dan party-nya sekalian punya anggapan yang sama. Ia tidak memilih untuk
mengakhiri prosesnya dengan pilu menyedihkan.
“Nggak
tahu. Tiba-tiba ada yang menyeru kalau yang ingin di selamatkan maka datang di
tengah-tengah basecamp. Itu lho tempat yang buat nongkrong kalau malam
biasanya.”
“Lah terus?
Ada yang datang?”
“Ada.
Sekitar berapa orang ya? Mungkin 5 atau 7 kali. Aku agak lupa..”
“...yang
jelas hp mereka dibabat habis oleh senjata tajam mereka.”
“Jadi
dibunuh beneran??”
“Iyap. Itu
kondisinya malam hari. Waktu itu aku lagi nggak jaga malam. Ya, lagi
lihat-lihat langit pemandangan di areal balkon.”
“Waktu itu
juga aku nggak jaga malam. Tapi mungkin sudah tidur.”
“Tapi
bagaimana personil kawan-kawanmu? Apa mereka ada yang punya sepemikiran
mereka?”
Ian
menggeleng, “nggak. Meski aku sudah bilang tentang kebebasan memilih. Tapi
mereka memilih untuk masih logged in dan menikmati dunia ini selagi bisa.”
Aku
langsung menyeka dahi, ini reflek. Karena rasanya aku berkeringat namun ingat
ini avatar belum ada fitur keringat. Jadi mau situasi yang miris mengancam atau
ketika panik sekalipun. Keringat nggak akan netes.
…
“Jadi,
party-mu kabur juga?” Tanya Ian.
Yuki
menyela, “entah. Nggak tahu Iruma. Tahu-tahu dia mengatakan ‘tempat ini sudah
gila. Aku mau pergi dari sini!’ Bilangnya.”
“heh?”
“terus dia
juga melarang melawannya dan memilih kabur. Ya sudah.” Tambah Yuki.
Aku
memalingkan muka, melirik si Yuki “oi. Apa kamu mau berakhir naas seperti
mereka? Mau dibilang ini game, tapi sensasinya yang nggak ketulungan!”
“mati
maksud Irma? Kan nanti bisa bangun dan ketemuan ntar.” Kilah Yuki.
(Tidak,
kamu salah Yuki)
“tidak.
Seingatku tidak.” Ian menyanggah tiba-tiba.
Yuki
menoleh kaget, “maksudnya?”
Di lihat
dari respon si Ian. Pemanah laki-laki bertubuh tinggi ini sepertinya cukup jeli
akan pengumuman yang disampaikan oleh GM mendadak beberapa hari yang lalu. Entah
beberapa hari atau mungkin setengah bulan yang lalu. Aku lupa, di sini tidak
ada penanda tanggal.
“Ketika
kalian mati. Maka itu adalah satu-satunya cara untuk log out. Mau bagaimana
pun, tidak ada tombol log out di menu.”
“Karena ini
bukan death game atau permainan yang berujung kematian. Mati artinya game over
dalam istilah dunia game. Artinya selesai, dan kamu dipersilahkan untuk
keluar.”
“Kalau GM
kemarin hanya mengumumkan bug tentang tidak adanya menu log out dan
satu-satunya cara hanyalah mati atau suicide tanpa adanya konsekuensi lainnya.
Mungkin sudah aku lakukan sejak awal.”
Ian berujar
panjang. Beberapa personil party-nya masih asik mengobrol. Ia meninggalkan
jarak sekitar 5 meter mendapati ada tiga orang pengembara.
“konsekuensi?”
Yuki menyahuti.
Ian
merunduk, “entah ini bisa disebut konsekuensi atau memang diatur seperti ini. GM
mengatakan karena ini masih beta. Maka demi kelancaran untuk nanti sesi rilis
game ini, semua data akan dihapus menyeluruh untuk menghindari adanya spoiler
atau bocoran informasi beta dari game ini.”
“apa kamu
memperhatikan? GM sepertinya menyelipkan kata-kata yang terlihat remeh untuk
awam, tapi sebenarnya maknanya dalam.” Tanya Ian.
Aku
mengangguk pelan. Lantas Ian melanjutkan, “mereset data.”
Lagi-lagi
Ian menunjukkan ekspresi seperti ia tidak tahu-menahu. Namun sebenarnya dilubuk
hatinya khawatir dan bingung apa yang harus dilakukan. Ia mungkin tidak bisa
memilih jalan tersebut, tapi itu satu-satunya jalan. Antara memang konsekuensi
dan takdir.
“entah.
Tapi aku rasa kata-kata GM tentang data akan dihapus menyeluruh demi
menghindari adanya spoiler. Ya bagaimana pun ini game tetap saja beta.” Ian
menambahi.
Yuki
merespon, “artinya savegame ini dihapus bukan?”
Ian
menjawab, “ya. Tapi savegame itu bisa dalam wujud file yang biasanya bisa
dipindah lalu disalin dan sebagainya. Seperti kamu main game online dan berbeda
platform. Bisa cross-save, artinya melanjutkan proses/save game tersebut di
perangkat lainnya.”
Aku dan
Yukina mengangguk.
“Kalau
modelnya ini berbentuk platform komputer, hape, atau semacamnya. Mungkin
savegame tersebut berbentuk semacam file…”
“…tapi
kalau ini sudah melebihi dari VR(Virtual-Reality)? Apa mungkin savegamenya bisa
berbentuk ingatan atau memori?”
***
Geyser,
lereng pegunungan.
“Dari mana
kamu bisa menemukan tempat ini Irma?”
“Aku sudah
lupa kapan terakhir berendam di air hangat.”
“apa area
sekitar sudah aman?” Tanyaku menoleh.
Reina,
Fardan “siap. Sudah!”
“Stok torch-nya
mungkin kebanyakan. Tapi setidaknya jarak pandang sekitar bisa kelihatan.”
Fardan menambahi.
“ah tidak
apa-apa. Yang terpenting bisa berendam. Semoga saja hitam-hitam ini bisa luntur
bersih.” Ujarku melepas beberapa perlengkapan dan menyimpannya ke dalam storage.
Begitu juga
Yuki, namun tiba-tiba ia membeku dan melirik. “Jangan mengintip! Meski kita
sudah 1 bulan kenal dan party bareng. Bukan—“
“ya ya ya.
Aku sudah menyadari itu. Di sebelah sini ada geyser juga. Mata air di situ sama
banyaknya di sini. Aku juga sudah menancapkan beberapa obor untuk penerangan
sekaligus pencegah munculnya mob hostile.”
Yuki
merengut sekilas, lalu memanggil Artes dan mengajaknya untuk ikut berkumpul
dengan Lenka dan Reina.
“… Artes
Artes. Sini Artes. Kamu jangan sama Iruma dulu!”
Karena
lugu, ia menyanggah “maksudnya? Raden, Raden kan..”
“pokoknya
jangan. Jangan sekarang!” Ujar Yuki mencegah pelan.
“Oi. Aku
bisa mendengar itu.” Celotehku.
Yuki
mengabaikan, “nah itu. Dia bisa dengar apa yang kita omongkan tadi kan? Makanya
berendamnya ikut sama Lenka dan Reina.”
Ia, Artes
menoleh bingung sekilas. Akhirnya ia mengiyakan dan mengikuti si Yuki.
“…lagi
pula, kenapa kamu memanggil Irma itu Raden? Aku aja nggak dipanggil..”
“Jadi. Apa
yang akan kamu lakukan?” Ujar Ian perlahan merendam kaki masuk ke dalam air
yang hangat karena hawa geyser.
“mengenai
kemarin-kemarin itu?”
“ya.
Karena, aku rasa itu nggak mungkin dan memang harus dikorbankan.” Ujar Ian.
Aku
menyandarkan diri sambil berendam separuh tubuh, “ya… entah. Bisa dikatakan
kalau saat ini, melawan sistem.”
Ian adalah
satu-satunya orang pertama yang mengetahui tentang tujuan awal aku datang ke
sini. Tepatnya nekad mengikuti uji beta pada game vr. Setelah ia tahu dan
melihat kondisi saat ini, ia bahkan kehabisan akal untuk mencari cara. Karena
sesuai yang ia ujar, memang harus dikorbankan.
Ian
melirik. Aku rasa ia paham apa yang aku ucapkan.
“kalau aku
tidak segera log out. Tidak mungkin aku melakukan dive dalam waktu yang
lama. Tapi kalau log out dengan cara itu, mati. Kemungkinan besar bangun dan
aku lupa akan segalanya.”
“termasuk
kenangan kamu berparty dengan Yukina.” Ian menambahi tiba-tiba.
Aku menoleh
kilat, “...hei yang itu—“
Ian segera
memotong “haha, bercanda-bercanda. Jadi apa yang akan kamu lakukan? Kau belum
menjawab itu.”
“mungkin
untuk saat ini aku mau bantu Yuki mencapai impiannya dulu.”
*splash
Ujarku
sambil menyiratkan air ke wajah dan mengusapnya perlahan.
“Yuki?
Yukina? Impian apa maksudnya?”
(yap.
Aku harap setidaknya masa uji beta ini bisa sampai end-world.)
(the end
yang ada naga ender? Ini… setelah kamu melalui ini semua. Kamu berharap bisa
sampai dimensi the-end?)
(ya..
kan kali aja… ini kan masa uji beta. Kalau gamenya sudah rilis di pasaran.
Sudah tahu mekanik gamenya.. heheh)
(Kalau
model mainnya duo gini. Mana kuat sampai dimensi the-end… ke nether aja sudah
ragu banget aku)
(di sini
kan logika mungkin nggak masuk. Nyatanya raid segitu banyaknya, bisa dibabat
habis oleh enam orang doang)
“nggak.
Bukan impian. Tapi setidaknya karena ini bakalnya juga dihapus. Kenapa ndak
sekalian membuat kisah yang bagus?”
Ian
menggeleng bingung, “maksudnya?”
“ya
intinya, diselesain sekalian.”
“namatin
game maksudmu?”
“yep.”
Ian mengangkat
kedua tangan, menyilangkannya diatas ubun-ubun kepala. Sesekali menyeka
rambutnya agar tetap melurus kebelakang. “Kalau itu mungkin bisa. Tinggal cari
party sebanyak-banyaknya. Lalu langsung fokusin ke game, hunting material yang
diperlukan, lalu ke nether dan seterusnya.”
“nah
sekarang itu pertanyaannya lagi. Semisal kita, nggak, maksudku kamu party-mu
berhasil sampai ke The End, menghabisi Ender Dragon. Lalu bagaimana cara kamu
keluar kalau memang itu satu-satunya jalan yakni mati?”
“tentang itu…”
Aku berhenti sambil melihat keatas, langit malam. Kemudian melanjutkan,
“…GM pasti
punya perasaan dan memberikan apresiasi kalau ada penguji beta yang berhasil
sampai ke ranah The End.”
Ian
menoleh, “huh? Maksudnya?”
“ya..
mungkin aja. Ibaratnya penguji beta bisa sampai namatin game minecraft serumit
ini, aku berharap ada apresiasinya pasti.”
Ia
terkekeh, “heh. Bertaruh sama kemungkinan berarti?”
Aku
menyilangkan lengan untuk dijadikan bantal sandaran, “yah mau bagaimana lagi?”
“tapi
ngomong-ngomong, kenapa kamu nggak juga log out? Maksudku kau join ini sekedar
hiburan bukan?” Ujarku menambahi.
Ian
terkekeh, “heheh, entah kenapa rasanya nanti-nanti wae. Nikmatin ini aja dulu.
Kalau mati ya sudah berarti billingnya habis.”
“hahaha,
kau kira ini warnet apa.”
***
Tempat
fasilitas.
“Sementara
ini yang bisa kami lakukan.” Ujarnya sambil menampilkan ratusan statistik
bergerak dan beberapa data yang terus berkembang berubah.
Itu adalah
data vital para pemain uji beta yang tersisa. Dan pemantauan kondisi para pemain,
bisa terbilang dalam tampilan tersebut tercantum semua rekapan/ringkasan
kondisi para pemain dan juga game.
“maksudnya?
Aku nggak membayar kamu untuk menunjukkan semua ini.” Ia tidak terima dan belum
puas.
“tapi ini
yang bisa kami tampilkan. Ada beberapa informasi dan peraturan yang kami
dapatkan, tapi istilahnya asing.”
Ia menoleh,
“maksudnya asing? Coba aku lihat.” Ujarnya.
Telepati.
“telepati?
Tahun berapa kalian lahir? Masa tidak tahu, telepati itu apa?”
“apa bos?”
“ya…” Ia
menghentikan sejenak sambil mengerutkan dahi. Lalu melanjutkan, “…semacam
berbicara tanpa adanya media. Kayak aku langsung berbicara ke kamu tanpa mulut
atau telepon. Langsung dari hati ke hat—“
“…tunggu.”
Ia menghentikan ucapannya tiba-tiba. Raut mukanya seolah mendapatkan ide
cemerlang.
“apa tadi
yang aku bilang?” Ia menanyai ke salah satu anak buahnya.
“ya..
telepati—“
“Bukan!
Bukan yang itu. Waktu aku menjelaskan!”
“berbicara
tanpa—“
“…Nah! Nah
itu! Berbicara tanpa adanya media. Jadi langsung dari hati ke hati!” Ujarnya meralat
dan memperjelas yang diucapkan.
“Perlihatkan
semua data para pemain yang tersisa!” Lagi-lagi ia berujar tiba-tiba.
Para anak
buahnya sempat kebingungan, apa yang direncanakan. Tapi tidak ada cara lain
untuk menaati dan mematuhi.
…
Puluhan
sampai ratusan data terlampir. Lengkap semua identitas serta apa yang sedang
dilakukannya di dunia tersebut.
“Cari nama
Nia!”
Data
tidak ditemukan.
“Nama, GM!”
Data
tidak ditemukan.
“Cih. Dia
pakai nama apa kalau begitu?”
“bagaimana
kalau di lihat satu-satu? Mungkin aja bisa ketemu—“
Si Bos
memotong, “iya ketemu. Ketemu aparat polisi langsung karena kelamaan!”
“jumlah
pemain yang masih ada berkisar 200 orang. Jumlah yang sedikit, tapi data ini
terus berkembang dan tidak konstan. Harus mencari langsung.” Gumannya berpikir.
“Ah bodo.
Coba random, asal milih!”
“bos. Apa
kamu mau mengincar orang lain?”
“Tidak
tidak. Aku hanya mau tau, Telepati ini semacam gimana kerjanya? Mungkin bisa
bantu mempercepat proses ini.”
“kalau
begitu, kita ambil random pemain. Dan…”
>Nama:
Tono Katresna
>Ign:
Tresna
>Level:
43 (Carpenter)
>Kondisi
mental: Stabil, bpm normal.
“ok yang
satu itu!”
Tidak ada komentar: