MINECRAFTER VOL. 8 - BAB 25: MENAMBANG PANAH/MINNING ARROW
Bab 25: Menambang Panah/Minning Arrow
Gua, kedalaman tidak diketahui.
*crack!!
“Wah
wahhh!”
“Ada
apa? Irma?”
Suaranya menggema, sontak Reina dan Fardan refleks menoleh.
Menanyakan perihal apa.
“Ini!
Ini! Redstone sama Gold akhirnya ketemu!!” Ujar Iruma menunjukkan bongkahan Redstone dan Gold yang muncul
berbeda tempat.
“Weh
bisa bikin pedang!”
“Asek,
bisa bikin armor!"
Dua orang, saling ujar bersama. Fardan dan Reina. Penambang
dan penebang.
…
“Maksudmu
pedang. Armor lebih penting dibandingkan pedang. Kau nggak paham Dan!!”
“Sebentar-sebentar.
Armor kalau rusak, benahinnya harus sama pakai material yang sesuai. Kalau
pedang bisa dipakai sewaktu-waktu. Kan? Kan?”
“Hahh? Ya nggak lah. Armor lebih dulu. Safety first. Apalagi
kalau ini mati, maka selesai sudah.”
“Kan..
kan.. malah menghubungkan sama kematian.”
Sambil mengaitkan bongkahan, Irma berujar "oke oke
sudah. Ribut di sini nanti bisa mancing zombi. Yang bisa bertarung cuma Rei
doang.”
“Ah
iya ding.”
“Ah
maaf maaf.”
*crack
“Jadi. Bongkahan itu mau dipakai buat apa?” Tanya Reina.
“Dipakai buat pedang lah.” Fardan menyolot.
Reina tidak terima, "nggak tanya. Nggak tanya Fardan
aku.”
“Hooh. Mau tak pakai buat bikin jam sama kompas.”
“Heh
apa?”
...
Setelah memisahkan material asing yang menempel. Bongkahan
emas dan redstone berhasil didapatkan.
“Tapi
iya juga. Jam sama Kompas juga penting.”
“Karena
aku nggak punya cukup pengalaman explore. Aku nggak bisa buat map. Ditambah lagi,
Reina. Kamu punya skill blacksmith bukan?”
Ia, Reina si Barbarian “ah iya. Aku malah lupa. Eh tapi.”
“Tapi?”
“Sebentar.” Ujar Reina sambil membuka
menu.
“Blacksmithku
kurang cocok kalau dipakai buat crafting pedang.” Ujar Rei setelah membaca singkat
statistik miliknya.
Ia melirik Fardan, penambang pula sama seperti Iruma. “Berarti emang saatnya bikin
armor.” Bisiknya
mengarah ke Fardan.
“Untuk
sementara ini aku buatkan kompas dan jam. Tentu saja emas-nya pasti bakal sisa.
Nanti bisa dipakai untuk bikin perabot lainnya.”
“Oiya.
Kalau nggak salah. Emas kan nggak begitu cocok kalau dibuat peralatan seperti
kapak tambang atau armor semacamnya kan?” Fardan menambahi.
“Ya ingatku begitu sih. Aku lebih memilih membuat pedang dari
besi dibandingkan dari emas.” Respon Iruma membenarkan.
Itu sudah jadi fakta publik bagi para pemain minecraft.
Bahan emas tidak direkomendasikan untuk dijadikan pedang atau peralatan lainnya
seperi kapak tambang atau armor. Meski memiliki daya rusak yang cukup u tuk
pedang, tapi poin durabilitasnya bila dibandingkan dengan alat yang terbuat
dari batu, ketahanannya lebih oke batu.
“Sementara
kita naik dulu. Sudah berapa banyak material yang didapat?” Iruma berujar.
Fardan membuka menu, “bijih besi.. 15, coal arang 20”
“Coal
23.” Reina mengikuti.
“Kerja
bagus semua. Ayo naik. Semoga di atas belum malam.”
…
Berbekal cahaya rembulan. Semi redup tapi cukup menerangi di
tengah hamparan lembah dengan sungai yang berbentuk huruf S lebar, mengiris
pemandangan mengindahkan mata.
“Jam
dan Kompas? Boleh juga tuh.”
Ian merespon.
“Sejujurnya
aku dari awal mau bikin map/peta. Tapi pengalaman explore-ku kurang. Jadi mau
aku tingkatkan dengan jalan-jalan.”
“Jalan-jalan?
Apa kita mau travelling?”
Ujar Yuki semangat.
“Yap.
Di samping itu, aku juga ingin untuk melihat bukit es dan gunung es suatu hari
nanti.”
“Lalu, fungsi jam-nya?” Lenka membuka mulut setelah menyimak
lama.
“Untuk jam. Ini digunakan ketika lagi nambang. Ya,
sejujurnya ini nggak begitu kepakai buat tipikal talenta yang sering di
permukaan. Tapi lumayan kebantu untuk para penambang dan pejuang dalam gelap.”
“Sebentar
lagi, sumber daya sekitar sini mungkin menipis. Artes sepertinya semangat
banget nebang pohonnya. Apa kita coba bertualang?"
Artes segera menyolot, “tapi Raden yang menyuru kok...”
…
“Ehem.
Untuk sarannya Iruma. Itu juga masuk akal sih. Kita nggak mungkin di sini
terus. Harus berpencar. Disamping untuk mencari sumber daya baru, mestinya
untuk mencari para pejuang yang masih ingin login di sini.” Ian menjadi moderator. Ia menyimpulkan
dan memoderasi forum.
“Mungkin
aku rasa nanti guild ini akan dipecah jadi 2 kelompok. Bagaimana menurutmu,
Iruma, Yukina, dan Artes?”
“EZ.” Ujar Yuki spontan.
“Aku
minta izin agar aku tetap satu party sama Raden. Tolong.” Ujar Artes.
“Ok.
Artes pengecualian.”
Ian menyimpulkan.
“Kalau
gitu. Proses pembagiannya sesuai talenta dan agar tim tersebut tetap seimbang.”
“Partynya
Ian. Diketuai aku. Anggotanya Ian, Reina, dan Lenk—“
“Yukina.”
Pemanah Lenka menyerobot. Sontak suasana hening tercipta
sekilas. Yang bersangkutan langsung protes.
“Hei
hei. Tunggu, apa maksudnya kamu malah ganti-ganti posisi?” Ujar Yukina.
“Bukannya
pembagiannya seimbang kalau kamu berada party-nya Ian? Pemanah, Barbarian yang
punya daya tahan cukup, dan Penyerang?”
“Apa?
Maksudmu?”
“Kalau
aku satu party sama Ian lagi. Party-nya Iruma bakal ngedrop karena ndak punya
anggota yang bisa menembak jarak jauh.” Lenka berkomentar.
“Lalu
kalau begitu, Ian yang masuk jadi party-nya Irma. Nanti kamu yang jadi leader.” Toreh Yukina.
“Aku bukan pemimpin yang bijak, apalagi Reina. Ia bahkan
kalau kondisi mendesak, ke-barbar-annya mengalahkan logika. Apa kamu mau jadi
leader?” Lenka
mendebat.
Di sisi lain, Reina berguman “um. Itu nusuk. Tapi benar juga sih. Kalau
kepepet langsung spam skill dan nyerobot senggol sana-sini.”
Yuki menggertakkan gigi bingung, Iruma menengahi “ah ok ok. Lenka masuk ke
party-ku. Si Yuki join party-nya Ian.”
“What?
Apa?” Sontak Yuki tidak
terima.
Yuki
langsung menyerobot, “kenapa kok malah..”
“nanti kan
ketemu lagi. Kan kamu masih bisa mengirim pesan obrol ke aku kan?” Ujar Iruma.
“itu, itu.
Bukan itu.”
“santai.
Nanti juga bisa ketemu lagi. EZ”
Keesokan
harinya mereka benar-benar melakukannya. Mereka memecah party dan mulai
membangun party masing-masing. Iruma berpisah dengan Yukina, begitu pula Ian
yang memecah anggota party-nya untuk dibagi dengan Iruma.
Hal ini
bertujuan untuk mendapatkan eksplorasi tempat baru, sekaligus saling memberi
kabar bila ada sumber daya baru.
Keputusan
untuk menyelesaikan game, perlu adanya men-challenge diri sendiri. Yakni
mencoba memecah diri untuk saling melihat dunia minecraft luas yang nyaris
tiada batas.
“Iruma!!
Aku mau pulang.” Ujar Yukina. Ia berujar pada diri sendiri.
“tahan
sebentar kak Yuki.” Reina merespon.
Ini hari
kedua semenjak berpisah. Yukina si pengguna ganda harus berpisah dengan seorang
yang biasa ia jadikan umpan dan memenej strategi. Iruma.
“dia bahkan
ndak balas pesanku.” Gumannya lagi. Reina, sebelahnya mendengar.
Ia
menyahuti, “kak Yuki. Bagaimana ceritanya kamu bisa ketemu sama Iruma? Di sini
semua orang random, kemungkinan sudah ketemu sebelum masuk ke sini… kayaknya
nggak deh.”
“ya random.
Sebelumnya juga aku belum kenal.”
“kenalnya
gimana?” Ujar Reina mencari topik, melepas lelah berkelana.
“kenalnya,
itu waktu…” Ia menjeda sekilas, sambil menggaruk kening dan menyeka poni.
“sama-sama
tersesat. Tertimbun reruntuhan. Nggak bisa keluar.”
“heh apa?”
…
Di lain
sisi, Iruma saat ini sebagai pemimpin tim. Party leader. Secara tidak langsung
ia menanggung semua member bila ada situasi yang tidak diinginkan.
Sebelumnya
ia sudah mempelajari dan mendapatkan pengalaman cukup sampai ia mendapatkan
lisensi talenta swordman dan menggunakan dua slot talenta untuk mendapatkan
fase kedua dari bakat pedang. Warrior.
Sama
seperti Yukina. Ia, Iruma dapat menggunakan dua pedang sekaligus. Namun
kawan-kawannya belum sekali pernah melihat ia menyanggul dua pedang. Lebih
sering menggunakan dagger/belati, pedang pendek.
Barulah
setelah dagger yang dibuat oleh si pandai besi hancur, ia mau tidak mau harus
beralih menggunakan pedang untuk jadi pertahanan sekaligus menyerang.
*trang!
“Fardan!
Tahan sebentar!”
“siap!”
*trang!
*klang!
Tiga
skeleton mencegat, tidak ada jalur lain selain melawan. Formasi pertarungan
kini lebih kompleks.
Fardan
sebagai penahan karena ia punya bakat menggunakan tameng. Ia dan Artes menjadi
penyerang utama, sedangkan Lenka bertugas melancarkan serangan backup.
Al hasil,
formasi tersebut berjalan mulus lancar.
“Iruma.
Sejak kapan kamu akhirnya menggunakan pedang?” Tanya Fardan heran.
*crek
“ini,
semenjak belati metal hancur.”
“tapi apa
perlu adaptasi setelah pindah dari belati ke pedang?”
Iruma
menggeleng, “tidak. Tapi menurutku tiap orang berbeda sih. Aku sendiri awalnya
ragu, tapi akhirnya mau nggak mau harus pakai pedang pas situasi lagi kepepet
terhimpit.”
“tahu-tahu,
dapat talenta swordman.” Iruma melanjutkan.
“Raden mau
bagian mana?”
“Lah acak
aja. Biar adil.” Pinta Iruma pada Artes yang sedang memotong daging domba
sebelum dimasak.
…
“Ok
sekarang, besok ke arah mana? Tadi memori arahku sempat buyar waktu ada
skeleton nyerang.”
Iruma
mengeluarkan kompas, mirip seperti jam tangan besar dengan jarum mengarah
stabil sesuai.
“Berarti
ini nanti ke—“
“Iruma.”
“Whah!”
Fokusnya
terlalu tertuju pada arah stabil jarum kompas. Ketika dipanggil dari dekat,
sontak ia langsung terkejut bukan main.
“Ah maaf.
Aku mengagetkanmu ya?”
“Hoh hoh..
Lenka, tak kira siapa.” Ujar Iruma sambil meraba-raba perlengkapan yang tersisa
menempel di tubuh.
“...nggak
tidur kamu?” Tanya Iruma sambil melipat kembali kompas dan menyarungkan dalam
saku.
Lenka
menggeleng, “tadi sudah. Tapi aku lihat kamu belum tidur. Aku tanya, kenapa
nggak tidur juga.”
Ia melirik
sekitar, “...Artes udah terlelap. Hm.. mungkin nanti, nunggu shift-nya gantian
sama Fardan nanti.”
“Oalah oke
oke. Kalo gitu semangat jaga malam ya” Ujar Lenka melambai sambil mulai
berbaring.
“As
always.”
***
Keesokan
harinya
“Raden. Apa
benar ini jalannya?”
Sambil
menyapu beberapa semak belukar, ia menjawab “ya mau gimana lagi? Kalau lewat
jalan yang tadi, aku sempat melihat ada markas pillager. Aku nggak mau ambil
resiko.”
Artes
terperanjat, “apa? apa? Pillager? Ia.. mereka…”
“Sudah-sudah.
Itu sudah jadi kenangan. Sekarang kamu ya kamu. Nggak perlu diingat lagi yang
masa lalu. Sekarang ya sekarang.” Iruma menyela.
Party Iruma
saat ini memilih jalan ekspedisi melewati rawa-rawa. Ini terpaksa mereka
lakukan karena ditengah perjalanan mereka menemukan tower/menara pengintai yang
dibangun oleh Pillager.
“player nggak
mungkin membuat semirip itu.” Iruma berujar sambil melirik tower yang
menjulang. Sedikitnya beberapa orang mengenakan baju gamis panjang keluar masuk
dari tempat tersebut.
Artinya
tempat tersebut memang markas para pillager. Tidak diragukan lagi.
“Lenka. Apa
masih jauh? Ini masa bermalam di tempat ini?” Keluh Fardan. Ia mengeluh setelah
kesekian kalinya ia terangsek jatuh karena terlilit akar yang menjalar di
mana-mana.
Meski
jatuhnya nggak membuat HP-nya turun, tapi rasa ambruk dan bangkitnya yang menyusahkan.
“Um…
mungkin sedikit lebih lama lagi. Sayang sekali.” Jawab Lenka sambil memicingkan
matanya seolah menerawang.
Bakat
pemanah yang dimilikinya meningkatkan kemampuan matanya. Sehingga ia dapat
melihat jauh tanpa adanya pengurangan sedikit pun.
“Aku bahkan
nggak ingat jalan pulang memutar tadi.” Guman Iruma.
“sayang
sekali, kamu nggak ingat.”
*srak *srak
“tempat ini
nggak cocok buat skip malam. Ini harus terus maju, nggak mungkin kita bermalam
di tempat ini!” Protes Fardan.
Ia melihat
kondisi habitat sekitar benar-benar tidak memungkinkan untuk dipakai bermalam.
Penuh rawa, cahaya bulan bahkan tidak menembus sampai permukaan. Sehingga area
sekitar pun menjadi gelap.
Ini
memberikan sekian persen kemungkinan untuk mob hostile muncul/spawn.
“Lenka, gimana?
Apa ini beneran masih jauh?” Ujar Iruma menyeka dedaunan yang menjalar liar.
Ia menyeka
poni, “um.. kayaknya ia deh.. ya emang harus bermalam di sini.”
Fardan
menepuk wajah, “ah harusnya kita tadi nggak perlu milih jalan yang memutar…”
“Ini kalau
kita maksa maju. Medannya juga masih jauh dan stamina akan terkuras lebih
banyak ketika malam, belum lagi ada mob hostile nantinya. Jadi…”
Semua
terdiam, Lenka, Fardan, dan Artes. Mereka diam bukan berarti tidak tahu, tapi
sudah bisa menebak apa yang akan diujarkan.
“…kita
bermalam di sini dan langsung bagi tugas seperti biasanya!”
Fardan,
Lenka, Artes menjawab serentak “OK!”
Mendapat
tugas masing-masing. Lenka mengurus hal logistik, Iruma membangun benteng
siaga, sedangkan Fardan menancapkan beberapa obor penerang guna mengusir
kegelapan.
“mau
dipasang obor sebanyak sekalipun, tetep aja hawa-hawa seramnya masih ada yo..”
Ujar Iruma sambil melihat area sekitar.
“Raden,
nanti aku tidur dekat Raden ya. Rasanya nggak enak.” Artes mengeluh.
“—ya?“
“Jangan
Artes. Perempuan nggak boleh tidur barengan meski darurat!”
“heh? masa
ada aturannya?”
“ada.
Perempuan itu nggak boleh tidur berdekatan sama orang yang baru ia kenal!”
Seperti
biasanya. Lenka membuat mushroom stew. Campuran jamur yang digodok
melalui pengapian lalu dimasak menjadi semacam sup mangkok.
“humm
seperti biasanya. Lenka mesti membuat masakan mesti bermacam-macam!” Iruma
memuji masakan yang dibuat Lenka.
“aku-aku
juga punya sebotol susu. Raden, nanti ini diminum ya.”
Lenka
melirik, “dari mana kamu dapat susu? Kayaknya aku memastikan nggak ada sapi
sepanjang perjalanan tadi.”
“Ada.
Sebelum ekor sapi itu kamu tombak pake panah, itu sempat diperah sama Artes dan
Aku.” Ujar Fardan menyela.
“apa di
sini, botol susu cukup buat menetralisir semua efek debuff? Atau perlu ramuan
yang lebih kompleks?” Tanya Iruma sambil mengambil botol berisi susu putih
segar pekat.
Lenka
menyela, Ia menyomot sebotol susu yang dipegang Iruma. “masa bisa? Hanya
sebotol susu ini doang??”
Ia, Lenka
merasa tidak percaya. Maklum, ia bukan pemain minecraft pada dasarnya. Ia masuk
ke dalam game ini, bermain minecraft pada versi virtual-reality ini menjadi
pertama kalinya. Rumus kimia, biologi dan beberapa aturan unsur yang memberikan
efek toksin yang ia pelajari merasa terlanggar.
Mendengar
toksin atau efek debuff yang menempel dalam diri dapat hilang hanya dengan
meneguk air susu sapi.
…
“Tunggu,
masa beneran bisa?” Lenka tidak percaya.
“yep. Ya
harusnya bisa. Lumrahnya, di minecraft. Mau racun segede apapun, dilabras
netral sama susu. Lalu poof! Kembali normal” Fardan memaparkan singkat
jelas.
Ia menatap
berkali-kali botol susu berukuran kepalan tangan. Melihat ukuran botolnya, ini
biasa digunakan untuk membuat ramuan. Namun Artes menggunakan wadah tersebut
untuk menampung sisa-sisa perahan susu sapi.
Jangan
samakan terlalu persis antara minecraft aslinya dengan adaptasi virtual
reality. Serupa tapi nggak semua sama.
“oiya.
Minecraft di sini, permainan pertamamu yo? Aku lupa.” Ujar si tameng, Fardan
menepuk dahi.
Percakapan
lalu dilanjutkan dengan perdebatan dengan logika di dunia nyata dengan logika
minecraft.
Sampai
malam larut, benar-benar larut. Sinar bulan bahkan nyaris tidak terpancar kelam
menembus dedaunan hutan rawa-rawa. Salah satunya cara adalah menggantungkan
kekuatan sinar dari obor yang ditancapkan di beberapa titik tertentu.
Melihat
semua sudah terlelap, Iruma. Sampai saat ini, otaknya berputar. Memikirkan
bagaimana cara menyelesaikan masalahnya tanpa harus mengorbankan apapun.
Tentang
skripsi, yang ia kerjakan. Adalah sesuatu yang mudah, harusnya.
Bercerita,
menceritakan kembali. Story-telling, seperti yang sering ia ucapkan. Namun
realita di lapangan, maksudnya ekspektasinya terlalu jauh dari realita
kenyataan yang dia alami.
“Mati. Log
out. Bangun. Keadaan domblong. Sama aja. Lagian waktu nggak mungkin berbalik.”
Ujar Iruma pelan. Sangat pelan.
Ia menyeka
rambutnya lalu melanjutkan “kalau masih dilanjut. Runtutan cerita bakal
panjang. Nggak log out, tetap logged-in stay in here. Sampai kapan? Entah.”
“nggak
mungkin tubuhku bisa betah bertahan kena paparan sinyal yang kerapatannya
tinggi.” Gumannya lagi.
Membayangkannya
saja nyaris membuat detak jantung meningkat. Ini pernah terjadi, sehingga
muncul notifikasi peringatan tentang naiknya heart-beat.
“Bila melebihi
batas normal yang ditoleransi, maka kemungkinan besar sistem akan melakukan log
out paksa.”
(log out
paksa?)
Ia
terperanjat, kaget dengan apa yang ia pikirkan sekilas.
“log out
paksa? Apa itu mungkin? Log out paksa. Nggak ada kabar, persiapan. Tahu-tahu
log out. Apa prosedur itu termasuk log out yang menimbulkan ingatan hilang atau
direset?”
Pikirannya
mulai berputar. Malam terus berlanjut dan semakin gelap.
“bodo. Itu juga
resiko. Nggak mungkin aku membahayakan jantungku sendiri.” Ujarnya sambil
merengkuh telentang di kasur yang terbuat dari wool.
“Yukina.
Apa yang ia lakukannya saat ini?”
Ia mencoba
membuka menu, namun gesturnya meleset. Tangannya ambruk. Ia merasa kantuk yang
luar biasa. Karena lelah atau faktor lain mungkin.
…
*SPLAT!
“kuhaaa!!!”
*SPLATT!!!
*STABB!!
Pandangan
kabur, ia berusaha melihat jelas namun tidak kuasa.
*SPLAT!!
Iruma
HP: 72% (paralyzed)
“ini, ini.
Apaan ini.”
“Iruma
Nafiaaan… yaahh!”
*STABB!
HP: 63%
(paralyzed)
“ini,
kenapa ini? Maksudnya apa ini?!”
*STABB!
“kuhaa!!
Akhh!”
“uuu… nggak
seru. Padahal nggak ada rasa sakit. Kenapa kamu kok malah ngerang itu lho..”
*STABB!!
“frik.
Apaan ini!?”
HP: 51%
(paralyzed)
*STABB!!
HP: 43%
(paralyzed)
“stop stop!
Stop!”
Entah
kenapa setelah ia menyeru, tusukannya berhenti. Tidak berlanjut. Ia nggak bisa
merasakan daerah mana tepatnya yang ditusuk. Hanya merasakan efek kejut kecil
yang tujuannya untuk mengetahui di mana letak luka serang itu berada.
Bagian
perut. Tidak berlubang, tidak terbedah. Memancarkan cahaya merah menyala.
Seperti sobek karena tusukan beruntun.
HP: 42%
“a a a..
jangan gerak. Lukamu itu bisa memangkas habis HP-mu..”
Ujar
seseorang, ia tidak dapat melihat wujudnya lebih jelas. Karena beberapa saat
yang lalu, tusukan beruntun membuat pandangannya kabur sebagai ganti rasa
sakit.
“apa –itu
cukup nggak ya. Ah cukup-cukup. Lebih dari cukup.”
HP: 41%
“uuh! Sudah dibilang jangan gerak. Malah
gerak!”
*STABB!
HP: 21% (paralyzed)
“—!!!?”
*slop
“tuhkan sudah dibilang… jangan gerak kok malah
gerak. Malah kena jantung kan.. gimana coba, tinggal berapa persen??”
Ia tidak merespon, giginya terkatup rapat.
“hei ayo bilang. Kalau nggak bilang, aku tusuk
sekali lagi lo.”
HP: 20%
“…20 per-sen.”
“haa.. 20 persen! Waduh, sepertinya aku terlalu
dalam nusuknya kali ya?”
Ia nggak menjawab. Karena menurutnya pelakunya
bisa melihat berapa dalam luka tusukan yang dibuatnya.
“tapi ini belum seberapa loh. Rasa sakitnya.”
Suaranya semakin mendekat. Artinya kondisinya
saat ini mungkin ia sedang menindih Iruma.
“mau kena serangan sadis pun, sakitnya paling
cuma kejut sedikit.”
“fitur di game ini. Aku nggak suka.”
“rasa sakit diganti sama kejut kecil. Humph,
nggak suka.”
“aku nggak suka, nggak suka, nggak suka!!”
*STABB!
HP: 13%
“tapi yang kejut-kejut gitu kamu suka yo
kayaknya?”
Ia membalas gelengan. Sambil menata napasnya
yang sudah tidak beraturan.
“nggak suka? Masa? Tapi dari tadi kamu nggak
ngelawan. Diam aja.”
*stab
Ia tidak melanjutkan tusukan. Melainkan
mendorong lebih dalam.
HP: 9% (paralyzed)
Pandangan semakin buyar tidak karuan. Sensasi
dekat kematian, terbayang ia bengong tidak bisa mengerjakan tugas final.
Terbayang jelas.
“stop! Stop.” Ujarnya memaksa seorang yang
menusuk untuk berhenti.
Tidak tahu siapa. Tapi pendengarannya masih ok.
Ia dapat membedakan, kalau pelaku tersebut perempuan.
Bayangan kelam, bercampur kegelapan. Sesosok
ini tidak terlihat jelas hanya menyeringai kecil.
“oiyo. Kalau kamu mati, skripsimu nggak bisa
jalan lah ya?” Ujarnya kecil.
HP: 8% (paralyzed)
Karena daerah vital tertusuk, efek paralis
terus memangkas perlahan HP-miliknya. Ini bukan lagi soal pisau atau senjata
tajam yang menempel. Hal ini karena bagian dada Iruma tertusuk fatal. Sehingga
memberikan damage berkelanjutan sampai luka tersebut tertutup atau diobati.
“tapi, dadamu ketusuk. Mau bagaimanapun HP kamu
tetep habis kok.”
HP: 7% (paralyzed)
…
“hah?!”
Ia tersentak, setelah pandangannya sempat buyar
dan memerah.
Iruma, Swordman Lv. 54
HP: 81%
*stabb
Tusukan kecil mendalam, ia mendengarnya. Sontak
Iruma segera meraba ke seluruh tubuh. Mengecek barang kali ada sesuatu yang
menancap atau semacamnya.
*slep
“dagger. Aku lupa memasukkan beberapa senjata
tajam yang standby di area tubuh kalau ada kondisi mendesak. Sampai ini belati
nusuk pinggang.” Gumannya pelan sambil memasukkan belati besi ke dalam
inventori miliknya.
***
Ia tidak bisa tidur. Kawan-kawannya sudah
mendahului, setelah memakan banyak ikan yang dipancing bersama-sama kala itu.
Karena kondisi di pesisir pantai, mob hostile dari mana pun tetap terlihat
jelas hanya berbekal cahaya bulan malam hari.
Yukina. Setelah dua hari lamanya ia berpisah.
Sementara, tapi ia menganggapnya seperti sulit bertemu kembali.
Sambil malas ia membuka panel menu dengan
gestur jari tangan. Memunculkan beberapa ikon lalu membuka olah pesan.
Berlabel ‘Iruma’.
“dia bahkan nggak membalas pesan. Apa yang
dilakukannya?”
Untuk kesekian kalinya bagi Yukina, ia
menuliskan kata yang sama.
“Apa kamu baik-baik saja?”
Tidak ada komentar: