MINECRAFTER VOL. 8 - BAB 25: MENAMBANG PANAH/MINNING ARROW

 

Bab 25: Menambang Panah/Minning Arrow

 

Gua, kedalaman tidak diketahui.

*crack!!

Wah wahhh!

Ada apa? Irma?

Suaranya menggema, sontak Reina dan Fardan refleks menoleh. Menanyakan perihal apa.

Ini! Ini! Redstone sama Gold akhirnya ketemu!! Ujar Iruma menunjukkan bongkahan Redstone dan Gold yang muncul berbeda tempat.

Weh bisa bikin pedang!

Asek, bisa bikin armor!"

Dua orang, saling ujar bersama. Fardan dan Reina. Penambang dan penebang.

Maksudmu pedang. Armor lebih penting dibandingkan pedang. Kau nggak paham Dan!!

Sebentar-sebentar. Armor kalau rusak, benahinnya harus sama pakai material yang sesuai. Kalau pedang bisa dipakai sewaktu-waktu. Kan? Kan?”

“Hahh? Ya nggak lah. Armor lebih dulu. Safety first. Apalagi kalau ini mati, maka selesai sudah.

Kan.. kan.. malah menghubungkan sama kematian.

Sambil mengaitkan bongkahan, Irma berujar "oke oke sudah. Ribut di sini nanti bisa mancing zombi. Yang bisa bertarung cuma Rei doang.

Ah iya ding.

Ah maaf maaf.

 

*crack

“Jadi. Bongkahan itu mau dipakai buat apa?” Tanya Reina.

“Dipakai buat pedang lah.” Fardan menyolot.

Reina tidak terima, "nggak tanya. Nggak tanya Fardan aku.”

“Hooh. Mau tak pakai buat bikin jam sama kompas.

Heh apa?

...

Setelah memisahkan material asing yang menempel. Bongkahan emas dan redstone berhasil didapatkan.

Tapi iya juga. Jam sama Kompas juga penting.

Karena aku nggak punya cukup pengalaman explore. Aku nggak bisa buat map. Ditambah lagi, Reina. Kamu punya skill blacksmith bukan?

Ia, Reina si Barbarian ah iya. Aku malah lupa. Eh tapi.

Tapi?

Sebentar. Ujar Reina sambil membuka menu.

Blacksmithku kurang cocok kalau dipakai buat crafting pedang. Ujar Rei setelah membaca singkat statistik miliknya.

Ia melirik Fardan, penambang pula sama seperti Iruma. Berarti emang saatnya bikin armor. Bisiknya mengarah ke Fardan.

Untuk sementara ini aku buatkan kompas dan jam. Tentu saja emas-nya pasti bakal sisa. Nanti bisa dipakai untuk bikin perabot lainnya.

Oiya. Kalau nggak salah. Emas kan nggak begitu cocok kalau dibuat peralatan seperti kapak tambang atau armor semacamnya kan? Fardan menambahi.

“Ya ingatku begitu sih. Aku lebih memilih membuat pedang dari besi dibandingkan dari emas.” Respon Iruma membenarkan.

Itu sudah jadi fakta publik bagi para pemain minecraft. Bahan emas tidak direkomendasikan untuk dijadikan pedang atau peralatan lainnya seperi kapak tambang atau armor. Meski memiliki daya rusak yang cukup u tuk pedang, tapi poin durabilitasnya bila dibandingkan dengan alat yang terbuat dari batu, ketahanannya lebih oke batu.

 

Sementara kita naik dulu. Sudah berapa banyak material yang didapat? Iruma berujar.

Fardan membuka menu, bijih besi.. 15, coal arang 20

Coal 23. Reina mengikuti.

Kerja bagus semua. Ayo naik. Semoga di atas belum malam.

Berbekal cahaya rembulan. Semi redup tapi cukup menerangi di tengah hamparan lembah dengan sungai yang berbentuk huruf S lebar, mengiris pemandangan mengindahkan mata.

Jam dan Kompas? Boleh juga tuh. Ian merespon.

Sejujurnya aku dari awal mau bikin map/peta. Tapi pengalaman explore-ku kurang. Jadi mau aku tingkatkan dengan jalan-jalan.

Jalan-jalan? Apa kita mau travelling? Ujar Yuki semangat.

Yap. Di samping itu, aku juga ingin untuk melihat bukit es dan gunung es suatu hari nanti.

“Lalu, fungsi jam-nya?” Lenka membuka mulut setelah menyimak lama.

“Untuk jam. Ini digunakan ketika lagi nambang. Ya, sejujurnya ini nggak begitu kepakai buat tipikal talenta yang sering di permukaan. Tapi lumayan kebantu untuk para penambang dan pejuang dalam gelap.

 

Sebentar lagi, sumber daya sekitar sini mungkin menipis. Artes sepertinya semangat banget nebang pohonnya. Apa kita coba bertualang?"

Artes segera menyolot, tapi Raden yang menyuru kok...

Ehem. Untuk sarannya Iruma. Itu juga masuk akal sih. Kita nggak mungkin di sini terus. Harus berpencar. Disamping untuk mencari sumber daya baru, mestinya untuk mencari para pejuang yang masih ingin login di sini. Ian menjadi moderator. Ia menyimpulkan dan memoderasi forum.

Mungkin aku rasa nanti guild ini akan dipecah jadi 2 kelompok. Bagaimana menurutmu, Iruma, Yukina, dan Artes?

EZ. Ujar Yuki spontan.

Aku minta izin agar aku tetap satu party sama Raden. Tolong. Ujar Artes.

Ok. Artes pengecualian. Ian menyimpulkan.

 

Kalau gitu. Proses pembagiannya sesuai talenta dan agar tim tersebut tetap seimbang.

Partynya Ian. Diketuai aku. Anggotanya Ian, Reina, dan Lenk—

Yukina.

Pemanah Lenka menyerobot. Sontak suasana hening tercipta sekilas. Yang bersangkutan langsung protes.

Hei hei. Tunggu, apa maksudnya kamu malah ganti-ganti posisi? Ujar Yukina.

Bukannya pembagiannya seimbang kalau kamu berada party-nya Ian? Pemanah, Barbarian yang punya daya tahan cukup, dan Penyerang?

Apa? Maksudmu?

Kalau aku satu party sama Ian lagi. Party-nya Iruma bakal ngedrop karena ndak punya anggota yang bisa menembak jarak jauh. Lenka berkomentar.

Lalu kalau begitu, Ian yang masuk jadi party-nya Irma. Nanti kamu yang jadi leader. Toreh Yukina.

“Aku bukan pemimpin yang bijak, apalagi Reina. Ia bahkan kalau kondisi mendesak, ke-barbar-annya mengalahkan logika. Apa kamu mau jadi leader? Lenka mendebat.

Di sisi lain, Reina berguman um. Itu nusuk. Tapi benar juga sih. Kalau kepepet langsung spam skill dan nyerobot senggol sana-sini.

Yuki menggertakkan gigi bingung, Iruma menengahi ah ok ok. Lenka masuk ke party-ku. Si Yuki join party-nya Ian.

What? Apa?” Sontak Yuki tidak terima.

Yuki langsung menyerobot, “kenapa kok malah..”

“nanti kan ketemu lagi. Kan kamu masih bisa mengirim pesan obrol ke aku kan?” Ujar Iruma.

“itu, itu. Bukan itu.”

“santai. Nanti juga bisa ketemu lagi. EZ”

 

Keesokan harinya mereka benar-benar melakukannya. Mereka memecah party dan mulai membangun party masing-masing. Iruma berpisah dengan Yukina, begitu pula Ian yang memecah anggota party-nya untuk dibagi dengan Iruma.

Hal ini bertujuan untuk mendapatkan eksplorasi tempat baru, sekaligus saling memberi kabar bila ada sumber daya baru.

Keputusan untuk menyelesaikan game, perlu adanya men-challenge diri sendiri. Yakni mencoba memecah diri untuk saling melihat dunia minecraft luas yang nyaris tiada batas.

 

“Iruma!! Aku mau pulang.” Ujar Yukina. Ia berujar pada diri sendiri.

“tahan sebentar kak Yuki.” Reina merespon.

Ini hari kedua semenjak berpisah. Yukina si pengguna ganda harus berpisah dengan seorang yang biasa ia jadikan umpan dan memenej strategi. Iruma.

“dia bahkan ndak balas pesanku.” Gumannya lagi. Reina, sebelahnya mendengar.

Ia menyahuti, “kak Yuki. Bagaimana ceritanya kamu bisa ketemu sama Iruma? Di sini semua orang random, kemungkinan sudah ketemu sebelum masuk ke sini… kayaknya nggak deh.”

“ya random. Sebelumnya juga aku belum kenal.”

“kenalnya gimana?” Ujar Reina mencari topik, melepas lelah berkelana.

“kenalnya, itu waktu…” Ia menjeda sekilas, sambil menggaruk kening dan menyeka poni.

“sama-sama tersesat. Tertimbun reruntuhan. Nggak bisa keluar.”

“heh apa?”

Di lain sisi, Iruma saat ini sebagai pemimpin tim. Party leader. Secara tidak langsung ia menanggung semua member bila ada situasi yang tidak diinginkan.

Sebelumnya ia sudah mempelajari dan mendapatkan pengalaman cukup sampai ia mendapatkan lisensi talenta swordman dan menggunakan dua slot talenta untuk mendapatkan fase kedua dari bakat pedang. Warrior.

Sama seperti Yukina. Ia, Iruma dapat menggunakan dua pedang sekaligus. Namun kawan-kawannya belum sekali pernah melihat ia menyanggul dua pedang. Lebih sering menggunakan dagger/belati, pedang pendek.

Barulah setelah dagger yang dibuat oleh si pandai besi hancur, ia mau tidak mau harus beralih menggunakan pedang untuk jadi pertahanan sekaligus menyerang.

*trang!

“Fardan! Tahan sebentar!”

“siap!”

*trang! *klang!

Tiga skeleton mencegat, tidak ada jalur lain selain melawan. Formasi pertarungan kini lebih kompleks.

Fardan sebagai penahan karena ia punya bakat menggunakan tameng. Ia dan Artes menjadi penyerang utama, sedangkan Lenka bertugas melancarkan serangan backup.

Al hasil, formasi tersebut berjalan mulus lancar.

 

“Iruma. Sejak kapan kamu akhirnya menggunakan pedang?” Tanya Fardan heran.

*crek

“ini, semenjak belati metal hancur.”

“tapi apa perlu adaptasi setelah pindah dari belati ke pedang?”

Iruma menggeleng, “tidak. Tapi menurutku tiap orang berbeda sih. Aku sendiri awalnya ragu, tapi akhirnya mau nggak mau harus pakai pedang pas situasi lagi kepepet terhimpit.”

“tahu-tahu, dapat talenta swordman.” Iruma melanjutkan.

“Raden mau bagian mana?”

“Lah acak aja. Biar adil.” Pinta Iruma pada Artes yang sedang memotong daging domba sebelum dimasak.

“Ok sekarang, besok ke arah mana? Tadi memori arahku sempat buyar waktu ada skeleton nyerang.”

Iruma mengeluarkan kompas, mirip seperti jam tangan besar dengan jarum mengarah stabil sesuai.

“Berarti ini nanti ke—“

“Iruma.”

“Whah!”

Fokusnya terlalu tertuju pada arah stabil jarum kompas. Ketika dipanggil dari dekat, sontak ia langsung terkejut bukan main.

“Ah maaf. Aku mengagetkanmu ya?”

“Hoh hoh.. Lenka, tak kira siapa.” Ujar Iruma sambil meraba-raba perlengkapan yang tersisa menempel di tubuh.

“...nggak tidur kamu?” Tanya Iruma sambil melipat kembali kompas dan menyarungkan dalam saku.

Lenka menggeleng, “tadi sudah. Tapi aku lihat kamu belum tidur. Aku tanya, kenapa nggak tidur juga.”

Ia melirik sekitar, “...Artes udah terlelap. Hm.. mungkin nanti, nunggu shift-nya gantian sama Fardan nanti.”

“Oalah oke oke. Kalo gitu semangat jaga malam ya” Ujar Lenka melambai sambil mulai berbaring.

“As always.”

 

***

Keesokan harinya

“Raden. Apa benar ini jalannya?”

Sambil menyapu beberapa semak belukar, ia menjawab “ya mau gimana lagi? Kalau lewat jalan yang tadi, aku sempat melihat ada markas pillager. Aku nggak mau ambil resiko.”

Artes terperanjat, “apa? apa? Pillager? Ia.. mereka…”

“Sudah-sudah. Itu sudah jadi kenangan. Sekarang kamu ya kamu. Nggak perlu diingat lagi yang masa lalu. Sekarang ya sekarang.” Iruma menyela.

Party Iruma saat ini memilih jalan ekspedisi melewati rawa-rawa. Ini terpaksa mereka lakukan karena ditengah perjalanan mereka menemukan tower/menara pengintai yang dibangun oleh Pillager.

“player nggak mungkin membuat semirip itu.” Iruma berujar sambil melirik tower yang menjulang. Sedikitnya beberapa orang mengenakan baju gamis panjang keluar masuk dari tempat tersebut.

Artinya tempat tersebut memang markas para pillager. Tidak diragukan lagi.

 

“Lenka. Apa masih jauh? Ini masa bermalam di tempat ini?” Keluh Fardan. Ia mengeluh setelah kesekian kalinya ia terangsek jatuh karena terlilit akar yang menjalar di mana-mana.

Meski jatuhnya nggak membuat HP-nya turun, tapi rasa ambruk dan bangkitnya yang menyusahkan.

“Um… mungkin sedikit lebih lama lagi. Sayang sekali.” Jawab Lenka sambil memicingkan matanya seolah menerawang.

Bakat pemanah yang dimilikinya meningkatkan kemampuan matanya. Sehingga ia dapat melihat jauh tanpa adanya pengurangan sedikit pun.

“Aku bahkan nggak ingat jalan pulang memutar tadi.” Guman Iruma.

“sayang sekali, kamu nggak ingat.”

 

*srak *srak

“tempat ini nggak cocok buat skip malam. Ini harus terus maju, nggak mungkin kita bermalam di tempat ini!” Protes Fardan.

Ia melihat kondisi habitat sekitar benar-benar tidak memungkinkan untuk dipakai bermalam. Penuh rawa, cahaya bulan bahkan tidak menembus sampai permukaan. Sehingga area sekitar pun menjadi gelap.

Ini memberikan sekian persen kemungkinan untuk mob hostile muncul/spawn.

“Lenka, gimana? Apa ini beneran masih jauh?” Ujar Iruma menyeka dedaunan yang menjalar liar.

Ia menyeka poni, “um.. kayaknya ia deh.. ya emang harus bermalam di sini.”

Fardan menepuk wajah, “ah harusnya kita tadi nggak perlu milih jalan yang memutar…”

“Ini kalau kita maksa maju. Medannya juga masih jauh dan stamina akan terkuras lebih banyak ketika malam, belum lagi ada mob hostile nantinya. Jadi…”

Semua terdiam, Lenka, Fardan, dan Artes. Mereka diam bukan berarti tidak tahu, tapi sudah bisa menebak apa yang akan diujarkan.

“…kita bermalam di sini dan langsung bagi tugas seperti biasanya!”

Fardan, Lenka, Artes menjawab serentak “OK!”

 

Mendapat tugas masing-masing. Lenka mengurus hal logistik, Iruma membangun benteng siaga, sedangkan Fardan menancapkan beberapa obor penerang guna mengusir kegelapan.

“mau dipasang obor sebanyak sekalipun, tetep aja hawa-hawa seramnya masih ada yo..” Ujar Iruma sambil melihat area sekitar.

“Raden, nanti aku tidur dekat Raden ya. Rasanya nggak enak.” Artes mengeluh.

“—ya?“

“Jangan Artes. Perempuan nggak boleh tidur barengan meski darurat!”

“heh? masa ada aturannya?”

“ada. Perempuan itu nggak boleh tidur berdekatan sama orang yang baru ia kenal!”

 

Seperti biasanya. Lenka membuat mushroom stew. Campuran jamur yang digodok melalui pengapian lalu dimasak menjadi semacam sup mangkok.

“humm seperti biasanya. Lenka mesti membuat masakan mesti bermacam-macam!” Iruma memuji masakan yang dibuat Lenka.

“aku-aku juga punya sebotol susu. Raden, nanti ini diminum ya.”

Lenka melirik, “dari mana kamu dapat susu? Kayaknya aku memastikan nggak ada sapi sepanjang perjalanan tadi.”

“Ada. Sebelum ekor sapi itu kamu tombak pake panah, itu sempat diperah sama Artes dan Aku.” Ujar Fardan menyela.

“apa di sini, botol susu cukup buat menetralisir semua efek debuff? Atau perlu ramuan yang lebih kompleks?” Tanya Iruma sambil mengambil botol berisi susu putih segar pekat.

Lenka menyela, Ia menyomot sebotol susu yang dipegang Iruma. “masa bisa? Hanya sebotol susu ini doang??”

Ia, Lenka merasa tidak percaya. Maklum, ia bukan pemain minecraft pada dasarnya. Ia masuk ke dalam game ini, bermain minecraft pada versi virtual-reality ini menjadi pertama kalinya. Rumus kimia, biologi dan beberapa aturan unsur yang memberikan efek toksin yang ia pelajari merasa terlanggar.

Mendengar toksin atau efek debuff yang menempel dalam diri dapat hilang hanya dengan meneguk air susu sapi.

“Tunggu, masa beneran bisa?” Lenka tidak percaya.

“yep. Ya harusnya bisa. Lumrahnya, di minecraft. Mau racun segede apapun, dilabras netral sama susu. Lalu poof! Kembali normal” Fardan memaparkan singkat jelas.

Ia menatap berkali-kali botol susu berukuran kepalan tangan. Melihat ukuran botolnya, ini biasa digunakan untuk membuat ramuan. Namun Artes menggunakan wadah tersebut untuk menampung sisa-sisa perahan susu sapi.

Jangan samakan terlalu persis antara minecraft aslinya dengan adaptasi virtual reality. Serupa tapi nggak semua sama.

“oiya. Minecraft di sini, permainan pertamamu yo? Aku lupa.” Ujar si tameng, Fardan menepuk dahi.

Percakapan lalu dilanjutkan dengan perdebatan dengan logika di dunia nyata dengan logika minecraft.

 

Sampai malam larut, benar-benar larut. Sinar bulan bahkan nyaris tidak terpancar kelam menembus dedaunan hutan rawa-rawa. Salah satunya cara adalah menggantungkan kekuatan sinar dari obor yang ditancapkan di beberapa titik tertentu.

Melihat semua sudah terlelap, Iruma. Sampai saat ini, otaknya berputar. Memikirkan bagaimana cara menyelesaikan masalahnya tanpa harus mengorbankan apapun.

Tentang skripsi, yang ia kerjakan. Adalah sesuatu yang mudah, harusnya.

Bercerita, menceritakan kembali. Story-telling, seperti yang sering ia ucapkan. Namun realita di lapangan, maksudnya ekspektasinya terlalu jauh dari realita kenyataan yang dia alami.

“Mati. Log out. Bangun. Keadaan domblong. Sama aja. Lagian waktu nggak mungkin berbalik.” Ujar Iruma pelan. Sangat pelan.

Ia menyeka rambutnya lalu melanjutkan “kalau masih dilanjut. Runtutan cerita bakal panjang. Nggak log out, tetap logged-in stay in here. Sampai kapan? Entah.”

“nggak mungkin tubuhku bisa betah bertahan kena paparan sinyal yang kerapatannya tinggi.” Gumannya lagi.

Membayangkannya saja nyaris membuat detak jantung meningkat. Ini pernah terjadi, sehingga muncul notifikasi peringatan tentang naiknya heart-beat.

“Bila melebihi batas normal yang ditoleransi, maka kemungkinan besar sistem akan melakukan log out paksa.”

(log out paksa?)

Ia terperanjat, kaget dengan apa yang ia pikirkan sekilas.

“log out paksa? Apa itu mungkin? Log out paksa. Nggak ada kabar, persiapan. Tahu-tahu log out. Apa prosedur itu termasuk log out yang menimbulkan ingatan hilang atau direset?”

Pikirannya mulai berputar. Malam terus berlanjut dan semakin gelap.

 

“bodo. Itu juga resiko. Nggak mungkin aku membahayakan jantungku sendiri.” Ujarnya sambil merengkuh telentang di kasur yang terbuat dari wool.

“Yukina. Apa yang ia lakukannya saat ini?”

Ia mencoba membuka menu, namun gesturnya meleset. Tangannya ambruk. Ia merasa kantuk yang luar biasa. Karena lelah atau faktor lain mungkin.

*SPLAT!

“kuhaaa!!!”

*SPLATT!!! *STABB!!

Pandangan kabur, ia berusaha melihat jelas namun tidak kuasa.

*SPLAT!!

Iruma

HP: 72% (paralyzed)

“ini, ini. Apaan ini.”

“Iruma Nafiaaan… yaahh!”

*STABB!

HP: 63% (paralyzed)

“ini, kenapa ini? Maksudnya apa ini?!”

*STABB!

“kuhaa!! Akhh!”

“uuu… nggak seru. Padahal nggak ada rasa sakit. Kenapa kamu kok malah ngerang itu lho..”

*STABB!!

“frik. Apaan ini!?”

HP: 51% (paralyzed)

*STABB!!

HP: 43% (paralyzed)

 

“stop stop! Stop!”

Entah kenapa setelah ia menyeru, tusukannya berhenti. Tidak berlanjut. Ia nggak bisa merasakan daerah mana tepatnya yang ditusuk. Hanya merasakan efek kejut kecil yang tujuannya untuk mengetahui di mana letak luka serang itu berada.

Bagian perut. Tidak berlubang, tidak terbedah. Memancarkan cahaya merah menyala. Seperti sobek karena tusukan beruntun.

HP: 42%

“a a a.. jangan gerak. Lukamu itu bisa memangkas habis HP-mu..”

Ujar seseorang, ia tidak dapat melihat wujudnya lebih jelas. Karena beberapa saat yang lalu, tusukan beruntun membuat pandangannya kabur sebagai ganti rasa sakit.

“apa –itu cukup nggak ya. Ah cukup-cukup. Lebih dari cukup.”

HP: 41%

“uuh! Sudah dibilang jangan gerak. Malah gerak!”

*STABB!

HP: 21% (paralyzed)

“—!!!?”

*slop

“tuhkan sudah dibilang… jangan gerak kok malah gerak. Malah kena jantung kan.. gimana coba, tinggal berapa persen??”

Ia tidak merespon, giginya terkatup rapat.

“hei ayo bilang. Kalau nggak bilang, aku tusuk sekali lagi lo.”

HP: 20%

“…20 per-sen.”

“haa.. 20 persen! Waduh, sepertinya aku terlalu dalam nusuknya kali ya?”

Ia nggak menjawab. Karena menurutnya pelakunya bisa melihat berapa dalam luka tusukan yang dibuatnya.

“tapi ini belum seberapa loh. Rasa sakitnya.”

Suaranya semakin mendekat. Artinya kondisinya saat ini mungkin ia sedang menindih Iruma.

“mau kena serangan sadis pun, sakitnya paling cuma kejut sedikit.”

“fitur di game ini. Aku nggak suka.”

“rasa sakit diganti sama kejut kecil. Humph, nggak suka.”

“aku nggak suka, nggak suka, nggak suka!!”

*STABB!

HP: 13%

“tapi yang kejut-kejut gitu kamu suka yo kayaknya?”

Ia membalas gelengan. Sambil menata napasnya yang sudah tidak beraturan.

“nggak suka? Masa? Tapi dari tadi kamu nggak ngelawan. Diam aja.”

*stab

Ia tidak melanjutkan tusukan. Melainkan mendorong lebih dalam.

HP: 9% (paralyzed)

Pandangan semakin buyar tidak karuan. Sensasi dekat kematian, terbayang ia bengong tidak bisa mengerjakan tugas final. Terbayang jelas.

“stop! Stop.” Ujarnya memaksa seorang yang menusuk untuk berhenti.

Tidak tahu siapa. Tapi pendengarannya masih ok. Ia dapat membedakan, kalau pelaku tersebut perempuan.

Bayangan kelam, bercampur kegelapan. Sesosok ini tidak terlihat jelas hanya menyeringai kecil.

“oiyo. Kalau kamu mati, skripsimu nggak bisa jalan lah ya?” Ujarnya kecil.

HP: 8% (paralyzed)

Karena daerah vital tertusuk, efek paralis terus memangkas perlahan HP-miliknya. Ini bukan lagi soal pisau atau senjata tajam yang menempel. Hal ini karena bagian dada Iruma tertusuk fatal. Sehingga memberikan damage berkelanjutan sampai luka tersebut tertutup atau diobati.

“tapi, dadamu ketusuk. Mau bagaimanapun HP kamu tetep habis kok.”

HP: 7% (paralyzed)

 

“hah?!”

Ia tersentak, setelah pandangannya sempat buyar dan memerah.

Iruma, Swordman Lv. 54

HP: 81%

*stabb

Tusukan kecil mendalam, ia mendengarnya. Sontak Iruma segera meraba ke seluruh tubuh. Mengecek barang kali ada sesuatu yang menancap atau semacamnya.

*slep

“dagger. Aku lupa memasukkan beberapa senjata tajam yang standby di area tubuh kalau ada kondisi mendesak. Sampai ini belati nusuk pinggang.” Gumannya pelan sambil memasukkan belati besi ke dalam inventori miliknya.

 

***

Ia tidak bisa tidur. Kawan-kawannya sudah mendahului, setelah memakan banyak ikan yang dipancing bersama-sama kala itu. Karena kondisi di pesisir pantai, mob hostile dari mana pun tetap terlihat jelas hanya berbekal cahaya bulan malam hari.

Yukina. Setelah dua hari lamanya ia berpisah. Sementara, tapi ia menganggapnya seperti sulit bertemu kembali.

Sambil malas ia membuka panel menu dengan gestur jari tangan. Memunculkan beberapa ikon lalu membuka olah pesan.

Berlabel ‘Iruma’.

“dia bahkan nggak membalas pesan. Apa yang dilakukannya?”

Untuk kesekian kalinya bagi Yukina, ia menuliskan kata yang sama.

“Apa kamu baik-baik saja?”

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.